Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rumah Korupsi Bernama Balongan

Skandal kilang minyak Balongan benar-benar komplet, mulai hulu hingga hilir. Bagaimana kondisinya sekarang?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapuh seperti rumah kertas. Begitulah perumpamaan kilang Balongan. Tertiup angin sedikit saja, sendi-sendi bangunan yang menyangga Balongan akan runtuh tercerai-berai. Sejak awal, kilang minyak khusus ekspor alias Export Oriented (Exor) Balongan boleh jadi sudah didesain untuk dijadikan tempat bancakan. Pabrik pemurnian minyak terbesar Indonesia ini dibangun dengan biaya yang kelewat mahal, lebih mahal US$ 600 juta atau bahkan US$ 800 juta dari proyek sejenis di luar negeri. Celakanya, bukan cuma pada saat pembangunan, kecurangan juga terus terjadi sampai proses produksi dan penjualan. Katalis untuk mempercepat proses pemurnian minyak, misalnya, dibeli tanpa tender dengan harga lebih mahal US$ 600 per ton ketimbang harganya di pasar bebas. Selain itu, sebagai kilang khusus untuk ekspor, produk Balongan ternyata tak ada yang dikirim ke luar negeri. Dengan dalih efisiensi penyediaan bahan bakar di dalam negeri, seluruh minyak Balongan justru dipasarkan kembali ke pasar domestik. Untuk ekspor, Pertamina tetap mengandalkan kilang Balikpapan dan Dumai. Padahal, untuk menjual minyak Balongan ke luar negeri, Pertamina meneken kontrak dengan British Petroleum dengan fee 2,75 persen dari harga jual. Celakanya, sudah mahal dan tak efisien, operasi kilang Balongan tersendat-sendat. Ketika hendak dioperasikan pertama kali oleh Presiden (kala itu) Soeharto pada 27 Desember 1994, Balongan ngadat sampai tiga bulan. Setelah itu, Balongan mesti berkali-kali "turun mesin". Jika ditotal, sejak beroperasi Maret 1995, jumlah hari produksi yang hilang hampir mencapai setahun. Kerugian akibat hilangnya potensi pendapatan dan biaya reparasi sudah lebih dari US$ 35 juta. Istana minyak yang dibangun di lahan seluas 600 hektare ini memiliki dua unit produksi. Unit pemurnian minyak mentah akan menghasilkan nafta, kerosin, minyak diesel, dan residu. Sedangkan dari unit pemurnian residu alias residue catalytic cracking unit (RCC) akan diperoleh bensin Premix, Super-TT, dan LPG (gas cair). Pada unit yang disebut terakhir inilah "pemogokan" mesin amat sering terjadi. Di kertas proporsal, sebelum mulai dibangun sembilan tahun lalu, Balongan tampak begitu mengilap. Kilang yang berkapasitas 125 ribu barel per hari ini didesain untuk mengolah minyak mentah produksi ladang minyak Duri, Riau. Sebelumnya, minyak Duri mesti dimasak di Singapura sehingga makan ongkos. Pengilangan minyak di Duri tidak cuma menghemat biaya, tapi juga memotong ongkos angkutnya ke Jakarta. Bukan cuma soal teknis, secara finansial pun Balongan amat menjanjikan. Salah satu kilang residu terbesar di dunia ini, rencananya, akan dibangun tanpa harus membebani anggaran. Pemerintah Inggris, dengan lobi Forster Wheeler, salah satu kontraktor Balongan, berjanji memberikan hibah US$ 60 juta, plus pinjaman lunak US$ 140 juta. Sisanya akan diperoleh dari sindikasi internasional dengan syarat yang amat lunak: dibayar dengan hasil penjualan selama 12 tahun masa produksi. Dengan penghitungan sumber biaya semudah itu dan harga minyak internasional saat itu, Balongan diperkirakan langsung menyumbangkan laba US$ 4 juta lebih pada tahun pertama operasi (1995) kepada Pertamina. Di kertas, setelah beroperasi 12 tahun, pada saat cicilan utang komersialnya lunas, Balongan ditaksir sudah menyumbangkan US$ 1,8 miliar ke kas Pertamina. Luar biasa. Tapi apa mau dikata, untung tak dapat diraih, rugi sudah diduga. Jangankan hibah, pinjaman lunak pun tak ada. Ditambah dengan operasi usaha yang begitu boros biaya, tak sulit ditebak, kinerja Balongan awut-awutan. Pada usia dua tahun masa operasinya, Balongan sudah merugi Rp 800 miliar. Pelbagai upaya efisiensi bukan tak pernah dilakukan. Manajemen berusaha menghemat biaya dengan mengurangi bahan bakar kilang dan mengubah komposisi bahan baku. Namun, hingga hari ini, pelbagai upaya itu tak kelihatan hasilnya. Menurut sumber TEMPO di Departemen Pertambangan dan Energi, Balongan tak akan pernah menghasilkan keuntungan atau kembali modal, kecuali jika biaya investasinya dipotong US$ 500 juta. Jika tidak, "Sampai kiamat pun, Balongan akan gigit jari," katanya. Tapi bagaimana memotong ongkos yang sudah telanjur dibelanjakan? Barangkali tak ada cara lain: anggaplah sebagai duit hilang.... M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus