Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pelonggaran Berulang Ekspor Freeport

Presiden Jokowi memastikan Freeport akan kembali mendapat kelonggaran ekspor. Izin itu akan diiringi pengenaan bea keluar.

10 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja melintasi areal tambang bawah tanah Grasberg Blok Cave (GBC) yang mengolah konsentrat tembaga di areal PT Freeport Indonesia, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, 2022. ANTARA/Dian Kandipi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jokowi beralasan Freeport telah membangun smelter meskipun belum selesai.

  • Penghentian izin ekspor akan berdampak besar bagi perekonomian dan para karyawan Freeport.

  • Pemerintah diharapkan menetapkan denda yang lebih besar kepada Freeport karena terlambat membangun smelter.

PT Freeport Indonesia bakal kembali menikmati relaksasi atau pelonggaran izin ekspor konsentrat. Presiden Joko Widodo sudah memberi kepastian perpanjangan izin penjualan konsentrat tembaga ke luar negeri buat anak usaha MIND ID itu. "Ya, terus dong. Ya, diperpanjang (izinnya)," katanya di Karawang, Jawa Barat, Rabu, 8 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Izin ekspor Freeport Indonesia seharusnya berakhir pada 31 Mei mendatang. Pemerintah hanya memberi restu sementara sejak 11 Juni 2023 lantaran perusahaan tersebut belum menyelesaikan pembangunan smelter tembaga. Berdasarkan Undang-Undang Mineral dan Batubara, pemilik izin tambang mineral wajib mengolah mineral mentah di dalam negeri. Per 10 Juni 2023, semua mineral mentah dilarang dijual ke luar negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun Freeport bersama tiga perusahaan lain mendapat pengecualian. Mereka adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara sebagai eksportir konsentrat tembaga, PT Sebuku Iron Lateritic Ores yang mengekspor besi, serta PT Kapuas Prima Coal sebagai penjual timbal dan seng. Alasannya, empat perusahaan tersebut sudah menyelesaikan pembangunan smelter lebih dari 50 persen.

Komitmen pembangunan smelter inilah yang juga menjadi alasan Kepala Negara kembali memberi pelonggaran izin ekspor. "Kami menghargai Freeport ataupun Amman karena telah membangun smelter dan sudah selesai hampir 100 persen," ujar Jokowi.

Kemajuan pembangunan smelter kedua Freeport di Gresik, Jawa Timur, diklaim sudah mencapai 92 persen per Maret lalu. Perusahaan menargetkan pekerjaan konstruksi rampung pada Juni 2024. Adapun pengoperasian perdana bakal dilakukan pada Agustus mendatang dengan setengah kapasitas smelter yang mampu memurnikan 1,7 juta ton konsentrat tembaga ini. Sedangkan pengoperasian penuh pabrik baru bisa terlaksana pada Desember 2024.

Pekerja menunjukan denah kawasan pembangunan proyek smelter Freeport di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated and Industrial Port Estate (KEK JIIPE), Gresik, Jawa Timur, 9 November 2023. ANTARA/Rizal Hanafi

Masih Membahas Besaran Bea Keluar

Menurut Presiden, pemerintah masih dalam tahap persiapan sebelum memberi perpanjangan izin. Salah satunya adalah menentukan harga patokan ekspor mineral yang harus ditanggung perusahaan. Selain itu, pemerintah masih harus membahas besaran pungutan ekspor. Selama masa pelonggaran sekitar setahun terakhir, Freeport harus membayar bea keluar sebesar 7,5 persen dari nilai ekspor.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71 Tahun 2023, besaran bea keluar ditetapkan sesuai dengan kemajuan fisik pembangunan smelter. Jika kurang dari 70 persen, perusahaan harus membayar bea keluar sebesar 7,5 persen. Sedangkan jika kemajuan fisik lebih dari 90 persen, besarannya hanya 5 persen.

Pelonggaran izin tahun lalu juga disertai dengan sejumlah sanksi. Pertama, perusahaan wajib menempatkan jaminan kesungguhan pembangunan smelter senilai 5 persen dari total penjualan pada periode 16 Oktober 2019 hingga 11 Januari 2022 di rekening bersama. Kalau sampai 10 Juni 2024 pembangunan smelter tak mencapai 90 persen dari target, dana tersebut beralih ke kas negara. Pemerintah juga memungut denda administratif atas keterlambatan operasi smelter sebesar 20 persen dari total nilai ekspor.

Tempo sudah berupaya meminta konfirmasi ihwal ketentuan denda seandainya izin ekspor konsentrat diperpanjang kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana. Namun, hingga berita ini ditulis, tidak ada respons dari yang bersangkutan.

Mengenai bea keluar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyatakan belum ada keputusan ihwal tarif yang bakal dikenakan setelah Mei mendatang. "Soal tarif setelah Mei, masih belum ada pembahasan spesifik mengenai hal tersebut," ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Pemerintah mengantongi penerimaan bea keluar dari tembaga sekitar Rp 2,6 triliun selama periode Januari-Maret 2024. Nilai tersebut tumbuh 530 persen secara tahunan. Sedangkan secara total, pemasukan bea keluar Indonesia pada periode tersebut sebesar Rp 4,2 triliun.

Merujuk pada ringkasan laporan keuangan Freeport-McMoran pada kuartal I 2024, terlihat setoran bea keluar tembaga Indonesia mayoritas berasal dari anak usaha perusahaan tersebut. Freeport tercatat menyetor bea keluar senilai US$ 156 juta. Dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat senilai 15.711 pada kuartal I 2024, nilai tersebut setara dengan Rp 2,4 triliun.

Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, pemerintah mendapat penerimaan bea keluar sebesar Rp 11,18 triliun selama masa pelonggaran izin ekspor konsentrat dari Juni 2023 hingga April 2024. Pada 2023, bea keluar dari pelonggaran berkontribusi sebesar 48,5 persen dari total penerimaan bea keluar. Sedangkan kontribusinya sejak awal tahun hingga April lalu mencapai 79,5 persen. "Jika relaksasi ekspor dilanjutkan, tentunya akan ada tambahan penerimaan bea keluar," katanya, kemarin.

Melihat kontribusi yang cukup signifikan itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bakhtiar mengaku bisa memaklumi perpanjangan izin ekspor konsentrat kali ini. Ditambah, kata dia, pembangunan smelter yang memang belum rampung. Sebab, jika ekspor ditahan, kegiatan di tambang bakal terhenti. Kapasitas smelter tembaga yang sudah berdiri pun jauh di bawah produksi konsentrat Freeport. "Kalau stop produksi, dampaknya luar biasa besar terhadap ekonomi dan sosial, termasuk keamanan," ujarnya.

Di sisi lain, Bisman menyayangkan keputusan pemerintah memperpanjang izin ekspor konsentrat. Alasannya, pemerintah sudah berkali-kali memberi kelonggaran meski Undang-Undang Minerba jelas mengatur kewajiban pembangunan smelter hingga larangan ekspor. "Pemerintah tidak bisa tegas dan Freeport juga tidak serius membangun smelter."

Denda yang Lebih Besar

Aktivitas tambang PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. REUTERS/Muhammad Adimaja/Antara Foto

Kalau perpanjangan ini berlaku, Bisman berharap pemerintah menetapkan denda yang lebih besar kepada perusahaan karena terlambat membangun smelter. Dia bahkan mengusulkan denda ini ditarik secara progresif sesuai dengan perkembangan pembangunan smelter. Pungutan ini merupakan kompensasi atas hilangnya potensi penerimaan negara yang bisa diraup jika pabrik pemurnian tersebut beroperasi, sekaligus menjadi semacam jaminan agar perusahaan segera menyelesaikan kewajibannya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai pengenaan penalti juga bisa menyelamatkan citra pemerintah di publik. Sebab, walau di satu sisi perusahaan memang lalai melaksanakan kewajiban mereka, di sisi lain pemerintah tidak tegas menjalankan aturan. Pengalaman pelonggaran berulang kali seharusnya menjadi pelajaran buat pemerintah. "Bahwa dalam membuat kebijakan perlu lebih komprehensif lagi," tuturnya.

Minim Nilai Tambah 

Komaidi mencatat pengusaha sejak awal tidak pernah memprioritaskan pembangunan smelter tembaga. Pasalnya, nilai tambah dari pengolahan konsentrat tembaga hanya 5 persen. Padahal pembangunan smelter membutuhkan investasi besar. Apalagi industri turunan untuk menyerap hasil olahan tersebut juga belum berkembang di dalam negeri. Tanpa paksaan pemerintah, pengusaha dipastikan tidak akan membangun pabrik tersebut.

Penetapan tenggat pembangunan smelter dan larangan ekspor oleh pemerintah, menurut Komaidi, perlu disertai dengan perhitungan risiko sehingga ada langkah antisipasi yang disiapkan. "Kalau sekarang, seolah-olah tidak ada opsi selain membuka keran ekspor." Sama seperti Bisman, Komaidi memperkirakan dampak penutupan ekspor bakal mengganggu produksi yang berujung pengurangan tenaga kerja.

Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Mulyanto, menilai tidak ada alasan bagi pemerintah melonggarkan lagi aturan buat Freeport. Sejak kelahiran Undang-Undang Minerba pada 2009, Freeport sudah berulang kali mendapat keringanan. "Ini persoalan wibawa pemerintah. Kami terus terang menolak langkah begitu," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Mulyanto juga gerah lantaran pemerintah tak hanya melunak soal izin ekspor konsentrat bagi Freeport. Dia menyoroti langkah pemerintah yang mempercepat perpanjangan izin ekspor perusahaan yang 51 persen sahamnya dimiliki holding perusahaan tambang, MIND ID, itu. "Kita dipermainkan."

Pemerintah tengah menyusun rancangan aturan untuk mempercepat perpanjangan izin Freeport lewat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada akhir tahun lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyebutkan salah satu poin perubahan ini berkaitan dengan Pasal 109.

Ayat 4 pasal tersebut mengatur permohonan perpanjangan izin usaha tambang. Pemilik izin bisa mengajukan perpanjangan paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum izin berakhir. Pemerintah ingin mengubah periode waktunya agar permohonan perpanjangan bisa dilakukan jauh-jauh hari.

Dengan ketentuan tersebut, Freeport bisa mengajukan perpanjangan izin lebih awal meski izinnya baru berakhir pada 2041. Pemerintah mendorong langkah ini lantaran ingin menukar jatah operasi 20 tahun dengan tambahan 10 persen saham di Freeport. Saham itu nantinya dialihkan ke MIND ID.

Perdebatan Tiga Menteri

Revisi peraturan tersebut didorong oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang berencana memberikan prioritas wilayah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan atau ormas. Ide tersebut ditentang oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Energi Arifin Tasrif.

Dua menteri itu berkeberatan lantaran kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Minerba yang menyatakan prioritas wilayah IUPK diberikan kepada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Jika keduanya tidak berminat, barulah penawaran wilayah IUPK diberikan kepada badan swasta. Selain itu, seluruh proses harus melalui lelang.

Sumber Tempo menuturkan rencana itu diubah dengan mengatur prioritas pemberian wilayah IUPK serta membatasi izin hanya untuk tambang batu bara dan hanya ormas keagamaan yang berhak menerima izin tersebut. Ketentuan ini, menurut sumber tersebut, membuat Luhut dan Arifin melunak. Ia juga mengungkapkan bahwa Arifin melunak karena ingin aturan tersebut segera rampung lantaran menyangkut perpanjangan kontrak dan divestasi Freeport.

Rancangan revisi ini masih belum rampung. Menurut juru bicara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hantor Situmorang, tahap harmonisasi di timnya sudah selesai pada 23 November 2023. "Tahap selanjutnya adalah permohonan penetapan oleh Presiden dan berikutnya pengundangan oleh Menteri Sekretaris Negara," ujarnya, 8 Mei lalu.

Ihwal keputusan Presiden Jokowi memperpanjang izin konsentrat, Freeport belum bersedia memberi banyak komentar. "Saat ini kami masih terus berdiskusi dengan pemerintah," ujar juru bicara Freeport Indonesia, Agung Laksamana, kemarin.

Sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengungkapkan bahwa perpanjangan izin ekspor konsentrat penting buat perusahaan lantaran smelter baru bisa beroperasi penuh pada Desember 2024. "Kalau tidak diberikan relaksasi ekspor, kami akan menurunkan produksi," ujarnya kepada Tempo pada 22 Maret lalu.

Dia memperkirakan produksi tembaga turun dari 1,7 miliar pound menjadi 1,4 miliar pound. Sedangkan produksi emas turun dari 2 juta ons menjadi 1,6 juta ons. Tony berujar penurunan produksi ini bakal mengakibatkan penurunan penerimaan negara dari US$ 4,3 miliar menjadi US$ 2,9 miliar.

***

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus