Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Reformasi Ekonomi Janji Rizal setelah Memorandum

Bank Dunia dan IMF menilai reformasi struktural di Indonesia lamban dan bahkan mandek. Apa langkah berikutnya?

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah agaknya perlu merekrut orang-orang Pegadaian. Perusahaan negara itu sukses menerapkan motto "Menyelesaikan Masalah tanpa Masalah". Tak mengherankan jika asetnya terus bertambah dan kepercayaan publik terhadap obligasinya sangat bagus. Sebaliknya, pemerintah Indonesia selalu menciptakan masalah baru ketika mencoba menyelesaikan suatu masalah. Bahkan, bisa dibilang tiada hari tanpa masalah. Karena itu, tidak mengejutkan jika kredibilitas pemerintah di mata lembaga keuangan internasional merosot tajam, apalagi di depan investor asing. Pukulan terbaru diberikan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia dalam World Economic Forum di Davos, Swiss, yang berlangsung sampai awal pekan lalu. Deputi Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fischer, dan Kepala Perwakilan Bank Dunia di Jakarta, Mark Baird, sama-sama menyoroti kegagalan reformasi struktural di Indonesia. Menurut Fischer, reformasi struktural terus berjalan di Asia Tenggara sejak krisis menghantam kawasan ini pada akhir 1990-an. Tapi reformasi struktural di Indonesia dinilai sangat lamban, bahkan cenderung mandek. "Meskipun saya tidak sampai melihat terjadi kemunduran," ujar Fischer. Mark Baird dalam pernyataannya di Washington juga mengungkapkan hal senada. Menurut dia, pemerintah Indonesia gagal memenuhi sejumlah program yang sudah diatur dalam Letter of Intent (LoI), antara lain menjamin adanya bank sentral yang independen dan kuat, penyelesaian kredit macet di sektor finansial melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pendesentralisasian wewenang pemerintah pusat ke daerah, dan penanganan kasus korupsi. Bahkan, Direktur Pelaksana IMF, Horst Koehler, yang biasanya tak banyak komentar, ikut-ikutan mengkritik soal lambannya restrukturisasi perbankan dan utang swasta. Sudah terlalu banyak contoh yang berkaitan dengan berbagai masalah di atas, termasuk revisi atas UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang dinilai banyak kalangan hanya untuk mengganti Gubernur BI Syahril Sabirin. Ada kasus divestasi Bank BCA dan Bank Niaga yang terus tertunda-tunda. Ada lagi kasus perebutan saham Manulife Indonesia antara Manulife International (Kanada) dan Roman Gold Assets Ltd. Perusahaan yang disebut terakhir adalah perusahaan fiktif yang diduga didirikan oleh pemegang saham lama Manulife Indonesia. Tapi polisi malah menahan petinggi Manulife Indonesia. Terakhir soal penyelesaian utang Sinar Mas. Berbagai kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari masalah yang diciptakan pemerintah. Tidak mengagetkan jika IMF dan Bank Dunia memberikan penilaian seperti itu. Menurut ekonom Iwan Jaya Azis, penilaian IMF yang terakhir ini cukup obyektif dan berimbang. Tapi kondisi yang sekarang ada tetap tak bisa dilepaskan dari kesalahan IMF dalam membantu penyelesaian krisis di Indonesia, yang lebih bertumpu pada persoalan makroekonomi seperti masalah suku bunga, defisit anggaran, dan rezim devisa bebas. "Selain itu, Indonesia malah mengurusi masalah monopoli yang tidak ada hubungannya dengan krisis, dan bukannya segera menyelesaikan kredit macet," kata Iwan. Untungnya, menurut Iwan, IMF kini sudah sadar dan mulai mengubah strateginya. Tapi arah perbaikan perekonomian Indonesia sudah kadung melenceng dari garis yang seharusnya. Ambil saja contoh restrukturisasi utang swasta. Gara-gara soal ini ditelantarkan pada awal-awal penyelesaian krisis, sampai kini masalah tersebut masih jauh dari selesai. Penyelesaian utang 21 pengutang terbesar, misalnya. Dari total utang sekitar Rp 80 triliun, yang sudah memasuki tahap implementasi baru Rp 15 triliun, dan utang yang sudah terbayar cuma Rp 2,2 triliun. Sebagian besar baru memasuki tahap penandatanganan nota kesepahaman. Begitu pula dengan restrukturisasi utang 50 obligor terbesar. Yang bisa dikatakan sukses mungkin restrukturisasi utang pengusaha kecil menengah. Tapi, yang harus dicatat, proses penyelesaian utang debitor kecil menengah memang lebih sederhana, yakni dijual ke pihak ketiga. Belum lagi jika berbicara tentang rekapitalisasi perbankan. Banyak pihak yang menyatakan rekapitalisasi dan restrukturisasi sektor perbankan yang menghabiskan Rp 425 triliun sudah selesai dan berhasil karena neraca bank-bank rekap sudah bagus. Rasio modal minimum sudah jauh di atas yang dipersyaratkan, begitu pula dengan kredit bermasalah yang jauh berkurang. Namun, kata Iwan, tujuan restrukturisasi perbankan bukanlah bagaimana menyehatkan banknya saja, melainkan bagaimana mengembalikan bank sebagai lembaga intermediasi. "Nyatanya, kredit masih seret," kata Iwan. Dan ini harus diakui memang sangat terkait erat dengan restrukturisasi utang swasta. Karena itu, tak bisa dimungkiri bahwa penilaian Bank Dunia dan IMF terhadap Indonesia memang sulit dibantah. Penyelesaian utang swasta dan restrukturisasi sektor perbankan lama-lama menjadi masalah telur dengan ayam?sulit memutuskan mana yang harus lebih dulu dilakukan. Investasi asing, baik yang melalui pasar modal maupun investasi langsung, juga masih sangat kecil. Kondisi politik dan keamanan Indonesia makin mengkhawatirkan. Apalagi, soal kepastian hukum. "Intinya, kepercayaan publik kepada Indonesia memang belum pulih. Tujuan dari semua program IMF itu kan mengembalikan kepercayaan publik, dan itu memang belum tercapai," kata ekonom Martin Panggabean. Namun, Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli, tidak sepakat dengan penilaian Fischer dan Mark Baird. Menurut Rizal, ada hal yang tampaknya ditutup-tutupi. Rizal kemudian mengungkapkan pertemuannya dengan Presiden Bank Dunia, James Wolfensohn. Dalam pertemuan itu, menurut Rizal, Bank Dunia bisa memahami bagaimana sulitnya Indonesia keluar dari krisis karena Indonesia harus menghadapi tiga tantangan sekaligus, yakni transisi dari pemerintahan yang otoriter ke demokratis, bagaimana keluar dari krisis ekonomi, dan pelaksanaan desentralisasi (otonomi) yang tak mungkin ditunda-tunda. "Mereka secara sportif mengakui hal itu dan menurut mereka kita sudah berada pada jalur yang benar," kata Rizal. Menteri Rizal kembali mengungkapkan berbagai indikator ekonomi yang dengan jelas menunjukkan betapa Indonesia memang sedang berada pada tahap pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu, misalnya, bisa mencapai 4,8 persen setelah tahun sebelumnya hanya 0,2 persen dan minus 13,7 persen. Begitu pula dengan defisit anggaran, yang tahun lalu bisa ditekan hingga hanya 3,2 persen. "Memang, untuk bisa segera pulih dan bisa menampung pengangguran, kita harus tumbuh 6-7 persen. Tapi, menurut Rizal, Bank Dunia dan IMF sama-sama mengakui bahwa Indonesia sudah memasuki tahap awal pemulihan ekonomi. "Kita juga sepakat bahwa program reformasi ekonomi memang harus diteruskan," kata Rizal. Penilaian IMF, Bank Dunia, ataupun Rizal bisa saja sama-sama benar atau sama-sama salah atau ada sebagian yang benar dan sebagian lagi keliru. Tapi, yang pasti, biaya yang harus dibayar rakyat sudah kelewat besar. Biaya rekap perbankan Indonesia, yang mencapai 54 persen dari produk domestik bruto, merupakan jumlah yang terbesar di dunia. Ternyata, hasilnya tak sebanding. "Opportunity cost-nya terlampau besar," kata Iwan. Ya, memang tak sulit membayangkan bagaimana jika duit yang dipakai untuk membayar bunga obligasi rekap dipakai untuk keperluan lain. Karena itu, kita tunggu saja janji Menteri Rizal, yang mau habis-habisan mempercepat proses pemulihan ekonomi. Menurut dia, memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus Buloggate dan Bruneigate baru babak pertama. "Saat itu kita memang defensif. Tapi, tunggu babak kedua. Saat itu kita akan ofensif," kata Rizal tanpa bersedia memerinci apa yang dimaksudkannya. M. Taufiqurohman, Rommy Fibri, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus