Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
John Riady tak mau terlambat. Direktur Lippo Group ini tak ingin gerbongnya tertinggal oleh lokomotif ekonomi baru yang mulai melaju cepat: bisnis online. Dengan segala variasi dan inovasinya, nilai bisnis dalam jaringan ini terus membengkak dari tahun ke tahun. Survei yang dihimpun Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), sebagai contoh, menunjukkan potensi transaksi di jalur maya ini bisa tembus US$ 24 miliar atau Rp 336 triliun lebih.
"Saya percaya Indonesia sedang memasuki era revolusi digital," kata John kepada Tempo, Kamis awal September lalu. Indonesia, dia menambahkan, adalah satu-satunya negara dengan populasi terbesar di dunia yang baru memulai perubahan besar di dunia digital. Jauh terlambat dibanding Amerika Serikat, Cina, dan India, yang lari lebih dulu puluhan tahun lalu. John ingin usaha keluarga yang ia warisi menjadi salah satu pionir lokal dalam menggarap bisnis di sektor ini.
Luasnya lahan usaha dalam jaringan Internet yang belum terolah maksimal memang menjanjikan. Beragam lembaga riset bahkan memprediksi nilai ekonomi yang dibawa oleh pertumbuhan koneksi jaringan maya ini bisa berlipat 15-20 kali dalam lima tahun mendatang.
Ledakan ekonomi itu dimungkinkan mengingat jumlah kelas menengah Indonesia dalam periode yang sama diperkirakan meningkat sampai 141 juta jiwa.
Menurut Boston Consulting Group, kelas menengah ini merupakan segmen masyarakat yang paling sering melakukan transaksi online.
Sebagai konglomerasi lama yang menggurita sejak masa Orde Baru, Lippo tak mau setengah hati memasuki arena yang kini dipenuhi oleh pebisnis kelas pemula (startup) ini. John mengatakan sudah ada 20 bisnis startup yang mendapat suntikan dana dari Lippo. Salah satunya penyedia jasa transportasi asal Malaysia, Grab Taxi.
Lippo juga berusaha mengawinkan bisnis retail konvensional yang lama mereka geluti dengan dunia baru ini, yakni dengan meluncurkan MatahariMall.com. Mereka siapkan US$ 500 juta atau sekitar Rp 7 triliun untuk modal awal situs berkonsep supermarket ini. Puluhan miliar rupiah di antaranya ditabur buat iklan dan menggenjot promosi dari ujung barat hingga timur Indonesia. John juga membangun gudang bertingkat tiga seluas satu hektare lebih di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, untuk menampung barang jualan mereka.
Tak cuma menyiapkan modal, John juga mengisi jajaran direksinya dengan orang-orang yang ia anggap mengerti pasar dan paham dunia digital. Sejumlah nama beken semacam Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, ia tarik untuk duduk sebagai komisaris utama. Sedangkan untuk kursi CEO, John menggandeng Hadi Wenas, yang sebelumnya membesarkan situs belanja Zalora.
Dengan tumpuan kedua orang itu, John punya target dalam lima tahun mendatang MatahariMall harus bisa melepas saham perdana ke publik (IPO). Secara bersamaan, mereka juga sudah harus menguasai 20 persen pangsa pasar e-commerce Indonesia. "Sejak soft launching tiga bulan lalu, jumlah konsumen kami sudah mencapai 200 ribu orang. Itu belum pakai iklan," Hadi Wenas yakin ia bisa memenuhi harapan sang juragan.
Langkah John tak terhenti pada MatahariMall. Lippo berencana masuk lebih jauh dengan merancang aplikasi khusus buat industri keuangan, yang akan ia luncurkan dalam beberapa bulan lagi. "Saya percaya revolusi digital ini akan mengubah seluruh industri. Keuangan tentu tak luput. Kita lihat saja nanti," katanya.
Lippo jelas bukan satu-satunya konglomerasi yang menyadari situasi dan tren ini. Beberapa raksasa lokal lain, seperti Grup Djarum, bahkan sudah memulai lebih awal. Produsen rokok yang dari tahun ke tahun tercatat sebagai grup paling makmur di Republik ini empat tahun lalu melahirkan situs belanja Blibli.com. Seperti halnya Lippo, Djarum mengkombinasikan kekuatan online dengan bisnis mereka yang lebih dulu berakar, yaitu Bank BCA. "Sejak awal kami sudah melihat memang pasar ini akan berpotensi sangat besar," kata CEO Blibli Kusumo Martanto.
Menurut Kusumo, selain jumlah penduduk yang besar, kondisi geografis Indonesia dinilai sangat menguntungkan bagi sistem jualan online. Model ini dianggap lebih pas bagi negeri kepulauan ini, karena bisa memotong rantai distribusi dan memangkas ongkos distribusi logistik.
Dengan toko online, pemilik barang tak perlu repot-repot membangun warung di pelbagai daerah untuk berjualan. Barang cukup diletakkan di satu tempat saja, kemudian dikirimkan langsung ke konsumen menurut jumlah yang dipesan. Tak akan ada lagi kelebihan suplai yang menumpuk di gudang, jumlah produksi barang lebih terencana menurut kebutuhan pasar. Daya jangkau distribusi pun semakin luas seiring dengan tumbuhnya penggunaan telepon pintar sampai ke pelosok desa. "Daya beli masyarakat desa ini juga terus berkembang. Pasarnya besar sekali," Kusumo menambahkan.
Pengalaman selama empat tahun ini membuat Grup Djarum memandang e-commerce sebagai sektor yang masih menggiurkan. Bisnis ini bahkan masih mampu tumbuh di tengah perlambatan ekonomi yang melanda dan membuat banyak sektor lain menderita. Catatan keuangan Blibli membuktikan hal itu.
Kusumo menjelaskan, rata-rata pertumbuhan transaksi di kanalnya mencapai lima kali lipat setiap tahun. Angka penjual yang terdaftar ke Blibli pun terus bertambah. Hingga September ini, total ada 4.000 penjual di bawah naungan mereka. Keuntungan diraup dari komisi 5 hingga 20 persen dari tiap penjual. Mereka juga menawarkan sistem promosi dan penitipan barang di gudang milik Blibli.
Keseriusan Djarum mencangkuli lahan online ini berlanjut melalui GDP Venture. Lewat anak perusahaan ini, grup milik keluarga Hartono dari Kudus itu juga menanamkan uangnya di situs forum sosial Kaskus, aplikasi berita Kurio, situs agregator berita Beritagar, Opini, dan situs jual-beli tempat tinggal Infokost. "Memang disiapkan investasi khusus untuk bisnis semacam ini," kata Kusumo.
Ia berharap pemerintah tak luput memperhatikan sektor ini. Apabila tidak, nilai uang begitu besar dikhawatirkan jatuh ke tangan pemain asing. Sebab, kemilau bisnis di jalur maya ini tak hanya menarik minat konglomerat Tanah Air. Banyak juga raksasa global seperti berebut mengincar masuk dengan beragam cara.
Investor dalam negeri, seperti Grup SCTV, juga masuk ke bisnis ini melalui penyertaan modal ke situs bukalapak.com. Tapi, ketika pemodal asing seperti Softbank Internet and Media (konsorsium Jepang) dan Sequoia Capital dari Amerika Serikat menyuntikkan Rp 1,4 triliun ke situs tokopedia.com, banyak orang mulai terperenyak. Begitu pula saat Temasek Holdings menggelontorkan US$ 250 juta untuk memperkuat Lazada di Indonesia. Jika tak cepat bersiap, gerbong para pemain lokal bisa-bisa tertinggal lokomotif yang terus melaju.
Ursula Florence, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo