Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Proteksi, setiap kali

Sejak tahun 1969, industri otomotif telah mengenal tradisi cabut-mencabut kebijaksanaan yang dike- luarkan pemerintah. proteksi ini melindungi indus- tri otomotif.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI industri otomotif, Pemerintah adalah sang pemurah. Tatkala pengusaha otomotif menjerit karena barang jualannya tidak laku, Pemerintah -- lewat Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar -- langsung mengeluarkan instruksi agar impor kendaraan disetop. Maka, sukacitalah mereka (industriawan otomotif) tanpa merasa rikuh pada pengusaha sektor lain, yang tidak menikmati hak-hak istimewa. Hubungan akrab antara pengusaha otomotif dan Pemerintah mema- ng tak perlu dipertanyakan lagi. Hubungan ini begitu akrab, hingga tak terlalu menjadi soal bagi Pemerintah, jika izin im- por yang baru dibuka lewat Paket Juni 1991 dibatalkan saja 40 hari kemudian. Dan pembatalan itu disampaikan secara lisan, tanpa surat keputusan (SK). Soal cabut-mencabut kebijaksanaan ternyata bukan hal baru. Industri otomotif sudah mengenal "tradisi" ini sejak tahun 1969. Pada tahun ini ditetapkan, perakitan dan keagenan tunggal tidak boleh dirangkap oleh perusahaan yang sama. Tak heran, setelah peraturan ini keluar, banyak keagenan yang memecah perusahaannya menjadi beberapa badan hukum seperti yang dilakukan kelompok Astra. Untuk keagenan, misalnya, Astra mendirikan PT Toyota Astra. Namun, tiga tahun kemudian aturan itu pun dicabut. Peraturan yang paling panjang umurnya adalah mengenai larangan impor kendaraan dalam bentuk jadi (CBU) untuk Jawa dan Sumatera, tercantum dalam kebijaksanaan yang dikeluarkan pada 1971. Melalui peraturan itu, Pemerintah membatasi masuknya jum- lah dan merek-merek mobil. Khususnya kendaraan dinas, harus dalam bentuk CKD (completely knock down). Soalnya, pada waktu itu, 60 kendaraan bermotor yang ber- seliweran di jalan-jalan adalah milik Pemerintah. Tentunya, kebijaksanaan ini memberikan hawa segar bagi perusahaan- perusahaan yang melulu mengerjakan perakitan. Tiga tahun kemudian, larangan impor mobil jadi diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Belum habis rasa kaget akibat larangan impor, pada 1976 Pemerintah lagi-lagi membuat gebrakan. Kali ini Pemerintah mewajibkan konsentrasi pemilikan dan permodalan kendaraan komersial dan sedan harus bersandar pada rasio 4:1 (semula 1:2). Tampaknya, untuk mengatur industri otomotif, selain peraturan Menteri Perindustrian juga ada peraturan Menteri Keuangan. Un- tuk kebijaksanaan di atas, misalnya, Menteri Keuangan menaikkan tarif bea masuk bagi kendaraan sedan dari 70% menjadi 140%. Sedangkan untuk kendaraan komersial, pungutan tersebut justru ditiadakan. Akibatnya, harga sedan naik sampai 5%. Penjualan sedan pun lalu anjlok, dari sekitar 30 ribu menjadi 13 buah pada tahun 1977. Tahun 1976, bisa disebut sebagai tonggak sejarah. Bagaimana tidak. Di tahun ini, Pemerintah mewajibkan pemakaian komponen lokal pada kendaraan komersial. "Waktu itu kita sangat memer- lukan angkutan darat, termasuk untuk Hamkamnas," ujar Ketua Gaikindo, Herman Z. Latief. Oktober 1978, Suhartoyo, yang waktu itu menjabat Dirjer In- dustri Mesin dan Logam Dasar, membuat gebrakan baru. Melalui kebijaksanaannya, dia menciutkan merek-merek yang ada. Tapi Suhartoyo tak sembarang tembak, karena yang terkena peraturan- nya adalah merek-merek yang produksinya di bawah 500 unit per tahun. Jumlah itu dinilai sebagai batas kritis, alias produsen akan merugi kalau produksinya di bawah angka itu. Kemudian disusul oleh kebijaksanaan November 1978 (SK 231 ). Melalui peraturan ini, Pemerintah menangguhkan pelaksanaan penggunaan komponen lokal. "Waktu itu terjadi devaluasi, pasar sepi. Akibatnya, pelaksanaan penggunaan komponen lokal dib- ekukan," tutur Herman Latief. Namun pembekuan penggunaan komponen lokal hanya berlangsung satu tahun. Pada September 1979, Pemerintah mengeluarkan peraturan yang menyempurnakan SK 307 (Agustus 1976) dan mem- batalkan SK 231 (1978). Dengan ini, berarti diwajibkan lagi penggunaan komponen lokal bagi kendaraan niaga. Sejak itu, per- lindungan terhadap industri mobil niaga semakin berkibar. Hal ini dipertegas oleh kebijaksanaan September 1983 (SK 371) tentang keharusan menggunakan delapan kamponen produksi dalam negeri. Pada Juni 1985, Pemerintah mengeluarkan peraturan yang dinilai kontroversial. SK 551 yang dikeluarkan Departemen Keuangan itu membatasi impor komponen hanya oleh industri perakitan, bukan distributor. Tapi anehnya, kebijaksanaan ini tidak melarang pemakaian komponen mobil niaga untuk mobil-mobil sedan, dan boleh dijual secara bebas. Artinya, komponen itu bea masuknya menjadi 0%. Toh secara alami, ketentuan itu tergusur akibat gejolak ekonomi seperti devaluasi dan anjloknya harga minyak. Larangan impor komponen lewat SK 34 tahun 1978 dibuka kembali. Sayang, yang diizinkan hanya komponen untuk niaga I, sementara untuk kategori II dan IV tidak diprioritaskan. Maklum, sampai pada saat itu nilai investasi yang sudah ditanam dalam industri kendaraan niaga I sudah mencapai 80% Perkara gonta-ganti surat keputusan, bagi Departemen Pe- rindustrian, bagaikan membalikkan telapak tangan saja. Ketika pasar kendaraan niaga meledak pada 1990, misalnya, Pemerintah kembali membuka keran impor. Lalu keran ini lebih dilonggarkan, 3 Juni silam. Tapi, melalui ucapan lisan Dirjen Soeparno, kendaraan niaga kategori I-III dilarang impor sementara, tanpa kejelasan berapa lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus