DANA Indonesia yang parkir di luar negeri kini disorot lagi. Menurut sinyalemen seorang bankir pemerintahan itu menumpuk di negeri orang gara-gara spekulasi yang dilakukan kalangan swasta dan perorangan. Selain itu, "juga karena bank-bank nasional melakukan hal yang sama," kata Dirut Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) Subekti Ismaun pada wartawan koran Priontas, pekan lalu. Dugaan ini mungkin benar, kendati Subekti membantah pernyataannya di koran yang sama, esoknya. Ia juga seperti menghindar ketika dihubungi TEMPO. "Bapak tak mau lagi mengomentari hal itu," kata sekretarisnya. Beberapa bankir yang diwawancara TEMPO membenarkan dugaan Subekti tersebut. "Itu pernyataan apa adanya. Tidak semua bankir suka membicarakannya," kata seorang pimpinan bank di Jakarta. Mengapa? Bankir yang menolak ditulis nama itu dengan terang-terangan menyebut, sebagian besar bank pemerintah dan swasta, terutama bank-bank devisa, mendapat hasil lumayan dari pengelolaannya di luar negeri. Di Indonesia, sedikitnya ada 10 bank devisa - di antaranya Bank Central Asia, Panin Bank, Bank Umum Nasional, dan Bank Niaga, beberapa nama bank yang punya aset besar dan jaringan yang luas di luar negeri. Bank-bank itu adalah pemegang valuta asing yang didapatkan dari hasil transaksi ekpor-impor, atau lewat pengumpulan dan di dalam negeri yang kemudian ditransfer ke luar. Ketika terjadi devaluasi, September tahun lalu, tak tertutup kemungkinan di antara mereka memperoleh rezeki nomplok. Menurut lembaga keuangan keuangan Morgan Guaranty Trust, dana yang berputar di pelbagai bank di luar negeri itu jumlah US$ 5 milyar. "Dana itu tak bisa kita paksa untuk ditarik pulang, meski dibutuhkan di sini, karena kita menganut rezim bebas devisa," kata Syahril Sabirin juru bicara Bank Indonesia. "Bank-bank itu bebas mengelola dana mereka." BI, kata Syahril, tahu tentang adanya bank-bank yang menyimpan dan memutarkan dana di luar negeri. Tapi, BI tak bisa memaksa mereka menarik pulang dana itu. "Kami haya menyiapkan kondisi yang bagus untuk menarik perhatian para pemilik uang atau pihak bank itu agar kembali memutarkan dananya di sini," kata Syahril. DANA Indonesia masih parkir di luar negeri karena perhitungan bisnis para pemilik uang itu. Antara lain, seperti kata seorang bankir, dana itu bisa lebih menguntungkan dibiarkan di luar daripada ditarik kemari. Di sana (kebanyakan di Singapura dan Hong Kong) bank-bank itu atau pemilik dana perorangan bisa memutarkannya dalam deposito di pelbagai mata uang. "Melihat keadaan sekarang, deposito yang masih menguntungkan, misalnya, menyimpan dalam dolar Selandia Baru," kata bankir lainnya. Alasan: suku bunga depositonya terbilang tinggi - sekitar 26% setahun. Memang ada kemungkinan menyimpan dana dalam jangka setahun bisa kena risiko devaluasi. Apalagi Selandia Baru, seperti diketahui, termasuk negeri yang suka mendevaluasikan mata uang mereka. Tapi, kata bankir itu, risiko ini bisa dihitung. Perubahan akibat devaluasi paling-paling mengakibatkan harga (modal) dana tertimbang naik 5%. Dengan pelbagai tambahan biaya, paling tinggi modal dana berkisar 14% atau 15%, "Margin keuntungan dari meminjamkan jelas masih diperoleh," kata bankir tadi. Ia mengatakan selain dari perbedaan bunga deposito, penyimpan dana malah tetap bisa mendapatkan perolehan pendapatan tambahan dari adanya apresiasi kurs. Keuntungan ganda seperti ini sekarang banyak diminati para pedagang di Hong Kong (lihat Indikator). Jika dilihat perolehan dana dari deposito dalam negeri, yang bunganya berkisar antara 16% dan 18 % setahun, mendepositokan dana dalam bentuk dolar Selandia Baru atau mata uang lain yang menawarkan bunga deposito lebih tinggi -- dengan sedikit menghadapi risiko rugi -- memang lebih menantang ketimbang menariknya masuk ke dalam negeri. Maklum, di sini, peminat dana yang berani membayar lebih tinggi masih terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini