Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Revisi Aturan Tak Efektif Genjot Royalti

Banyak pengusaha mengantongi dua izin smelter.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik meminta pemerintah membatalkan rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mineral. Sebab, kata Ladjiman, revisi aturan ini tidak akan efektif untuk mengerek pendapatan dari royalti. "Cuma jadi macan ompong saja," kata dia, kepada Tempo, akhir pekan lalu.

Dalam revisi aturan ini, pemerintah akan menaikkan setoran royalti atas mineral mentah yang diolah di pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) berstatus izin usaha industri (IUI), yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian. Untuk mineral yang diolah di smelter milik pengusaha dengan status izin usaha pertambangan (IUP), royalti hanya dikenakan pada produk akhir hasil olahan.

Ladjiman menilai kenaikan nilai royalti mineral di smelter IUI sia-sia. Sebab, kebanyakan pengusaha smelter mengantongi IUI dan IUP, sehingga selama ini membayar dua jenis royalti, yakni untuk mineral mentah dan produk olahan. Pengusaha yang memiliki dua jenis izin tersebut kemungkinan besar akan mengelak saat dikenai beban royalti baru yang lebih tinggi. Pemilik smelter berstatus IUI, misalnya, bisa menolak kenaikan royalti karena juga memiliki IUP.

Akhirnya, jumlah royalti tidak akan bertambah dan akan ada tunggakan akibat maladministrasi," ujar Ladjiman. Agar masalah ini tuntas, Ladjiman mendesak Kementerian Energi agar berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian. Ia pun meminta pemerintah tegas dalam menentukan lembaga yang berwenang menerbitkan izin untuk smelter dan memungut royalti. "Jangan sampai kontraproduktif dengan rencana membangun smelter dan mengolah seluruh hasil tambang di dalam negeri," katanya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono menyatakan pihaknya tetap akan merevisi aturan tersebut dan memberlakukan kenaikan royalti pada tahun ini. Namun ia enggan menyebutkan nilai kenaikan royalti untuk mineral mentah yang diolah di smelter berstatus IUI. "Yang jelas kami tetap fair," ujar dia.

Adapun Direktur Eksekutif Center of Indonesia Resources Strategic Studies (CIRUSS), Budi Santoso, menyarankan agar pemerintah menghapus royalti mineral mentah yang diolah smelter lokal. Tujuannya, tutur Budi, adalah merangsang pengusaha untuk membangun smelter. Ia pun mendesak pemerintah agar menegaskan kewenangan izin smelter, yang bisa dicantumkan dalam aturan peralihan revisi Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara. "Jangan ada dualisme perizinan dalam semua kegiatan pengolahan di Indonesia," katanya.

Apalagi, hingga saat ini, penerimaan dari sektor mineral relatif rendah. Data Kementerian Energi menyebutkan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pertambangan pada 2015 hanya 56 persen dari target, atau cuma Rp 29,6 triliun dari target Rp 52,2 triliun. Rinciannya, penerimaan tetap (iuran) sebesar Rp 5,1 triliun, royalti Rp 14,9 triliun, dan penjualan hasil tambang Rp 9,4 triliun. Walhasil dana bagi hasil menyusut menjadi Rp 17,7 triliun dari target Rp 24,6 triliun. ROBBY IRFANY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus