Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan sebanyak 21 financial technology (fintech) peer-to-peer lending atau pinjaman online (Pinjol) yang mempunyai tingkat kredit macet di atas 5 persen per Mei 2023. OJK juga menyebut tunggakan Pinjol mencapai Rp 51,46 triliun atau naik sekitar 28,1 persen secara tahunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan gaya hidup berlebih alias hedonisme menjadi alasan masyarakat sering kali terjerat pinjol ilegal. Karena hal itu pula masyarakat terjebak dalam fenomena gali lubang tutup lubang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Perilaku konsumtif, tekanan ekonomi, dan lainnya. Jadi, ini yang perlu diwaspadai kepada masyarakat. Ini sekarang ada muncul istilah hedonic treadmill,” kata Friderica dalam konferensi pers Asesmen Sektor Keuangan dan Kebijakan OJK Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan, Senin, 30 Oktober 2023.
Fenomena kredit macet dan gali lubang tutup lubang tersebut kemudian menimbulkan beragam kecurangan yang dilakukan oleh sejumlah pihak. Seperti yang diungkapkan akun X (Twitter) @pinjollaknat, Selasa, 20 April 2021 yang mengunggah dugaan praktik penjualan kartu tanda penduduk (KTP) palsu untuk dapat mengakses layanan pinjol. Lantas, bolehkah menggunakan KTP palsu untuk pengajuan utang di pinjol?
Risiko Pakai KTP Palsu untuk Pinjol
Perlu diketahui, KTP adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Foto atau hasil pemindaian (scan) KTP menjadi salah satu dokumen elektronik wajib untuk mengajukan kredit di pinjol.
- Ancaman pidana
Seseorang yang dengan sengaja menyalahgunakan KTP milik orang lain dapat disangkakan melanggar Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau menantang hukum dengan apa saja mengganti, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, menghancurkan, menghilangkan, mengalihkan, menyembunyikan satu info elektronik dan/atau dokumen elektronik milik seseorang atau publik”.
Apabila terbukti menggunakan KTP orang lain, maka pelaku dapat dijerat hukuman pidana kurungan penjara maksimal 8 tahun dan/atau denda paling besar Rp 2 miliar.
Selain itu, penggunaan data pribadi orang lain juga bisa diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar. Hal itu karena seseorang dianggap melanggar ketentuan dalam Pasal 65 ayat (3) UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya”.
- Hukum perdata
Tak hanya ancaman pidana, pelaku yang memakai KTP palsu atau milik orang lain juga berisiko terseret gugatan perdata. Gugatan perdata dapat dilayangkan saat korban merasa dirugikan baik secara materil maupun moril, misalnya menanggung pembayaran utang pinjol hingga mendapatkan teror dari penagih (debt collector).
Hukum perdata yang dapat didakwakan kepada pelaku pengguna KTP palsu adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi, “Setiap tindakan yang menyalahi hukum dan membawa kerugian kepada seseorang, mengharuskan individu yang memunculkan kerugian itu karena kekeliruannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
MELYNDA DWI PUSPITA