HARGA minyak bumi yang diinginkan OPEC, US$ 18 per barel, masih dinilai tinggi oleh para konsumen. Strategi OPEC mengekang produksi bersama menjadi 15,8 juta barel per hari, agar harga US$ 18 bisa dipertahankan, digempur Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara konsumen lainnya di Eropa. Akhir Februari lalu, gempuran konsumen itu bahkan berhasil menurunkan harga menjadi US$ 15,98 per barel. Sekarang, setelah pukulan bersama Jepang, AS, dan negara-negara Eropa itu, kubu OPEC tampak lebih kompak. Buktinya harga minyak dalam beberapa pekan terakhir kembali mantap kesekitar USS 18. Itu tak berarti perang antara kubu OPEC dan konsumen berakhir. Jepang, salah satu negeri pembeli minyak terbesar, masih berusaha membuyarkan strategi harga OPEC lewat pengurangan jatah. Impor yang dilakukan perusahaan-perusahaan swasta Jepang, Maret lalu, menurut penelitian MITI (Kementerian Industri dan Perdagangan Internasional Jepang) seperti diungkapkan pada pekan lampau, menunJukkan penurunan: dari negara-negara di Timur Tengah anjlok sekitar 14% dari Indonesia dikurangi sekitar 26%, kendati ada tambahan pembelian untuk jenis yang lebih murah, Handil dan Cinta. Sebaliknya, dengan impor Jepang dari negara-negara bukan anggota OPEC: dari Brunei naik 14%, dan dari Malaysia bahkan sampai 55% lebih tinggi. Menurut catatan MITI, Maret lalu, penjualan bahan bakar minyak di Jepang memang naik hampir 1% dibandingkan Februari - atau 2,5% lebih tinggi dari permintaan Maret 1986. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto kelihatan tidak begitu khawatir dengan strategi Jepang itu - yang menciutkan pembelian minyak Indonesia, dan meningkatkan pesanan dari Brunei dan Malaysia. Senin siang pekan ini, dua jam sebelum ditemui delegasi MITI, ia makan siang bersama para duta besar dan sejumlah pengusaha di bidang energi, yang diundangnya untuk menyukseskan pameran Indo Energy di Jakarta, Oktober depan. Dalam kesempatan itu Subroto menjelaskan bahwa gempuran para importir tersebut akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Strategi penurunan stok yang dijalankan OPEC, menurut Menteri Subroto, untuk menimbulkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Kata Subroto, pengurangan pembelian oleh negara-negara konsumen telah mengakibatkan stok minyak di negara-negara industri menyusut dari kebutuhan 90 hari menjadi sekitar 75 hari. Jepang juga mengalami hal serupa. Data MITI, yang dikutip Doqe Jones, menunjukkan stok minyak mentah milik pengusaha swasta di Jepang pada Maret lalu tinggal 164,8 juta barel - turun 3,8% dibandingkan stok pada Februari. Sementara itu, penjualan bahan bakar minyak pada bulan yang sama naik sekitar 0,9%. Akibatnya, impor minyak yang telah dikilang naik sampai dua kali lipat, padahal banyak perusahaan pengilangan minyak di sana kehilangan jam kerja. Permintaan minyak dunia pada triwulan pertama 1987 menurut Subroto, diperkirakan 47-48 juta barel per hari. Pada April, permintaan masih 45-46 juta barel per hari. "Berarti hanya turun sekitar 2 juta barel per hari," ujar Subroto. Ia menambahkan, harga minyak Brent dan WTImalah tambah kuat. Brent, minyak terbaik produksi Inggris dari Laut Utara, Februari lalu, sempat jatuh sampai US$ 15,98. Pekan ini sudah naik lagi sampai US$ 18 per barel setingkat harga minyak di musim dingin lalu. Sedangkan minyak West Texas International yang menjadi harga patokan di AS bertahan pada harga US$ 15,7. Kepada pengusaha yang ingin ikut Indo Energy, Subroto meyakinkan bahwa saat itu iklim sudah cukup cerah. Guncangan kejatuhan harga minyak yang drastis tahun silam, dari US$ 28 menjadi US$ 9 per barel, sudah tidak akan terasa lagi. Sekarang ini saja keseimbangan permintaan dan penawaran yang diinginkan OPEC sudah hampir tercapai. Biasanya, harga minyak pada kuarral III dan IV, lebih tinggi daripada harga kuartal II. Melihat kuatnya harga minyak Brent dan WTI di pasar tunai, mungkinkah harga akan naik lagi sampai di atas US$ 20 per barel? Itu akan tergantung strategi OPEC pada sidang Jum mendatang. Menurut Subroto, kemungkinan OPEC masih akan menjalankan pengekangan produksi. Baru pada 1988, OPEC akan membuat skenario baru. "Menaikkan harga di atas US$ 20, risiko permintaan turun. Kalau harga dipertahankan di bawah US$ 20 per barel, kuota bisa dinaikkan sesuai dengan permintaan," katanya. Ia memastikan bahwa OPEC tak akan membiarkan lagi fluktuasi drastis seperti pada 1970-an. Penawaran akan disesuaikan permintaan, yang akan mcningkat banyak. Permintaan minyak OPEC pada 1990, menurut Subroto, tak akan lebih dari 17,5 juta barel per hari. Jatuhnya harga minyak tahun silam merupakan pelajaran pahit bagi semua produsen minyak, baik anggota OPEC maupun eksportir minyak di luar kartel itu. Dari pengalaman itu, kini, para anggota OPEC tampaknya semakin teguh bersatu. Beberapa produsen di luar OPEC, seperti RRC dan Uni Soviet, juga mendukung OPEC dalam pembatasan produksi. Bahkan Oman, iuga bukan anggota OPEC, pekan lalu dikabarkan, mulai 1 Mei nanti, akan menjual minyaknya sesuai dengan patokan OPEC: US$ 17,63 per barel. Padahal, minyak Oman bermutu setingkat Arabian Light, yang ditentukan US$ 17,52 per barel oleh OPEC. "Peluang bisnis di bidang pertambangan minyak dan gas bumi masih akan menguntungkan," kata Subroto. Peluang di bidang usaha pertambangan batu bara, yang kini digunakan sebagai substitusi bahan bakar untuk industri semen dan pembangkit tenaga listrik, juga masih ada marjin keuntungan. "Kalau harga minyak sampai di bawah US$ 15, baru mungkin batu bara tak menggairahkan lagi," kata Subroto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini