Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rebutan katul di ntb

Pabrik-pabrik beras di ntb didatangi para pedagang untuk membeli katul yang dipakai untuk makanan ternak. bahkan sampai diekspor. pedagang lokal terdesak oleh pedagang dari bali yang bermodal kuat.(eb)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK-PABRIK beras di kabupaten Lombok Barat (NTB) belakangan ini ketiban rezeki baru. Katul, itu banan sampingan penggilingan beras secara amat menyolok muncul sebagai barang dagangan yang laku, bankan sampai di Bali. Banyak pedagang Bali sejak awal tahun ini menyeberangi selat Lombok yang kesohor ganas itu khusus untuk memborong katul. Mereka juga lebih berani memberi harga tinggi ketimbang pedagang Lombok sendiri. Katul kwalitas satu misalnya. artinya yang benar-benar kering, dibeli oleh pedagang Bali Rp 20 ribu per ton. Sementara eksportir NTB cuma berani menawar Rp 14 ribu/ton. Menurut keterangan beberapa pedagang Bali kepada Oka Sunandi dari TEMPO), katul itu di Bali dilever lagi pada eksportir ternak buat makanan ternaknya. Malah ada juga yang terus dijual ke Banyuwangi, untuk kemudian diekspor ke Singapura atau Hongkong untuk makanan ternak juga. Munculnya katul sebagai komoditi ekspor di NTB sebenarnya sudah sejak 1972. Tapi eksportirnya waktu itu baru satu. Lama kelamaan, volume ekspornya membengkak terus. Tahun 1975, tercatat lebih dari I juta ton yang direalisir ekspornya. Sedang dalam triwulan pertama tahun ini sudah diekspor sebanyak 600 ton. Kini beberapa perusahaan ekspor yang berkantor di Ampenan sudah pula mengincar katul. Bahkan beberapa di antaranya sudah memiliki stok, tinggal menunggu kapal saja. Anehnya, beberapa eksportir yang ditemui TEMPO hanya menganggap ekspor katul itu sebagai kegiatan iseng saja. "Kalau tidak,APE (Angka Pengenal Ekspor) kami bisa gugur", kata mereka. Maklumlah, kegiatan perdagangan di sana sedang sepi. Kalau tidak ekspor dalam 6 bulan APE bisa dicabut. Makanya persaingan cukup tajam memperebutkan komoditi yang dulu hanya dianggap ampas itu. Yang terjepit. eksportir NTB. "Dengan harga pembelian Rp 20 ribu per ton, kami jelas rugi. Sedang pembelian Rp 14 ribu saja, keuntungannya tipis sekali", komentar seorang eksportir. Meskipun menurut dia harga pembelian yang diterimanya dari importir di luar negeri US$ 60/ton, biaya lokal cukup tinggi dan ongkos kapal juga membubung. Lagipula, "kapten kapal lanya mau mengangkut katul kalau jumahnya minimal 600 ton" tambahnya. Mengumpulkan 600 ton katul dalam waktu singkat cukup sulit karena tak semua pabrik beras di NTB mampu memproduksi katul kwalitas ekspor. Maka untuk memperoleh katul kwalitas itu, para eksportir kebanyakan hanya mau berurusan dengan pabrik-pabrik besar yang memiliki mesin modern. Fabrikan itu pada gilirannya hanya mau menoleh kepada para saudagar Bali yang berani menawarkan harga tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus