Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rp 68 milyar belum terbayar

Bumj yang kalah kliring akan diambil alih seorang investor. bumj kehabisan likuiditas. pinjaman jangka pendek kepada 39 bank sudah jatuh tempo. kesalahan tidak terletak pada effendi ongko, pemilik bumj.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EFFENDI Ongko, pemilik lama Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ) kabarnya ikhlas sudah. Dia akan melepaskan banknya. Seorang investor telah bersedia mengambil oper seluruh utangpiutang BUMJ yang kalah kliring dua pekan silam. Hal tersebut sudah dituangkan dalam suatu MOU (memorandum of understanding) yang ditandatangani di Jakarta, Jumat pekan lalu. Nam~, karena MOU itu belum final, siapa nama calon investor belum bisa diungkapkan. "Bisa saja investor itu mengundurkan diri lagi," kata sumber TEMPO. Semula dikatakan bahwa beberapa pemilik modal -- antara lain raja kayu Prajogo Pangestu (Barito Group), Edward Soeryadjaya (Summa Group), Henry Pribadi (rekan Liem Sioe Liong di PT Indocement), dan Jakob Oetama (Gramedia Group) --berminat membeli BUMJ. Setelah ditelusuri, ternyata tidak demikian. Mereka rupanya hanya diajak Bank Indonesia (BI) untuk ikut menyelamatkan BUMJ. Nyatanya, mereka kurang berminat. Alasannya cukup bisa diterima. Masing-masing sudah memiliki bank sendiri. Lagi pula, seperti kata seorang bankir akan lebih baik mendirikan bank yang sama sekali baru ketimbang "menyambung nyawa" BUMJ. Mengapa? Seperti diberitakan pekan lalu, direksi BUMJ melaporkan kepada BI bahwa bank milik Effendi Ongko itu kehabisan likuiditas. Laporan itu disampaikan 26 November silam. Akibatnya, semua tagihan yang jatuh tempo pada bank tersebut, untuk sementara ~waktu, belum bisa dicairkan. Tagihan paling besar berjumlah sekitar Rp 68 milyar, berupa pinjaman jangka pendek yang diambil BUMJ dari 39 bank (pekan lalu disebut 38 bank). Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (BPD Ja-Tim) yang mempunyai tagihan terbesar (Rp 10 milyar), di luar dugaan, urusan piutangnya sudah selesai. Bank milik Pemda Ja-Tim ini kabarnya cepat bergerak, yakni dengan menyandera beberapa aset Preskom BUMJ Effendi Ongko-antara lain dua buah pusat pertokoan -- di Surabaya. Padahal, menurut beberapa bankir, krisis BUMJ bukanlah karena kesalahan Effendi Ongko. Ini diperkuat oleh keterangan Sekjen Perbanas Thomas Suyatno yang mengatakan bahwa Effendi Ongko adalah "seorang bankir yang mempunyai karakter". Penilaian ini agaknya tidak berlebihan. Mengapa? Dalam 11 tahun saja, Effendi Ongkotelah berhasil mengembangkan sebuah bank umum yang berpusat di Jakarta padahal cikal-bakalnya berakar dari sebuah bank pasar di Karawang yang didirikan pada 13 Juli 1979. "Yang salah adalah menantunya yang menjadi Kepala Cabang BUMJ Surabaya," kata seorang bankir lain (lihat Kriminalitas). Kini soalnya adalah, bagaimana nasib tagihan 38 bank lain, yang jumlahnya mencapai Rp 58 milyar. Belum lagi tagihan masyarakat (dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito yang jatuh tempo) yang jumlahnya tentu tidak sedikit. "Dalam situasi begini, semua yang menyimpan uangnya di BUMJ mempunyai hak yang sama," tutur Se~jen Perbanas Thomas Suyatno. Perbanas berpendapat bahwa BUMJ ataupun bank lain yang mengalami nasib serupa harus memperlakukan secara adil hak-hak masyarakat yang menyimpan dananya di sana. "Penyelesaiannya tentu sudah diperhitungkan oleh investor mana pun yang masuk ke BUMJ," kata Sekjen Perbanas. Sementara ini, dari ke-38 bank yang masih mempunyai tagihan pada BUMJ merebak kekhawatiran jangan-jangan piutang mereka akan diperlakukan sebagai pinjaman lunak (berjangka panjang dengan bunga rendah). "Jika jalan keluarnya seperti itu, sama saja kami disuruh memberi subsidi kepada investor baru BUMJ," kata Presdir Jaya Bank Antonius Ananto. Presdir Jaya Bank itu kini menjabat Ketua Forum 37 Plus, yakni forum yang dibentuk oleh bank-bank yang mempunyai tagihan pada BUMJ. Forum ini mengharapkan agar BI ikut menyelesaikan tagihan mereka. Namun, tekad BI untuk tidak ikut campur tangan iangsung membantu bank yang dilanda kesulitan likuditas, rupanya, sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dulu BI memang biasa membantu bank-bank yang terancam roboh dengan suntikan modal. "Kini kami tidak bisa memanjakan bank-bank lagi," kata Direktur BI Binhadi,sebagaimana ditirukan Ketua Forum 37 Plus. Ini memang ketetapan otoritas moneter (Departemen Keuangan dan Bank Sentral) sejak keluarnya paket deregulasi Oktober 1988. Celakanya, kebijaksanaan ini menyebabkan hilangnya asuransi dalam perbankan yang tadinya ditanggung Bank Sentral. Sementara itu, asuransi, yang diharapkan dapat melindungi bank dan masyarakat pengguna jasa bank, tidak pula menunjukkan tanda-tanda hidup. Sekjen Perbanas pun sudah berusaha, tapi apa boleh buat, tetap saja belum ada yang ingin terjun ke bisnis asuransi perbankan. "Banyak faktor penyebabnya. Yang utama pertimbangannya tentu risiko yang sangat besar. Omset giralisasi besar sekali, kini berjumlah trilyunan rupiah. Maka, perusahaan asuransi perbankan tentu akan meminta premi yang tinggi. Selain itu, tentu ada kemungkinan-kemungkinan paling jelek yan~g mun~gkin terjadi," kata Thomas. Sementara ini BI rupanya hanya mengharapkan ada investor lain yang bisa menyelamatkan BUMJ. "Sabarlah. Tunggu satu dua minggu," ujar Binhadi, sebagaimana ditirukan Ketua Forum 37 Plus Antonius Ananto. Dari kasus BUMJ ini, ternyata, juga ada pelajaran yang perlu diperhatikan Bank Sentral. Menurut Ketua Forum 37 Plus, BI hendaknya memberi peringatan dini (early warning) jika ada bank yang posisinya sudah merah. Janganlah bank yang posisinya rawan dibolehkan ikut kliring, malah disuruh berbelanja pinjaman di pasar uang. "Jika terus dibiarkan begini, ulah satu bank bisa merepotkan bank~-bank lain. Akibatnya bisa menimbulkan kecurigaan antarbank," tutur Antonius. ~Max W~an~gkar, Moeb~anoe Moer~a, Bamb~an~g Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus