Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari total warga yang terkena dampak Rempang Eco-City, ada sekitar 796 keluarga menolak penggusuran.
Per 14 Agustus 2024, baru 166 keluarga yang sudah mendaftar untuk direlokasi.
Pengamat kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai penolakan terhadap Rempang Eco-City merupakan contoh dari ambisi investasi yang menabrak hak warga negara.
SEPULUH warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, datang ke Jakarta untuk melantangkan penolakan mereka terhadap pembangunan megaproyek Rempang Eco-City. Mereka berkumpul di depan kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kedutaan Besar Cina pada Rabu, 14 Agustus 2024.
Warga asli melayu Pulau Rempang itu lelah lantaran tuntutan mereka tak kunjung didengar pemerintah daerah. "Meskipun negara ada di langit, kami akan datangi untuk memperjuangkan tanah dan ruang hidup kami. Kami sudah capek mengeluh ke Pemerintah Kota Batam," kata Ishak, warga yang ikut aksi di depan Kedutaan Besar Cina, Jakarta Selatan.
Konflik agraria akibat proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City sudah bergulir sejak awal 2023. Ishak mengungkapkan kehidupan sehari-hari warga di kampung halamannya tidak nyaman. Selama lebih dari satu tahun, warga yang menolak direlokasi berjuang melawan intimidasi oleh aparat. Sementara itu, godaan agar masyarakat setuju dengan proyek tersebut terus muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rempang Eco-City akan dibangun di lahan seluas 7.572 hektare di Pulau Rempang. Lahan itu meliputi kampung Pasir Belongkeng, Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Sembulang Pasir Merah, dan Sembulang Camping. Ada 961 keluarga yang terkena dampak proyek tersebut.
Miswadi, salah seorang warga Kampung Sembulang yang ikut aksi di depan kantor Kemenko Perekonomian, mengatakan mayoritas warga di kampung halamannya tetap tidak setuju direlokasi. Dari total warga yang terkena dampak, ia mencatat ada sekitar 796 keluarga yang menolak penggusuran.
Pria 46 tahun itu mengatakan mereka diintimidasi ketika merencanakan aksi penolakan terhadap proyek Rempang Eco-City. Intimidasi juga membuat para nelayan dan petani tidak fokus bekerja karena memikirkan keselamatan tanah dan rumah mereka.
Miswadi mencontohkan petani, yang biasanya bekerja produktif di ladang, kini tidak bisa berfokus karena khawatir akan ada aparat yang datang ke kampung mereka. Sedangkan janji pemerintah untuk mengganti pekerjaan warga yang hilang akibat proyek ini belum terealisasi. Warga pun makin khawatir akan masa depan ekonomi mereka.
Di sisi lain, Miswadi berujar Badan Pengusahaan Batam mengeluh tak bisa memulai pembangunan karena pengosongan lahan tak kunjung berhasil. "Jadi, mereka mendesak kampung-kampung kami yang terkena dampak harus dikosongkan, barulah mereka bisa membangun," ucapnya kepada Tempo, Jumat, 16 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rempang Eco-City merupakan salah satu PSN yang molor dari tenggat. Rencana pembangunan proyek ini sebenarnya dimulai pada 26 Agustus 2004. Saat itu, pemerintah melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam menyerahkan hak eksklusif atas pengembangan serta pengelolaan Pulau Rempang, Pulau Setokok, dan sebagian Pulau Galang.
Setelah proyek ini tertunda lebih dari 18 tahun, Pulau Rempang akhirnya diresmikan sebagai kawasan industri, perdagangan, serta wisata terintegrasi. Nilai investasinya mencapai Rp 381 triliun hingga 2080.
Namun investasi Rempang mandek karena konflik agraria di kawasan tersebut. BP Batam sebelumnya menargetkan pengosongan lahan Rempang paling lambat September 2023. Pengosongan lahan tidak membuahkan hasil lantaran terjadi bentrokan antara warga Rempang dan polisi, tentara, serta petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang mengawal pengukuran lahan. Batas waktu pengosongan total Rempang kemudian dibatalkan.
Pemerintah berjanji memberi kompensasi berupa tanah seluas 500 meter persegi dan rumah tipe 45 senilai Rp 130 juta. Ditambah uang saku senilai Rp 1,2 juta per keluarga dan uang sewa rumah sebesar Rp 1,2 juta selama masa tunggu konstruksi hunian baru di Tanjung Banon. Namun jumlah warga yang bersedia direlokasi tak bertambah signifikan.
Per 14 Agustus 2024, baru 166 keluarga yang mendaftar untuk direlokasi. Dalam keterangan resmi pada 14 Agustus 2024, BP Batam mengatakan semuanya sudah menempati hunian sementara di Tanjung Banon. Pembangunan Rempang Eco-City pun tak kunjung dimulai lantaran pengosongan lahan berjalan alot.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, mengatakan BP Batam masih terus berupaya menuntaskan PSN ini. "Kami berharap semua komponen daerah dapat mendukung percepatan investasi di Rempang," ujarnya dalam keterangan tertulis pada Rabu, 14 Agustus 2024.
Warga Rempang menggelar unjuk rasa memprotes pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco-City, di depan Kedutaan Besar Cina, Jakarta, 14 Agustus 2024. TEMPO/Subekti
Ekonom dan pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai penolakan terhadap Rempang Eco-City merupakan contoh ambisi investasi yang menabrak hak warga negara. Ia mengingatkan kepada pemerintah akan pentingnya kualitas investasi di atas capaian angka.
Achmad mengatakan angka besar dan pertumbuhan cepat bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan yang bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap iklim investasi suatu negara. Menurut dia, investasi berkualitas adalah investasi yang memberikan manfaat berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja yang layak, menghormati hak-hak masyarakat lokal, serta tidak merusak lingkungan. "Investasi berkualitas bukan hanya tentang berapa banyak uang yang masuk, tapi juga soal dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi, lingkungan, dan masyarakat," tuturnya.
Tempo telah menghubungi Wakil Menteri Investasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal serta Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso untuk meminta konfirmasi soal kelanjutan investasi dan pembangunan Rempang Eco-City. Namun pesan yang dikirim Tempo belum direspons.
Sementara itu, Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan PSN ini akan tetap berjalan. Setelah mendatangi Pulau Rempang pada Oktober 2023, Bahlil berjanji akan menyelesaikan masalah ini.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengklaim pembangunan kawasan industri di Rempang akan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 308 ribu orang hingga 2080. Karena itu, dia menekankan realisasi investasi di Pulau Rempang harus segera dilakukan. "Kami perlu melakukan harmonisasi agar situasinya kondusif dan investasi bisa masuk mumpung Indonesia lagi diminati,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yogi Eka Sahputra di Batam dan Mhd Rio Alpin berkontribusi dalam penulisan artikel ini