Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TULISAN tangan Kapten Iriyanto masih tertera dalam logbook pesawat AirAsia PK-AXC QZ8501, tertanggal 25 Desember 2014. Saat itu di Bandar Udara Juanda, Surabaya, pukul 18.49, pesawat Airbus A320-216 tersebut berjalan menuju landasan pacu untuk terbang menuju Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun secara mendadak, seperti tertulis di dokumen yang salinannya diperoleh Tempo, pesawat tidak jadi take-off. Iriyanto menuliskan telah terjadi defect atau masalah pada auto-flight rudder travel limiter, yaitu sistem kemudi untuk belok kanan dan kiri bagian belakang pesawat. Pesawat kembali ke tempat parkir. Bagian mekanik melakukan perbaikan.
Menurut seorang pejabat Kementerian Perhubungan yang mengetahui insiden tersebut, setelah pesawat diperbaiki selama 16 menit, Iriyanto menjalankannya kembali menuju landasan. Namun lagi-lagi pesawat batal take-off. Pesawat mengalami defect serupa. Sang pilot kembali memarkir pesawatnya. Setelah diperbaiki lagi, baru pesawat terbang menuju Kuala Lumpur.
Insiden batal take-off sehingga pesawat kembali dari landasan ke parkir atau dikenal sebagai return to apron (RTA) itu dibenarkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. "Betul dan sudah diperbaiki," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Pejabat tadi mengatakan insiden kembali ke apron baru diketahui Jonan setelah pesawat itu jatuh di Selat Karimata pada 28 Desember tahun lalu. Kecelakaan pesawat yang mengangkut 162 penumpang dan kru itu mendorong Jonan menerbitkan surat edaran yang isinya: setiap insiden RTA, return to base (RTB), dan diversion harus dilaporkan ke Kementerian Perhubungan. Pesawat baru diizinkan terbang jika kerusakan sudah diperbaiki.
Menurut dia, selama ini insiden sejenis kerap diabaikan dan tidak ditangani menurut prosedur oleh maskapai dan otoritas penerbangan. "Karena sering dianggap angin lalu, diterbitkan surat edaran."
Jonan tidak menyangkal kabar bahwa terbitnya surat edaran itu karena pengawasan terhadap insiden RTA lemah. "Mungkin selama ini tidak dilakukan," katanya. Padahal, dia menambahkan, menurut aturan, insiden RTA wajib dilaporkan dan pesawat tidak boleh terbang sebelum dicek inspektur Kementerian Perhubungan.
Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Muzaffar Ismail tidak membantah kabar bahwa Kementerian Perhubungan tak tahu insiden RTA tersebut. Dia mengatakan ketidaktahuan itu bukan kesalahan. "Sebab, insiden tersebut tidak masuk kategori kejadian yang wajib dilaporkan," katanya.
KERUSAKAN pada bagian flight control bukan kali itu saja terjadi. Berdasarkan data logbook pemeliharaan maskapai, sejak 12 Desember 2014 pesawat ini mengalami kerusakan auto-flight rudder travel limiter berulang kali. Selain mengalami kerusakan auto-rudder, pesawat yang pertama kali diuji terbang pada September 2008 itu mengalami kerusakan pada elevator actuator model (ELAC) I, yaitu sistem kendali yang mengatur naik-turun pesawat.
Bahkan, pada 19 Desember, teknisi AirAsia menuliskan laporan bahwa kerusakan auto-rudder masuk pada kategori C, yaitu harus diganti dalam waktu 10 hari. Artinya, tenggat mengganti auto-rudder adalah 29 Desember, satu hari setelah kecelakaan.
Sejak teknisi melaporkan kerusakan pada flight control itu masuk kategori C, kerusakan masih berulang kali terjadi. Salah satunya insiden RTA saat pesawat dikemudikan oleh Iriyanto di Juanda Surabaya. Sehari sebelum kejadian pesawat jatuh, indikator kerusakan pada auto-rudder masih menyala.
Presiden Direktur AirAsia Indonesia Sunu Widyatmoko membenarkan adanya kerusakan berulang kali itu. Namun ia menyatakan kerusakan telah diperbaiki. "Setiap kerusakan telah dicarikan solusi dan diperbaiki," katanya.
Menurut dia, lampu indikator kerusakan berfungsi menggambarkan sistem mana yang bekerja, bukan menunjukkan pesawat dalam keadaan rusak. "Agar maskapai mengambil tindakan preventif," ujarnya. Soal insiden RTA, menurut Sunu, kerusakan itu telah diperbaiki dengan mengganti flight augmentation computer (FAC), yaitu pengendali auto-flight rudder travel limiter.
Namun, menurut seorang pengawas maskapai Direktorat Kelaikan Udara, AirAsia tidak melakukan pergantian FAC dengan alat baru, tapi memakai komponen serupa dari pesawat lain. Keterangan ini sama dengan data logbook yang menyebutkan pada 26 Desember 2014, peralatan FAC 2 AirAsia PK-AXC dicopot dan dikembalikan ke pemiliknya, yaitu pesawat PK-AXV.
Pilot senior Shadrach Maruasas Nababan mengatakan praktek pinjam-meminjam perangkat elektronik pesawat merupakan kebiasaan buruk maskapai. Kebiasaan meminjam ini berisiko terjadinya kelalaian, yaitu tidak terpasangnya perangkat pada pesawat. "Itu terjadi ketika teknisinya lupa memasang kembali," katanya. "Insiden ini pernah terjadi."
Untuk kasus AirAsia, Shadrach menduga perbaikan yang dilakukan teknisi AirAsia tidak sampai pada akar kerusakan. "Kerusakan berulang kali muncul, artinya bukan inti kerusakannya yang diperbaiki," katanya.
KERUSAKAN dua komponen utama AirAsia memberi keyakinan baru bahwa penyebab kecelakaan bukan semata-mata awan kumulonimbus. Dugaan bahwa dampak kerusakan semakin dikuatkan oleh keterangan Menteri Jonan yang menyebutkan pesawat AirAsia tercatat oleh radar air traffic control naik tiba-tiba dari 32.000 kaki ke 37.700 kaki dalam waktu 45 detik. Setelah itu pesawat turun hingga ketinggian 24.000 kaki. Setelah pesawat melewati ketinggian itu, radar tidak mendeteksi.
Pejabat Kementerian Perhubungan tadi mengatakan kenaikan yang tajam bisa disebabkan kerusakan pada sistem flight control. "Kerusakan auto-rudder dan ELAC pada saat terbang bisa membuat pesawat tidak bisa dikendalikan," katanya.
Praktisi penerbangan Gerry Soejatman juga memperkirakan awan kumulonimbus bukan penyebab kecelakaan. Menurut dia, ada faktor lain yang membuat pesawat mendaki tajam, lalu terempas jatuh. "Bisa karena kerusakan teknis sehingga pesawat tidak terkendali," katanya. Namun Gerry enggan menyebutkan kerusakan pada flight control PK-AXC sebagai penyebab jatuhnya pesawat. "Lebih baik tunggu investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi."
Seorang pengawas pada Direktorat Kelaikan Udara mengatakan, terlepas menjadi penyebab kecelakaan atau bukan, kerusakan flight control QZ8501 tidak diawasi oleh Direktorat Kelaikan Udara Kementerian Perhubungan. "Pengawasannya sangat lemah," katanya.
Kendurnya pengawasan ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan pengawas yang terdiri atas principal operational inspector (POI) dan principal maintenance inspector (PMI). POI berjumlah 50 orang, setengahnya pegawai negeri sipil, sisanya diambil dari pegawai maskapai. Adapun PMI yang mengawasi maintenance pesawat berjumlah 35 pegawai, yang mayoritas tidak berlisensi sebagai pengawas dari produsen pesawat. Pengawas ini menyebutkan PMI pada PK-AXC tidak dilengkapi lisensi pengawasan dari Airbus. "Dia tidak mengetahui seberapa genting kerusakan pada pesawat," ujarnya.
Alfa Robby, PMI AirAsia, enggan menjawab soal kerusakan flight control itu. "Tanyakan ke AirAsia," katanya. Adapun Muzaffar Ismail membantah tudingan bahwa anak buahnya lalai mengawasi maskapai.
Akbar Tri Kurniawan, Iqbal Muhtarom, Ursula Florene Sonia
Riwayat Pesawat Nahas
Pesawat AirAsia mendaki tajam dari ketinggian 32.000 menuju 37.900 kaki dalam waktu 43 detik sebelum jatuh di Selat Karimata. Sebelum jatuh, sejumlah "penyakit" terdiagnosis. Kendati sudah diperbaiki, kerusakan berulang kali muncul.
Pesawat AirAsia PK-AXC QZ8501
Uji terbang pertama : September 2008
Rute : Juanda Surabaya-Changi Singapura
Jadwal : 05.20 WIB-08.30 waktu Singapura
Pilot : Kapten Iriyanto
Kerusakan
12 Desember 2014
Kerusakan pada auto-flight rudder travel limiter 1 dan ELAC 1 rusak
Pelapor: Pilot, setelah terbang Cengkareng-Surabaya dan Kuala Lumpur-Surabaya, serta teknisi maintenance pada saat pengecekan harian.
14 Desember
Kerusakan pada auto-flight rudder travel limiter.
Pelapor: Pilot, setelah mendarat di Surabaya dari Semarang dan Singapura.
19 Desember
Kerusakan pada auto-flight rudder travel limiter 1 dan 2.
Pelapor: Pilot, setelah terbang dari Cengkareng-Surabaya. Teknisi maintenance melaporkan auto-flight rudder travel limiter rusak dan masuk kategori C, artinya 10 hari harus diganti.
21 Desember
Kerusakan auto-flight rudder travel limiter.
Pelapor: Pilot, setelah terbang dari Denpasar-Surabaya.
24 Desember
Kerusakan auto-flight rudder travel limiter.
Pelapor: Pilot, setelah terbang dari Kuala Lumpur-Surabaya.
25 Desember
Kerusakan pada auto-rudder travel limiter.
Pelapor: Pilot Kapten Iriyanto memutuskan dua kali kembali ke apron dan menunda take-off.
26 Desember
Perangkat flight augmentation computer (FAC) dicopot dan dikembalikan ke pesawat PK-AXV. FAC adalah pengendali rudder.
Pelapor: Pilot, setelah menerbangkan pesawat dari Johor Bahru-Surabaya.
27 Desember
Lampu indikator kerusakan pada auto-flight rudder travel limiter menyala.
Pelapor: Pilot, setelah terbang dari Kuala Lumpur-Surabaya.
28 Desember
Pesawat jatuh saat terbang dari Surabaya-Singapura pukul 05.20 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo