Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sektor properti dan bisnis konsumer bakal terkena dampak kenaikan tingkat suku bunga.
BNI memilih berhati-hati menaikkan tingkat suku bunga kredit untuk menghindari kenaikan rasio kredit macet.
Industri jasa keuangan perlu lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dengan melakukan asesmen detail pada calon debitor.
JAKARTA — Perbankan nasional mulai mewaspadai risiko kenaikan rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) pasca-kenaikan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (7DRR) ke level 6 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan suku bunga tersebut diyakini bakal berdampak pada sejumlah sektor, seperti properti dan bisnis konsumer. Kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah atau KPR, misalnya, bakal memberatkan nasabah dan dapat berujung pada meningkatnya rasio kredit macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antisipasi pun dilakukan sejumlah bank. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, atau BNI, misalnya, memilih berhati-hati menyesuaikan suku bunga kreditnya. Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilaar menyatakan kebijakan penyesuaian bunga tidak dilakukan secara merata kepada seluruh debitor, melainkan melalui proses peninjauan kembali terhadap kemampuan nasabah dalam menjalankan kewajibannya. “Kalau disamaratakan bisa menyebabkan jatuh ke NPL,” ujarnya.
Selain itu, kualitas kredit perlu dijaga ketat. Terlebih, kata Royke, saat ini rasio NPL BNI tengah dalam tren membaik, yaitu turun ke level 2,5 persen pada Juni 2023 dari 3,2 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Aktifitas pelayanan pinjaman di sebuah bank di Jakarta, 31 Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Antisipasi juga dilakukan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang mulai mempertebal tingkat cadangan penurunan kerugian nilai untuk meredam gejolak perekonomian dan era suku bunga tinggi. Direktur Utama BRI Sunarso berujar saat ini tingkat pencadangan NPL perseroan mencapai Rp 90 triliun atau tiga kali lipat dari total NPL yang senilai Rp 30 triliun. “Di era suku bunga tinggi, yang terpenting adalah mengelola likuiditas secara optimal dengan tingkat risiko yang terkendali,” ucapnya.
Hingga Juni 2023, rasio kredit macet BRI sebesar 2,95 persen, dengan posisi kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) yang juga membaik dari 28,3 persen pada 2020 menjadi 24,9 persen. Perseroan juga berupaya mempertahankan tren perbaikan kualitas aset dengan meningkatkan rasio pencadangan untuk LAR dari 28,3 persen pada 2022 menjadi 49,1 persen pada tahun ini.
Fintech Turut Waspada
Tak hanya perbankan, penyelenggara pinjaman online atau fintech peer-to-peer lending juga ikut mewaspadai risiko pembengkakan kredit macet di tengah tren kenaikan suku bunga pinjaman. Chief Executive Officer Akseleran, Ivan Tambunan, menuturkan perubahan suku bunga berpotensi berdampak ke seluruh sektor usaha. Perusahaan mengantisipasi risiko tersebut dengan bersikap selektif dalam menyalurkan pembiayaan. “Kami memitigasi dengan melakukan asesmen pinjaman yang prudent,” ucapnya.
Ivan menjelaskan, asesmen yang dilakukan meliputi arus kas calon peminjam (borrower) dan data keuangan yang dimiliki, dengan menggunakan machine learning tools. Kedua, memvalidasi pinjaman atau jaminan yang dimiliki debitor secara detail.
“Kami memiliki kebijakan memberikan pinjaman dengan underlying invoice atau purchase order sehingga tidak digunakan untuk hal lain selain membayar pinjaman,” ujar Ivan. Langkah krusial dalam asesmen selanjutnya adalah memeriksa riwayat kredit peminjam dan melakukan proyeksi guna memastikan mereka memiliki kapasitas untuk membayar kewajibannya.
Aktivitas pelayanan perbankan di Jakarta, 29 Juli 2022. Tempo/Tony Hartawan
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menuturkan perubahan kebijakan suku bunga bank sentral secara historis terbukti dapat mempengaruhi kualitas kredit lembaga jasa keuangan. Sebab, ketika suku bunga acuan naik, bank bakal menghadapi kenaikan biaya dana dan pada akhirnya turut mengerek biaya pinjaman.
“Konsekuensi kenaikan suku bunga akibat mempertahankan margin bunga ini dapat mengurangi profitabilitas debitor serta meningkatkan risiko gagal bayar pinjaman yang pada akhirnya menyebabkan NPL meningkat,” katanya.
Menurut Arianto, lembaga jasa keuangan, baik bank maupun fintech, harus menerapkan strategi antisipasi terukur untuk mengelola risiko kredit yang muncul. Strategi itu dapat dilakukan dalam beberapa bagian. Pertama, pada saat melakukan akuisisi debitor atau penyaluran pinjaman baru perlu ada analisis kelayakan yang lebih ketat untuk meminimalkan risiko gagal bayar. “Bank perlu mengenali profil debitor existing selama ini terkait dengan segmen yang sensitif pada kenaikan suku bunga. Dengan begitu, hal itu bisa dijadikan panduan pemilihan segmen yang sesuai dengan risiko minimal.”
Berikutnya, kata Arianto, perlu pemantauan lebih ketat untuk memastikan kemampuan bisnis atau keuangan debitor dapat mengkompensasi kenaikan suku bunga. Adapun pada kondisi debitor yang sudah dalam kategori macet, atau memiliki kecenderungan bermasalah, bisa diajukan opsi renegosiasi dan evaluasi kembali atas kemampuan membayar. “Ini dilakukan sekaligus dengan mulai mempertimbangkan second way out dari jaminan yang diberikan debitor.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo