Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Remeh tameh, devisa juga

Kendati ekspor minyak jatuh tapi ekspor nonmigas naik dari us$ 654 juta jadi us$ 858 juta. komoditi nonmigas antara lain burung merpati, bekicot, kerupuk, lapis legit, kantung plastik, dan terpentin.(eb)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Remeh tameh, devisa juga
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BURUNG Merpati: Burung merpati bisa diekspor dan pasarnya di Hong Kong cukup besar. Arief Nazir, yang merintis usaha itu sejak delapan tahun lalu, setia minggu kini bisa menerbangkan 5.000 ekor merpati beku ke koloni Inggris itu. Sekali kirim nilainya Rp 12,5 juta. Gagasan mengekspor burung itu muncul di tahun 70-an ketika Arief makan masakan merpati di kawasan Hing Long. Restoran di sana, setiap Sabtu dan Minggu, pukul rata bisa menghabiskan 22 ribu ekor. Semuanya dipasok para peternak lokal. Ongkos membesarkan ternak itu jelas mahal, karena koloni itu kurang memiliki usaha budi daya makanan burung. Sebuah pikiran jernih lalu muncul: Bagaimana kalau burung itu dipasok dari Indonesia yang biaya membesarkannya lebih murah? Tahun 1978, Arief memutuskan mewujudkan gagasannya itu, sesudah usahanya mengekspor ayam dan udang habis dianyan para pemodal kuat. Seribu pasang bibit burung merpati lalu dibelinya dari Hong Kong. Sukabumi, dengan ketinggian rata-rata 600 m, dipilih untuk mengembangbiakkan hewan itu. Ternyata, tidak mudah. "Dari seribu pasang itu, sebagian besar mati," katanya. Lalu 4.000 pasang lagi didatangkannya. Baru dua tahun kemudian dia blsa mengenali sifat-sifat hewan itu. "Saya juga menemukan jamu makanannya," katanya. Usaha ekspornya baru dimulai 1981 dengan mengirim 1.000 burung merpati beku. Mula-mula ditolak, karena belum pernah ada orang menjual burung beku seperti dilakukan PT Alfa Unggas Merpati itu. Di samping itu, calon pembeli juga tidak setuju kalau paru burung itu disertakan untuk menambah bobot. Sesudah beberapa kali berunding, pihak konsumen akhirnya setuju membeli, tentu, dengan harga bersaing. Sekarang Alfa Unggas, yang mengembangkan peternakan dan ekspor dengan bantuan PT Bahana (BUMN yang membantu pembiayaan dan manajemen), memiliki 22 ribu burung di Sukabumi. Di tempat itu, dilakukan juga pemotongan, pembekuan, dan pengemasan. Jenis burung ekspor (Hong Kong) ini biasanya berbobot 500 gram atau tiga kali berat burung merpati lokal. Yang superking beratnya 480 gram, king 460-480 gram, dan grade 440-460 gram. Dari hasil usaha ekspor burung itu kemudian dirintis ekspor asparagus dan brocolli ke Singapura dan Brunei. Dari lahan seluas empat hektar di Salabintana, Sukabumi, Arief, 42, bisa memperoleh kedua tanaman itu sebanyak empat kuintal setiap minggu. Kembang sedap malam sekitar 1.000 batang seminggu juga bisa diekspornya ke Hong Kong. Dibeli Rp 150 dari petani - laku HK$ 6,4 (sekitar Rp 900) sebatang di sana - atau lebih tinggi dibandingkan harga pasar Rp 25. "Yang ini untuk membantu petani bunga Salabintana," katanya. Bekicot: Petani dan buruh kecil di pedesaan Jawa Timur, asal mau susah sedikit mencari bekicot, penghasilannya juga akan bertambah. Soalnya, di sana ada lima perusahaan yang mau mengolah dan mengekspor binatang melata itu ke pelbagai negara di Eropa Barat - terutama Prancis. Hasil tangkapan petani dan pencari bekicot itu biasanya dibeli seorang juragan Rp 700- Rp 900 per kg. Juragan yang kemudian merebus dan membersihkan batok rumahnya bisa menjual ke eksportir Rp 1.200. Dan devisanya? Tahun 1982, dari 203 ton bekicot bisa dihasilkan hampir US$ 1 juta. Jumlahnya terus naik. Hingga tahun lalu dari 704 ton bisa dihasilkan US$ 1,3 juta. Pukul rata harga bekicot ekspor itu antara US$ 1,32 dan US$ 5,72 per kg. Yang memperoleh nilai tambah besar tampaknya eksportir, yang hanya repot menyortir, mencuci, dan merebusnya kembali - sebelum akhirnya mengemasnya dalam sebuah karton @ 4 kg. "Kalau kami untungnya cuma sedikit, masak ekspornya terus-menerus," kata Soeprapto dari PT Ksatriya Bhakti, salah satu eksportirnya di kawasan industri Rungkut, Surabaya. Kerupuk: Jawa Timur juga mengekspor barang remeh seperti kerupuk. Sekar Laut, perusahaan kerupuk di Sidoarjo, yang setiap hari menghasilkan kerupuk 7-10 ton, bisa memperoleh devisa sekitar US$ 3,4 juta tahun lalu dari usaha ekspornya. PMDN yang beroperasi sejak 1976 itu memusatkan ekspor kerupuk udangnya ke Belanda, Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, dan belakangan juga Amerika. Puncak penjualannya di pasar internasional dicapainya lima tahun lalu ketika Sekar Laut, konon, bisa mengekspor 2.150 ton kerupuk. Tahun lalu, perusahaan yang menghasilkan kerupuk dengan mesin-mesin modern ini hanya bisa mengekspor 1.600 ton. "Tahun ini sasaran 2.000 ton bakal bisa dicapai," kata Benjamin Mangitung, manajer pabrik Sekar Laut, berhitung. Harga jual kerupuk Sidoarjo itu tampaknya cukup baik: US$ 2 per kg sampai di atas kapal (fob). Sementara itu, kalau dijual di pasar lokal paling banter hanya laku Rp 1.600-Rp 1.750. Kerupuk udang dengan ukuran 8 cm x 5 cm dan kecil 2 cm x 3 cm umumnya disukai konsumen di Belanda. "Tapi mereka tak suka kerupuk yang terlalu banyak udang - mereka tak suka amis," kata Benjamin. Bagusnya pasar ekspor itu ikhirnya mendorong Sekar Laut memusatkan penjualan kerupuk yang dibuat dari adonan tepung, telur, dan udang itu, ke pasar luar negeri: sekitar 90% untuk ekspor. Saingannya adalah produsen dari negara tetangga yang menghasilkan kerupuk di rumah belum dengan teknologi tinggi. Jadi rinan. "Apalagi mereka membuat kerupuk tidak dengan udang," tambah Benjamin. Lapis Legit: Lapis legit, kue paling populer di kampung di hari Lebaran, masih dalam tahap merintis pisar ekspor. Usaha memperkenalkan kue itu sendiri sebenarnya sudah dilakukan PT Mariza Product, produsennya di Jakarta dalam sebuah pameran makanan di Paris, empat tahun lalu. Pembelian pertama ternyata malah datang dari Singapura, 1982, sebanyak 200 karton senilai US$ 800. Setahun kemudian Hong Kong dimasukinya. Lalu Brunei dan Australia. "Jumlahnya masih kecil, dan biasanya kami menjual berdasar pesanan," kata Jatmatama, Direktur Utama Mariza. "Pesanan biasanya meluap menjelang Natal dan Tahun Baru." Produksi hariannya cukup besar. Bisa dibayangkan dari bahan yang dipakai tiap harinya: telur satu ton, terigu dan gula, masingmasing, hampir satu ton. Semua bahan itu kemudian diolah dengan mesin-mesin yang dirancang Jatmatama, yang sebelumnya berpengalaman membuat kapal, dan mengotak-atik mesin kapal di Palembang. Harga kue lapisnya kini antara Rp 1.650 dan Rp 2.800 (untuk kue dengan kemasan ekspor). "Tapi, kalau sudah sampai di luar negeri, harganya bisa tiga kali lipat," katanya. Yang masih harus diperbaiki adalah kemasannya. Sudah dua kali kuenya bisa masuk ke Amerika, lolos dari pemeriksaan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA). Tapi, supaya konsumen di sana tertarik, pihak importir menganjurkan padanya agar kemasan diperbaiki. "Dengan kemasan yang ada sekarang ini, dan tanpa bahan pengawet, kue kami bisa tahan selama enam sampai tujuh bulan," katanya. Jatmatama, yang merintis pemasaran kuenya dari pintu ke pintu toko dengan becak di kawasan Senen itu, kini juga berusaha mendapatkan dolar dari sarikaya dan selai pelbagai buah-buahan bikinannya. Sudah 100 ribu gelas selai dihasilkannya setiap bulan. Sarikaya termasuk produksinya yang laku dan kedapatan sudah dipalsukan orang - hingga Mariza merasa perlu memasang peringatan di koran. Semua usaha itu bermula dari kegemaran istri Jatmatama memasak. Kantun Plastik: Yang bisa mendatangkan dolar ternyata juga kantung plastik untuk mengemas. Lihat saja ikhtiar Usaha Bangun, perusahaan keluarga di Lawang, Jawa Timur, yang tahun lalu bisa menjual kantung plastik 300 ton (US$ 380 ribu) ke Australia. Di Negeri Kanguru itu, kantung plastik tadi kabarnya digunakan untuk mengemas sampah, dan pelbagai keperluan rumah tangga. Permulaannya memang banyak ujian. Ketika di awal 80-an kontrak pemasokan kantung plastik itu ditandatangani, SB, yang bisa menghasilkan 40 macam barang pengganti kertas tadi, kena klaim hampir US$ 300 ribu. Gara-gara mutu produknya tak layak diekspor. Kesalahan tampaknya ada di tangan SB, yang memperoleh kontrak pemasokan dalam jumlah besar, lalu meminta bantuan pabrik lain mengerjakan pesanan itu - karena kapasitas mesinnya terbatas. Untung, Bank Rakyat Indonesia memberi pinjaman, dan mesin lokal yang kapasitasnya cuma 60 ton diganti dengan yang bikinan luar negeri berkapasitas 200 ton sebulan. Dengan mesin bagus itu SB, kabarnya, bisa menjual kantung plastiknya Rp 1.400 di atas kapal, sementara titik impas dicapai dengan harga Rp 1.150 per kg. Pemasok terbesar pasar Australia tetap Taiwan, belakangan muncul juga Malaysia. "Lho, kalau Malaysia bisa, mengapa kita tidak?" kata Effendi Hartanto, 56, Direktur SB yang memulai usahanya 16 tahun lalu dari sebuah rumah tinggal biasa. Terpentin: Dalam urusan ekspor "barang aneh", Jawa Timur agaknya pegang rekor. Dari pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, belum lama ini dikapalkan 40 ribu liter terpentin untuk tujuan Jepang. Kalau dijual di pasar lokal harganya paling Rp 130. Tapi dengan melego ke Negeri Sakura itu pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT) Garahan, Jember, bisa memperoleh sekitar US$ 0,245 atau lebih dari Rp 270 per liter. Ekspor ke Bangladesh 20 ribu liter, yang merupakan penjualan kedua untuk pasar internasional, dilakukan April lalu. Pasar di negara lain juga sedang diincar hingga sasaran ekspor 550 ribu liter bisa dicapai tahun ini. Untuk memperoleh terpentin itu, PGT Garahan memerlukan 6.300 ton getah pinus merkusii sebagai bahan bakunya. Dari setiap kilo getah itu, bisa dihasilkan gondorukem sebesar 60%, dan uapnya, sekitar 10%, jadi terpentin - sisanya getah limbah. Cadangan pohon pinus sebagai penghasil getah tersedia di lahan 2,4 juta ha lebih di Unit II Perum Perhutani Ja-Tim. Pohon barus bisa disadap getahnya setelah berusia 10 tahun. Dari hutan pinus seluas itu diharapkan bisa dihasilkan getah 8.800 ton tahun ini, 6.300 ton di antaranya diambil PGT Garahan, dan sisanya dicadangkan dua pabrik lainnya. Dari jumlah getah sebesar itu, Garahan berharap bisa memperoleh 4.000 ton gondorukem, dan 750 ribu liter terpentin - bahan pencampur cat, vernis, maupun pestisida itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus