DI waktu malam, kompleks itu seperti istana dalam mimpi. Di atas tanah datar ratusan hektare, ribuan lampu berpendar-pendar, tumpuk-bertumpuk. Dari jauh, ia seperti himpunan kunang-kunang, jalinan bola kristal yang tinggi menggapai atap langit. Dari dekat, ia bagaikan karnaval kemakmuran.
Tapi kemakmuran di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, agaknya cuma dinikmati sebagian orang. Proyek kilang minyak khusus ekspor alias Export Oriented (Exor) Balongan itu sejak awal pembangunannya telah dijadikan tempat bancakan bagi sebagian pejabat. Laporan Jaksa Agung (kala itu) Andi M. Ghalib kepada Presiden B.J. Habibie, yang beredar pekan lalu, menunjukkan bahwa Balongan dibangun dengan biaya kelewat mahal. Kilang minyak raksasa itu dibuat dengan memakan mark-up US$ 113 juta, sehingga merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.
Bahwa kilang Balongan merupakan proyek korupsi, itu bukan soal baru. Tapi surat Ghalib menyebut satu hal istimewa: dua orang bekas pejabat Pertamina bisa dijadikan calon tersangka. Mereka adalah Faisal Abda'oe dan Tabrani Ismail. Abda'oe, bekas Direktur Utama Pertamina, dinilai melanggar prosedur pelaporan sehingga biaya Balongan melonjak tinggi. Sedangkan Tabrani, bekas Direktur Pengolahan Pertamina dan Ketua Tim Negosiasi Proyek Balongan, dianggap lalai dengan membiarkan nilai proyek itu menjadi kelewat mahal.
Selain menyebut kedua pejabat itu, Ghalib juga menyebut nama-nama penting seperti A.R. Ramly (Direktur Utama Pertamina sebelum Abda'oe), Subroto (Menteri Pertambangan dan Energi ketika proyek Balongan diusulkan), dan Ginandjar Kartasasmita (Menteri Pertambangan dan Energi ketika Balongan mulai disetujui dan dibangun). Ketiga orang ini dianggap "perlu didengar keterangannya untuk mengetahui siapa yang seharusnya bertanggung jawab."
Balongan merupakan kilang pemurnian minyak terbesar di Indonesia. Megakilang dengan kapasitas 125 ribu barel per hari itu dibangun selama lima tahun (1990-1995), molor satu tahun dari jadwal semula. Biaya yang dihabiskannya mencapai US$ 2,45 miliar. Padahal, menurut anggota DPR, studi banding ke tujuh negara lain menunjukkan bahwa kilang dengan kapasitas US$ 150 ribu barel per hari cukup dibangun dengan ongkos US$ 1,6 miliar. Kesimpulannya, Balongan kelewat mahal US$ 800 juta, bukan hanya US$ 113 juta seperti disebut Ghalib.
Bukan cuma kelewat mahal, Balongan juga dibangun dengan sembrono. Beberapa hari sebelum diresmikan, akhir 1994, sejumlah mesin Balongan ngadat, tak bisa dipakai. Menurut sumber TEMPO, mogoknya Balongan ketika itu disebabkan oleh perubahan kapasitas. Semula Balongan didesain untuk mengolah 100 ribu barel campuran minyak mentah dari Duri (50 ribu) dan Minas (50 ribu).
Tapi belakangan, untuk mengompensasi biaya pembangunannya yang sudah kelewat mahal, kapasitas Balongan digenjot. Balongan dipaksa mengolah 125 ribu barel dengan campuran minyak Duri 100 ribu dan Minas 25 ribu barel. Akibatnya, "Pipa katalis Balongan sering jebol."
Padahal, begitu jebol, pipa ini tak gampang dicari. "Sudah harganya mahal, pesannya juga lama," kata bekas pejabat tinggi Departemen Pertambangan dan Energi. Menurut sang pejabat, sejumlah komponen di Balongan sengaja dibuat unik, tak ada duanya, "Agar harganya leluasa di-mark-up tanpa ada pembanding." Kesembronoan ini bukan hanya membuat peresmian Balongan molor empat bulan, tapi juga mendongkrak biaya. Presiden Soeharto memang menyetujui tambahan biaya US$ 650 juta lagi untuk perbaikan.
Tapi ini pun tak membuat Balongan sehat walafiat. Beberapa bulan berputar, mesinnya ngadat lagi. Kalau bukan besi katalisnya patah, mesinnya lagi-lagi rusak. Menurut Menteri Kuntoro, ini semua karena "peralatan yang dipakai Balongan tak memenuhi standar." Akibatnya, setiap tahun, Balongan selalu beristirahat untuk turun mesin. Jika dihitung, dalam umurnya yang empat setengah tahun, Balongan sudah libur setahun penuh. Menurut hitungan Pertamina, menganggurnya Balongan mencetak kerugian sedikitnya US$ 35 juta.
Dengan kondisi seperti itu, wajar jika kinerja usaha kilang Balongan amburadul. Jangankan untung, Balongan justru terus menggerogoti modal Pertamina. Pada tahun pertama operasi, 1995, Balongan sudah mencatat rugi Rp 500 miliar. Tahun berikutnya rugi lagi sekitar Rp 300 miliar. Kapan untungnya? Dengan biaya investasi yang kelewat mahal dan spesifikasi peralatan yang sembarangan, seorang pejabat di Departemen Pertambangan dan Energi memastikan, Balongan tak mungkin mencatat laba. "Sampai kiamat pun tidak akan," katanya yakin.
Pernyataan itu semakin menegaskan bahwa belitan korupsi di Balongan sudah luar biasa dahsyatnya. Tapi soalnya: benarkah skandal Balongan akan dibongkar? Jangan banyak berharap. Laporan Ghalib yang disebut tadi bertanggal 21 Mei. Artinya, sudah empat bulan berselang dan hingga hari ini belum ada gerakan apa pun. Barangkali itu sebabnya Tenten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW) merasa perlu bertanya kepada Habibie melalui surat, "Apakah kebijakan Bapak Presiden untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi di Balongan?"
Sampai akhir pekan lalu, dua pekan setelah dikirim, surat ICW belum memperoleh balasan. Sumber TEMPO di Kantor Kejaksaan Agung memang menegaskan bahwa lembaga itu akan segera meningkatkan status Balongan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto juga telah menjanjikan, "Kali ini Balongan diusut tuntas." Tapi itu semua tak menghapus kesan: Balongan tak akan pernah dibongkar habis-habisan karena melibatkan hampir semua pejabat tinggi negara.
Empat tahun lalu, ketika Balongan mulai ngadat, upaya membongkar skandal di kilang minyak terbesar itu sudah dimulai. Ketika itu, Menteri Pertambangan dan Energi Sudjana sudah minta agar Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit lengkap, tapi mentok. BPKP tak mampu menembus Pertamina, yang dibentengi dengan undang-undang khusus. Sudjana tak putus asa. Ia melapor kepada Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Radius Prawiro, tapi juga tak bersambut. Padahal, ketika itu Sudjana sudah mendapatkan pengakuan dari Tabrani bahwa "Balongan kemahalan." Bukan cuma US$ 113 juta seperti hitungan Ghalib, melainkan US$ 500 juta-650 juta.
Akhirnya, Sudjana melapor ke Presiden. Apa kata Soeharto? Orang nomor satu itu tenang-tenang saja. Menurut sumber TEMPO, Pak Harto ingin megaskandal ini diselesaikan diam-diam. Ia cuma minta agar para pejabat yang sudah menikmati rezeki dari Balongan segera mengembalikannya. Sementara itu, untuk menambal kerugian, Presiden minta Pertamina menyetor Rp 1,2 triliun. Beres.
Penyelesaian diam-diam ini mulai digugat setahun lalu, setelah Pak Harto lengser. Seiring dengan sejumlah tender yang berbau kolusi, Balongan juga kena serempet. Juni tahun lalu, DPR minta Kuntoro dan Kejaksaan Agung mengusut Balongan. Tapi, hingga beberapa bulan kemudian, hasilnya tak pernah ada. Akhir Agustus tahun lalu, Kuntoro sempat menjanjikan bahwa audit lengkap dari kedua lembaga itu akan diumumkan dua bulan kemudian. "Tenang, tenang, sebentar lagi selesai," katanya ketika itu. Tapi, sampai tahun 1998 habis, jangankan ada pejabat yang ditangkap, bagaimana korupsi di Balongan pun tak pernah jelas.
Hidup pun berjalan seperti sediakala, sampai hari ini. Sekarang pun, aksi melibas skandal Balongan tampak menggebu-gebu. Kuntoro seperti biasa menjanjikan bahwa penyelidikan kali ini tak akan mandek, bahkan akan diperluas ke korupsi di pabrik PTA di Plaju dan kilang Kasim di Irianjaya. Tapi, apa benar, itu cuma bisa ditunggu.
Hanya, jika melihat kebusukan yang sudah menyebar ke mana-mana, Balongan agaknya akan sulit tersentuh. Kekebalan Balongan agaknya terasa dari pernyataan Wisnu Suhardono berikut ini. Pengusaha yang dekat dengan Bambang Yoga Sugama dan Bambang Trihatmodjo ini ikut mendapatkan rezeki sebagai salah satu kontraktor pengadaan fasilitas penyaringan minyak di Balongan. Ketika ditanya perannya dalam mark-up proyek Balongan, ia hanya menjawab singkat, "Kami ini cuma makan US$ 10 juta dari proyek US$ 1,9 miliar. Cari tahu dong siapa yang makan US$ 300 juta."
I G.G. Maha Adi, Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini