Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANJIR telepon pintar (smartphone) membuat akses publik terhadap Internet meningkat pesat. Survei Google Indonesia bersama GFK Indonesia pada November 2014-Februari 2015 menunjukkan penetrasi Internet di kota besar, seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Semarang, mencapai 61 persen.
Tidak sekadar berselancar di mesin pencari seperti Google dan Yahoo atau ketagihan mengunggah status di media sosial seperti Facebook dan Twitter, netizen Indonesia juga keranjingan berdagang. Minat berbisnis dalam jaringan (online) terus bertambah. Berdasarkan survei Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dan Taylor Nelson Sofres, nilai transaksi e-commerce mencapai US$ 8 miliar (sekitar Rp 112 triliun) pada 2013, dan bisa menembus US$ 24 miliar pada 2016. Adapun Ernst and Young menghitung nilai transaksi e-commerce baru US$ 3 miliar (sekitar Rp 42 triliun).
Tidak ada data valid mengenai nilai transaksi di jalur maya ini. Sebab, Indonesia belum mempunyai sistem pembayaran baku semacam PayPal. Mayoritas transaksi bisnis dalam jaringan masih dilakukan dengan membayar tunai di tempat (COD). Berbeda dengan di Amerika Serikat, yang mewajibkan transaksi menggunakan kartu kredit Visa dan Mastercard, sehingga tercatat akurat.
Pemerintah kini lebih serius menggarap potensi e-commerce, yang menyimpan daya ledak ekonomi seperti di Cina dan Amerika Serikat. Beragam regulasi disiapkan. Tapi, sebaliknya, para pengusaha justru khawatir aturan baru itu akan menghambat laju bisnis mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo