NAMA Satrio Budihardjo Joedono, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, pasti akan sering disebut dalam rapat-rapat Dana Moneter Internasional (IMF). Soalnya, di laci meja Billy—nama panggilan bekas menteri perdagangan itu—tersimpan rapat laporan panjang (long form) hasil audit Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC). Laporan sekitar 400 halaman itulah yang dianggap IMF sebagai kunci penting untuk membereskan skandal terbesar di dunia perbankan Indonesia ini.
Menurut Billy, satu kopi audit PwC itu telah diserahkannya kepada polisi untuk kepentingan penyelidikan. Bahkan, pihak Bank Indonesia, IMF, Presiden Habibie, dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak disetori laporan versi panjang.
Dalam surat yang dikirim melalui faksimile, Direktur IMF untuk Kawasan Asia Pasifik, Hubert Neiss, menanyakan mengapa BPK tidak menepati janji untuk membuka laporan PwC versi panjang kepada publik. IMF juga bertanya apakah Billy sengaja ingin melindungi pihak tertentu. Neiss tentu membaca media massa Jakarta yang mengaitkan skandal Bank Bali ini dengan "Tim Sukses B.J. Habibie". Tampaknya, pihak IMF menaruh curiga bahwa Billy—pernah diangkat sebagai menteri oleh Habibie—ikut menyembunyikan "borok" skandal Bank Bali.
Billy tidak kalah "galak". Ia menulis surat balasannya ke Neiss pada 16 September 1999. Billy beralasan bahwa ia tidak mengumumkan laporan PwC versi panjang karena bisa menyalahi Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Kerahasiaan Bank. Sanksi pelanggaran aturan tersebut adalah denda hingga Rp 8 miliar dan penjara maksimal empat tahun. "Haruskah saya menepati janji kepada IMF (untuk membuka laporan versi panjang) kalau staf saya dan pihak PwC diancam hukuman itu?" tulis Billy. Ia juga mengatakan berusaha melindungi anak buahnya dan orang-orang tak berdosa yang namanya ada dalam laporan versi panjang itu. "Jadi, jangan asal njeplak dengan menyatakan bahwa masyarakat berhak tahu isi laporan versi panjang," tulis Billy menunjuk hidung IMF.
Jawaban keras Billy akhirnya dibahas dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, dua minggu lalu. Jelas sekali bahwa IMF kecewa. Bahkan, dalam konferensi pers, Direktur Umum IMF Michel Camdessus tetap meminta pemerintah Indonesia mengumumkan laporan PwC versi panjang. Kalau tidak, IMF mengancam tidak mencairkan pinjaman US$ 450 juta untuk periode Oktober 1999.
Dalam sidang tahunan tersebut, Neiss menegaskan bahwa kasus Bank Bali harus tuntas. Tolok ukurnya ada empat, di antaranya pemerintah Indonesia harus mengumumkan hasil investigasi kepada masyarakat dan harus mengenakan sanksi hukum kepada yang bersalah.
Kejengkelan IMF sesungguhnya sama saja dengan keheranan banyak orang Indonesia. Sejak pertama kali mencuat pada akhir Juli 1999, skandal itu rasanya "jalan di tempat". Benar, polisi sudah menunjuk beberapa tersangka dan melakukan penahanan, termasuk atas bekas pemilik bank itu, Rudy Ramli. Namun, jangankan keterlibatan "Tim Sukses Habibie" diusut, kasus yang menyangkut transfer uang Rp 546 miliar dari Bank Bali ke PT Era Giat Prima (EGP) itu masih menyimpan banyak sisi gelap. Keterlibatan pejabat negara seperti Ketua DPA Baramuli dan Menteri Tanri Abeng, seperti disebutkan catatan harian Rudy Ramli, membuat pemerintahan B.J. Habibie seperti "mau-mau tapi malu" membuka habis kasus ini.
Nah, surat Billy Joedono kepada Neiss sebenarnya "mewakili" sikap pemerintah Indonesia itu. Dengan menyerahkan kasus ini kepada polisi, misalnya, tentulah yang akan dijangkau polisi hanyalah bidang kriminal dari kasus ini. Itu sebabnya polisi pun kini hanya mengusut para direktur Bank Bali dan sejumlah pemimpin PT EGP. Padahal, kasus Bank Bali menyangkut juga urusan politik yang gampang saja dibaca oleh banyak pihak, termasuk IMF.
Yang harus segera dipahami Billy Joedono, kalau ia berkeras, yang menjadi korban adalah masyarakat luas. Kalau IMF benar-benar tidak mencairkan bantuan—tinggal US$ 2,1 miliar dari total US$ 12,1 miliar—sebelum hasil audit PwC diumumkan, jelas ekonomi Indonesia yang sudah sangat bergantung pada subsidi itu akan bergejolak. Apalagi kalau sikap IMF diikuti oleh para investor asing, yang kini pun sudah mulai "ngeri" dengan kredibilitas Indonesia.
Jadi, dalam kondisi IMF "uring-uringan" begitu, agak janggal mendengar komentar Direktur Bank Indonesia Miranda Goeltom yang mengatakan bahwa IMF sudah jauh lebih mengerti atas sikap pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus Bank Bali. Pendapat Miranda bertolak belakang dengan komentar Laksamana Sukardi dari PDI Perjuangan, yang baru saja pulang dari New York. Laksamana mengatakan bahwa IMF masih terus memasang "muka garang" ke alamat Indonesia sebelum Baligate beres.
Akankah Billy Joedono terus berlindung di balik UU Kerahasiaan Bank dan memilih mengorbankan rakyat banyak?
Bina Bektiati, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini