PABRIK-PABRIK beras di kabupaten Lombok Barat (NTB) belakangan
ini ketiban rezeki baru. Katul, itu banan sampingan
penggilingan beras secara amat menyolok muncul sebagai barang
dagangan yang laku, bankan sampai di Bali. Banyak pedagang Bali
sejak awal tahun ini menyeberangi selat Lombok yang kesohor
ganas itu khusus untuk memborong katul. Mereka juga lebih berani
memberi harga tinggi ketimbang pedagang Lombok sendiri. Katul
kwalitas satu misalnya. artinya yang benar-benar kering, dibeli
oleh pedagang Bali Rp 20 ribu per ton. Sementara eksportir NTB
cuma berani menawar Rp 14 ribu/ton.
Menurut keterangan beberapa pedagang Bali kepada Oka Sunandi
dari TEMPO), katul itu di Bali dilever lagi pada eksportir
ternak buat makanan ternaknya. Malah ada juga yang terus dijual
ke Banyuwangi, untuk kemudian diekspor ke Singapura atau
Hongkong untuk makanan ternak juga.
Munculnya katul sebagai komoditi ekspor di NTB sebenarnya sudah
sejak 1972. Tapi eksportirnya waktu itu baru satu. Lama
kelamaan, volume ekspornya membengkak terus. Tahun 1975,
tercatat lebih dari I juta ton yang direalisir ekspornya. Sedang
dalam triwulan pertama tahun ini sudah diekspor sebanyak 600
ton. Kini beberapa perusahaan ekspor yang berkantor di Ampenan
sudah pula mengincar katul. Bahkan beberapa di antaranya sudah
memiliki stok, tinggal menunggu kapal saja. Anehnya, beberapa
eksportir yang ditemui TEMPO hanya menganggap ekspor katul itu
sebagai kegiatan iseng saja. "Kalau tidak,APE (Angka Pengenal
Ekspor) kami bisa gugur", kata mereka. Maklumlah, kegiatan
perdagangan di sana sedang sepi. Kalau tidak ekspor dalam 6
bulan APE bisa dicabut.
Makanya persaingan cukup tajam memperebutkan komoditi yang dulu
hanya dianggap ampas itu. Yang terjepit. eksportir NTB. "Dengan
harga pembelian Rp 20 ribu per ton, kami jelas rugi. Sedang
pembelian Rp 14 ribu saja, keuntungannya tipis sekali", komentar
seorang eksportir. Meskipun menurut dia harga pembelian yang
diterimanya dari importir di luar negeri US$ 60/ton, biaya
lokal cukup tinggi dan ongkos kapal juga membubung. Lagipula,
"kapten kapal lanya mau mengangkut katul kalau jumahnya
minimal 600 ton" tambahnya. Mengumpulkan 600 ton katul dalam
waktu singkat cukup sulit karena tak semua pabrik beras di NTB
mampu memproduksi katul kwalitas ekspor. Maka untuk memperoleh
katul kwalitas itu, para eksportir kebanyakan hanya mau
berurusan dengan pabrik-pabrik besar yang memiliki mesin modern.
Fabrikan itu pada gilirannya hanya mau menoleh kepada para
saudagar Bali yang berani menawarkan harga tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini