Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lifting minyak bumi tak bisa mencapai targetnya lantaran beragam kendala operasi.
Pemerintah perlu mempertimbangkan insentif fiskal untuk industri hulu migas.
SKK Migas menyiapkan insentif baru untuk mendorong investasi kegiatan eksplorasi.
JAKARTA - Asumsi lifting minyak bumi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 menggambarkan sulitnya upaya mendongkrak produksi di dalam negeri. Pemerintah perlu waspada menghadapi dampaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memproyeksikan realisasi lifting minyak bumi hanya 625 ribu barel per hari dalam dokumen tersebut. Angkanya sama dengan perkiraan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap realisasi tahun ini. Padahal, di awal 2023, pemerintah sempat optimistis lifting minyak bumi bisa menyentuh angka 660 ribu barel per hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas, Moshe Rizal, menganggap asumsi dalam RAPBN 2024 sebagai cermin dari kegiatan tahun ini. Lifting minyak bumi tak bisa mencapai targetnya lantaran beragam kendala operasi. Mayoritas disebabkan oleh kondisi fasilitas yang tak optimal akibat dimakan usia.
Contohnya ketika Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatera baru-baru ini mengumumkan menghentikan produksi sementara untuk perawatan fasilitas. Sekitar 57 persen instalasi migas di wilayah kerja tersebut berusia di atas 30 tahun dan dalam kondisi tidak baik. Kondisi ini diperburuk dengan belum adanya geliat investasi, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi minyak bumi di dalam negeri. "Karena memang (terpengaruh) situasi global juga," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Moshe mencatat temuan cadangan besar baru bermunculan di beberapa negara di Afrika Selatan dan Amerika Latin. Investor otomatis lebih melirik wilayah tersebut untuk berinvestasi. Proses pengeboran bakal lebih mudah, lebih rendah risiko, dan potensi insentif dari negara-negara baru penghasil migas bakal lebih menggoda.
Sementara itu, di dalam negeri, penemuan cadangan didominasi oleh gas. Selain itu, investor bakal butuh modal lebih besar untuk menyediakan teknologi khusus jika ingin mengoptimalkan produksi dari sumur-sumur yang sudah beroperasi. Penggunaan teknologi chemical enhanced oil recovery (EOR), misalnya, tak hanya mahal tapi juga berisiko tinggi. "Chemical EOR sampai sekarang di dunia ini belum ada satu pun yang bisa mencapai (operasi) skala penuh," tuturnya.
Karyawan berjalan di lokasi Rig PDSI 49 milik PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Duri, Riau, 8 Agustus 2022. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Penurunan Produksi Kian Cepat
Jika tak ada upaya agresif menambah produksi, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, memprediksi penurunan produksi minyak di dalam negeri makin cepat. Pencapaian target pemerintah untuk bisa menghasilkan 1 juta barel minyak per hari pada 2030 makin sulit digapai.
Komaidi menilai kunci mencegah penurunan itu ada pada kegiatan eksplorasi migas. Namun perhatian pelaku usaha teralihkan oleh tren transisi energi. Beberapa perusahaan multinasional, misalnya, melepas hak partisipasi dengan alasan ingin menambah portofolio energi terbarukan. Padahal minyak serta gas tak hanya dibutuhkan sebagai sumber energi, tapi juga bahan baku industri. Artinya, permintaan terhadap komoditas tersebut masih ada.
Komaidi berharap pemerintah becermin dari kondisi industri hulu migas saat ini. Menurut dia, Indonesia bukan lagi primadona sehingga butuh strategi khusus menjajakan diri ke investor. "Tentu tidak jual murah, tapi tetap menguntungkan semua pihak," katanya.
Dia mencontohkan, insentif fiskal untuk industri hulu migas seharusnya bisa ditambah meski ada risiko penerimaan negara yang lebih sedikit. Jika investasi menggeliat, pemerintah sebenarnya bisa mendapat sumber pendapatan lain nantinya. "Yang juga tidak kalah penting adalah kepastian hukum."
Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, menuturkan produksi yang terus turun berujung pada ketergantungan impor. Dari tahun ke tahun, impor migas Indonesia terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan domestik seiring dengan laju penurunan produksi migas.
Pada Juli lalu, Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan impor sebesar 40,9 persen dan menyebabkan defisit migas senilai US$ 1,9 miliar. Beban impor bakal bertambah di tengah upaya pemerintah mendorong Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. "Kebutuhan energi untuk mendukung target tersebut pasti tinggi, khususnya BBM," ujarnya. Belum lagi adanya pertumbuhan penduduk.
Gangguan pada ketahanan energi bakal berpengaruh besar terhadap ekonomi negara. Neraca perdagangan Indonesia bakal tertekan saat impor melonjak. Dampaknya antara lain depresiasi nilai tukar rupiah. Indonesia bakal kesulitan menyiapkan anggaran belanja untuk impor minyak nantinya dengan rupiah yang melemah. "Ketika nilai tukar rupiah kita terus tertekan, efeknya berupa inflasi, baik terhadap produsen maupun konsumen," kata Abra. Daya saing industri pun bakal melemah.
Upaya Menggenjot Produksi
Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Hudi Suryodipuro, menyatakan upaya mengejar kenaikan produksi tak pernah kendur. Saat ini, pihaknya sedang menyiapkan insentif baru untuk mendorong investasi kegiatan eksplorasi.
Usulan tersebut sedang dalam pembahasan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Diharapkan dengan insentif ini akan membuka daya tarik keekonomian eksplorasi sehingga mendorong lebih banyak kegiatan eksplorasi," ucapnya. Hudi menuturkan Indonesia masih memiliki lebih dari 100 cekungan yang berpotensi digali. SKK Migas pun menargetkan pengeboran eksplorasi di atas 100 juta barel setara dengan minyak (MMBOE) tahun depan.
Untuk menahan laju penurunan produksi, kegiatan pengeboran pun terus ditambah. Tahun ini, SKK Migas menargetkan pengeboran 991 sumur pengembangan atau naik 30,4 persen dari realisasi pada tahun sebelumnya. Mereka juga menargetkan kerja ulang di 834 sumur dan reparasi di 33.182 sumur sampai akhir tahun nanti.
PT Pertamina (Persero), yang saat ini berkontribusi sekitar 70 persen terhadap produksi minyak nasional, juga tengah meningkatkan produksi lewat penambahan sumur-sumur pengembangan, kerja ulang, hingga perawatan sumur. Di Pertamina Hulu Rokan, misalnya, perusahaan menargetkan pengeboran 30-40 sumur baru setiap bulan.
Selain itu, Pertamina menggalakkan kegiatan eksplorasi di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, eksplorasi antara lain dilakukan lewat skema minyak dan gas non-konvensional (MNK). Corporate Secretary PT Pertamina Hulu Rokan, Rudi Ariffianto, menjelaskan, eksplorasi ini dilakukan di lapisan batuan induk tempat terbentuknya hidrokarbon.
Prosesnya tak mudah lantaran karakteristik MNK berada di lapisan tanah yang sangat dalam, kondisinya panas, serta sifat batuannya sangat keras. Butuh alat khusus untuk menjalankan kegiatan ini. "Selain itu, keahlian dari sumber daya manusia yang berpengalaman untuk dapat bekerja, mendesain, dan mengoperasikan kegiatan ini menjadi tantangan serta kebutuhan yang harus dipenuhi," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo