Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

RS Beberkan Kesulitan Terapkan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan

Hanya sedikit sampel rumah sakit yang disurvei DJSN yang memiliki infrastruktur memadai untuk menerapkan kelas rawat inap standar BPJS Kesehatan.

27 Januari 2022 | 15.19 WIB

Aktivitas pelayanan di kantor BPJS Kesehatan Proklamasi, Jakarta, Senin, 27 September 2021. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berencana untuk mengubah penerapan kelas pelayanan di fasilitas kesehatan. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Aktivitas pelayanan di kantor BPJS Kesehatan Proklamasi, Jakarta, Senin, 27 September 2021. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berencana untuk mengubah penerapan kelas pelayanan di fasilitas kesehatan. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia atau Persi, Daniel Wibowo, mengatakan, hanya sebagian kecil rumah sakit yang siap untuk menerapkan kelas rawat inap standar atau KRIS secara bertahap pada tahun ini. Kelas rawat inap standar BPJS Kesehatan tersebut ini semula ditargetkan bisa dimulai per 1 Januari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Daniel menjelaskan, sebagian besar rumah sakit terkendala ihwal kondisi bangunan rumah sakit yang terpaut jauh dari parameter yang ditetapkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari catatan yang dimilikinya, menurut Daniel, hanya tiga persen rumah sakit dari 3.000 sampel yang disurvei DJSN memiliki infrastruktur yang memadai untuk menerapkan kelas rawat inap standar BPJS Kesehatan tersebut.

Sisanya, 81 persen sampel rumah sakit yang disurvei masih memerlukan penyesuaian infrastruktur untuk dapat menerapkan KRIS dan 16 persen rumah sakit dinilai tidak layak untuk ikut menerapkan KRIS.

“Karena rumah sakit tua kondisinya tidak mungkin menerapkan kelas standar, jadi tidak mungkin dilaksanakan sekaligus,” ujar Daniel saat dihubungi, Selasa, 25 Januari 2022.

Tak hanya itu, menurut dia, rumah sakit memerlukan investasi yang relatif besar untuk melakukan renovasi  bangunannya untuk sesuai dengan kriteria KRIS. Namun kebutuhan investasi untuk rumah sakit daerah cenderung sulit diperoleh karena bergantung pada kondisi anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD. 

“Investasi rumah sakit daerah pasti perlu penganggaran dari APBD dulu, tergantung dari kemampuan daerahnya,” tutur Daniel. 

Anggota DJSN Iene Muliati sebelumnya mengatakan rumah sakit daerah dan milik swasta membutuhkan waktu yang relatif panjang terkait dengan implementasi kelas rawat inap standar BPJS yang dijadwalkan efektif selama 2022 hingga 2024.  

Baik rumah sakit milik pemerintah daerah maupun swasta, menurut Iene, membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang untuk melakukan renovasi pada sisi infrastruktur sesuai dengan standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. 

Ia menjelaskan, rumah sakit swasta membutuhkan waktu sedikitnya 6 bulan untuk mempersiapkan diri atas perubahan perubahan program kelas rawat inap standar atau KRIS tersebut.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengusulkan agar penerapan program tersebut ditunda hingga tahun 2025. Salah satu alasannya adalah rumah sakit yang saat ini masih berfokus untuk menangani pasien Covid-19 yang belakangan kembali mengalami kenaikan kasus.

“Uji coba KRIS sampai 31 Desember 2022 akan sulit dipenuhi oleh rumah sakit swasta. Sulit untuk memenuhi persyaratan KRIS tersebut,” kata Timboel melalui pesan WhatsApp, Selasa, 25 Januari 2022.

Dengan penundaan implementasi program KRIS itu, menurut dia,pelayanan kesehatan rumah sakit kepada pasien Covid-19 di tengah masyarakat bakal terbantu. “Tentunya pemerintah harus bijak juga menentukan batas masa uji coba ini."

Timboel menyebutkan, penetapan KRIS itu juga harus disertai dengan kenaikan tarif INA CBGs kepada fasilitas kesehatan (faskes). Ia menyayangkan Kementerian Kesehatan,  selama ini tidak membuka ruang perundingan antara B,PJS Kesehatan dan asosiasi faskes di wilayah untuk menyepakati besaran INA CBGs dan kapitasi tersebut.   

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya menjelaskan bahwa penghapusan kelas rawat untuk peserta BPJS Kesehatan dilakukan untuk menjaga arus kas dana jaminan sosial yang dihimpun badan tersebut tetap positif. 

Budi Gunadi berharap penerapan kelas rawat inap standar BPJS Kesehatan itu akan dapat memperluas cakupan layanan kesehatan kepada masyarakat.

“Intinya kita tidak mau BPJS Kesehatan itu defisit, tapi kita harus pastikan BPJS itu tetap positif tapi mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa, 25 Januari 2022.

Soal arus kas tersebut, kata Budi Gunadi, Kemenkes masih membahas sejumlah potensi pembiayaan yang dapat dioptimalkan penggunaannya. Sebagai contoh, beban pembiayaan kesehatan bagi BPJS Kesehatan untuk kontrol rawat jalan mencapai Rp 8,12 triliun dengan utilisasi 40,9 juta orang pada 2020. 

“Apakah memang semuanya harus dilakukan di rumah sakit karena sebagian ada yang bisa dilakukan di FKTP karena fungsi dari Puskesmas sebenarnya adalah untuk skrining dan tindakan promotif preventif,” katanya. 

Dengan begitu, menurut Budi Gunadi, dana jaminan sosial BPJS Kesehatan bisa dialokasikan lebih optimal pada peserta yang membutuhkan. Artinya, pembiayaan BPJS Kesehatan itu dapat tersalurkan pada layanan kesehatan primer.

BISNIS

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus