WIBAWA guru sudah jatuh. Bukan saja di mata murid tapi juga di
mata orang tua". Ujar Prof. Dr. Winarno Soerachmat. Rektor
IKIP Jakarta. Masyarakat sudah jauh berubah, tapi guru belum
berubah perananlya. Selama ini guru baru berfungsi sebagai
pengajar, belum menambah peranannya sebagai pembimbing atau
pembina. "Guru memang belum menjalankan peranan yang
seharusnya", ucap Winarno lagi.
Tapi peristiwa baku-hantam antara pelajar di Jakarta yang
akhir-akhir ini menunjukkan angka menaik,tentu saja bukan
disebabkan oleh faktor yang satu itu. "Juga kurang adanya
kesetiakawanan orang tua, sengaja atau tidak. ikut menurunkan
wibawa guru", tambah Winarno. Maksudnya, orang tua yang
kebanyakan memang sibuk, tidak bisa kerja sama dengan guru
untuk membina murid. Diberi undangan rapat, jarang hadir. Dan
tidak sedikit orang tua yang karena jabatan atau banyak duit.
mampu membeli hukum. Misalnya saja ada 10 anak dalam kelas yang
membentuk gang, guru tak akan bisa berbuat apa-apa. Terlalu
riskan untuk ikut campur urusan gang murid-muridnya. Sehingga
guru hanya patuh kepada jabatannya sebagai pegawai negeri,
untuk sekedar menjalankan tugasnya: mengajar. Itu saja. "Guru
tidak bisa membeli hukum', ucap Winarno, "guru akan bersikap
cari selamat".
Dugaan Winarno tentang guru, nampaknya tidak jauh berbeda dengan
pengamatan Dr. Singgih Gunarsa, Psikolog dari UI. "Mutu guru
memang menyedihkan", katanya. Sebab katanya, fungsi guru tidak
cukup hanya memindahkan ilmu kepada murid.Harus diingat juga
selain murid mengalami perkembangan intelektuil, juga mengalami
perkembangan aspek-aspek lain seperti emosi, cara bergaul, sikap
dan lainnya. Aspek-aspek itu mestinya turut diperhitungkan oleh
pengajar. Terutama wali kelas, yang mestinya mampu memikul tugas
itu, sebaiknya juga menciptakan suasana baik. Sehingga seluruh
aspek yang terdapat dalam diri murid orang per orang, secara
totalitas tidak hanya di bidang pelajaran melulu--mampu
dikembangkan dengan baik. Ujar Singgih:Caranya, yah, mencoba
kenal dengan anak murid".
Ditangani
Namun tentu saja perbaikan kwalitas guru, perbaikan fasilitas
pendidikan umumnya, belum bisa menjamin akan mengurangi
peristiwa perkelahian antara pelajar itu. "Ternyata kenakalan
remaja semakin lama tidak semakin menurun", ujar Dr. Saparinah
Sadli, Pejabat Dekan Fakultas Psikologi UI. Tapi katanya, yang
penting bukan seringnya peristiwa itu terjadi. "Menurut saya
setiap perkelahian, apalagi yang membawa korban, harus dengan
segera ditangani dengan tepat", ucap Saparinah. Untuk itu,
selain diperlukan pengetahuan mengenai sebab-sebab khusus yang
melatar-belakangi perkelahian tersebut, juga perlu ditegaskan
siapa yang bertanggung-jawab atas terjadinya perkelahian itu,
dan siapa yang berwenang menangani peristiwa itu. "Hanya
mengetahui sebab sebabnya saja tapi tak tahu bagaimana mencari
jalan keluar, apa gunanya," tambah Saparinah. "karena
sebab-sebab itu berguna untuk menentukan diagnosa yang tepat'.
Mengeritik masyarakat yang bersifat reaktif, Saparinah Sadli
menyebutkan perkelahian akhir-akhir ini mengingatkannya dengan
peristiwa perkelahian di night club Niagara beberapa tahun lalu.
Waktu itu, katanya, wartawan pun berdatangan ke Fakultas
Psikologi untuk mengadakan wawancara. hal yang persis sama
terjadi pada bertepatan dengan semakin seringnya terjadi
perkelahian antara pelajar akhir-akhir ini. "Sehingga kenakalan
remaja menjadi hangat lagi", katanya. Barangkali sikap serupa
inilah yang menyebabkan kurang efisiennya penanggulangan
kenakalan remaja itu: adanya kecenderungan untuk secara reaktif
dan tiba-tiba. Semua fihak di dalam masyarakat memfokuskan
perhatiannya pada sesuatu yang sebenarnya sudah mulai
dipermasalahkan sejak sepuluh tahun yang lalu.
"Menurut pengalaman saya, kenalan remaja di lingkungan kita
telah mulai menjadi topik pembahasan sejak tahun 1966 dulu",
ucap Saparinah. Dan ternyata selama itu, kenakalan remaja tidak
kunjung hilang. Paling sedikit tidak menunjukkan grafik yang
menurun. Menurut nyonya Sadli ada beberapa sebab. Antara lain,
hukum dan sanksi terhadap berbagai jenis kenakalan tidak selalu
diterapkan secara konsekwen dan kontinyu. Hal ini jelas tidak
mendidik para remaja itu. Para remaja yang sedang dalam usia
menjelang dewasa itu dengan demikian tidak cukup diberi
kemungkinan untuk memperkembangkan rasa hormat terhadap
aturan-aturan hukum yang berlaku. Dan gejala-gejala yang jelas
tidak menguntungkan itu masih ditambah dengan adanya
kecenderungan untuk mengadakan generalisasi dalam membicarakan
suatu kejadian. Ini menyebabkan suatu peristiwa tertentu tidak
mudah dilihat dalam proporsi yang sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini