Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI sudah condong ke barat ketika Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bergegas masuk kantornya di Gedung Juanda, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Kehadiran Bambang sudah ditunggu direksi PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), dan PT Tuban Petrochemical Industries. Sore itu, Selasa dua pekan lalu, Bambang langsung duduk di deretan kursi paling ujung dari meja persegi panjang yang terletak di tengah ruangan.
Didampingi Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto, Bambang membuka rapat. Tanpa basa-basi, ia langsung membahas topik utama pertemuan: memastikan penyelesaian utang dan pengoperasian kembali aset PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur. "Saya yang mengundang karena rapat malamnya tidak bisa hadir," kata Bambang kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Rapat malam yang dimaksud Bambang adalah rapat koordinasi Tuban Petro yang digelar di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pukul tujuh malam pada hari yang sama.
Pertemuan di Lapangan Banteng tersebut, kata Bambang, digelar untuk mengurai benang kusut yang menyelimuti TPPI. Sebagai pemilik aset, Kementerian Keuangan berharap masalah pengembalian aset bisa segera tuntas. "Pembayaran multiyear bond (MYB) bisa masuk ke penerimaan negara," ujarnya. Bukan cuma itu, pemerintah juga ingin kilang TPPI segera kembali beroperasi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri.
Kilang Tuban beroperasi terakhir kali pada akhir Mei 2014. Sebelumnya, Pertamina dan TPPI menjalin kerja sama pengolahan (rolling agreement) sejak November 2013. Pengoperasian kilang Tuban jalan di tempat setelah Pertamina menghentikan kerja sama pengolahan karena harga produk petrokimia yang dihasilkan jeblok. Direktur Utama Pertamina saat itu, Karen Agustiawan, sempat memperpanjang skema rolling fee hingga Juni tahun lalu. Namun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telanjur melelang kondensat yang seharusnya digunakan oleh TPPI kepada pihak lain.
Padahal kilang Tuban memiliki kapasitas pengolahan 100 ribu barel minyak per hari. Kilang ini juga dapat menghasilkan produk aromatik 927 ribu ton per tahun dan light naphtha hingga 1,06 juta per tahun. Akibat lebih dari enam bulan kilang Tuban stop produksi, penerimaan kas negara seret. Itu sebabnya, "TPPI harus kembali beroperasi penuh, tapi melarang pemilik lama terlibat," kata Bambang.
Rapat yang berlangsung satu jam di kantor Bambang itu tak banyak menghasilkan keputusan. Wakil Menteri Keuangan dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini hanya mengecek kesiapan semua pihak. Salah satunya Perusahaan Pengelola Aset (PPA). "Beliau sempat menanyakan opsi lelang, tapi PPA belum siap karena tidak ada penugasan tertulis dari pemerintah," ujar salah satu peserta rapat.
Dua jam kemudian, peserta rapat di kantor Bambang bergeser ke gedung Kementerian Koordinator Perekonomian, yang letaknya di seberang gedung Kementerian Keuangan. Dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, rapat membahas topik yang sama. Bedanya, rapat ini juga dihadiri Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, dan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi.
Setelah menyantap bakso, peserta rapat membahas untung-rugi beragam opsi yang akan dipilih untuk mengoperasikan TPPI. Setelah satu jam diskusi berlangsung, tiba-tiba Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto melontarkan opsi lelang internasional. Salah satu pejabat pemerintah yang hadir di rapat itu mengatakan Hadiyanto seperti ingin menggiring opini agar opsi tender internasional sebagai salah satu jalan keluar. Padahal, kata sumber tadi, mekanisme lelang internasional bisa menjadi pintu masuk bagi pemilik lama untuk membeli kembali aset TPPI—sesuatu yang selama ini dihindari oleh pemerintah.
Ditemui Selasa pekan lalu di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Hadiyanto tidak menampik usulan lelang internasional mengemuka di rapat tersebut. Tapi, kata dia, tujuannya semata-mata mengembalikan hak pemerintah menerima pelunasan multiyear bond yang masih tersisa Rp 2,83 triliun dari Tuban Petro, induk usaha TPPI. Alasan lain, "Mekanisme tender internasional ini untuk menjaring investor yang punya kapasitas finansial dan kemampuan teknis mengembangkan produksi TPPI," ujar Hadiyanto. Ia tidak setuju bila lelang internasional dianggap bisa membuka kesempatan bagi Honggo Wendratno, pemilik lama, untuk menguasai aset TPPI.
Usul Hadiyanto agar pemerintah membuka lelang internasional tampaknya menenggelamkan opsi agar Pertamina mengakusisi TPPI. Menteri BUMN Rini Soemarno menilai pilihan agar Pertamina mengakuisisi TPPI bukan solusi tepat saat ini. Alasannya, ada masalah hukum yang rumit terkait dengan aset TPPI. Senada dengan Rini, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto menunjukkan keengganannya bila perusahaan pelat merah yang dipimpinnya harus mengakuisisi TPPI. "Kalau perusahaan tersebut utangnya banyak, bagaimana?" kata Dwi.
Meski begitu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil tidak mau buru-buru mengambil keputusan. Menurut dia, pemerintah perlu meninjau ulang semua opsi, termasuk mempailitkan TPPI. Itu semua ditempuh untuk memastikan TPPI benar-benar bersih dari pengaruh Honggo.
Sikap hati-hati yang ditunjukkan Sofyan bukan tanpa alasan. Seorang pejabat negara mengatakan bayang-bayang Honggo masih kuat di TPPI. "Sehingga apa pun yang dilakukan ujung-ujungnya bisa menguntungkan pemilik lama," ujarnya. Hal ini, kata dia, terjadi karena restrukturisasi utang TPPI penuh tipu daya dan cacat sejak awal.
Ikhtiar pemerintah untuk menumpulkan pengaruh Honggo di TPPI sebenarnya berlangsung sejak Maret 2013. Melalui PPA dan Pertamina, pemerintah menguasai aset TPPI menyusul kegagalan Honggo, sebagai penjamin pribadi, melunasi pembayaran utang. Dari total Rp 3,26 triliun, utang yang tersisa masih Rp 2,83 triliun. Akibat gagal bayar, 70 persen kepemilikan saham Tuban Petro di TPPI diambil alih pemerintah. Eksekusi berlanjut terhadap 30 persen sisa saham TPPI milik PT Silakencana Tirtalestari.
Walau pengaruhnya sudah dipereteli, menurut seorang pejabat di pemerintahan, Honggo masih mempunyai kendali atas fasilitas LPG yang berada di tengah kompleks TPPI. Hingga akhir pekan lalu, Honggo belum bisa ditemui. Surat permohonan wawancara yang ditujukan ke rumahnya, serta sejumlah pertanyaan melalui pesan pendek ke telepon selulernya, tidak mendapat respons.
Terlepas dari opsi yang akan diambil pemerintah, Presiden Direktur PT Tuban Petrochemical Industries Sukriyanto mengatakan kegiatan operasi di kilang TPPI harus segera direalisasi. "Kalau TPPI mau dihidupkan demi kemaslahatan umat, ya, harus dilakukan bersama-sama oleh semua pihak," katanya.
Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie (Jakarta), Sujatmiko (Tuban)
Untung-Rugi Ambil TPPI
TARIK-ulur pengambilalihan aset Grup Tuban Petro masih berlangsung hingga kini. Sejumlah opsi untuk mengambil alih TPPI selalu membentur jalan buntu. Inilah untung-rugi dari sejumlah opsi yang bisa diambil pemerintah.
1. Pailit
Keuntungan:
Pengaruh pemilik lama hilang dari TPPI.
Kerugian:
- Tagihan dan investasi pemerintah tidak terbayar.
- Timbul kerugian negara.
2. Lelang internasional
Keuntungan:
- Potensi gugatan dari pemilik lama bisa diminimalisasi.
- Mempercepat proses restrukturisasi dan akuisisi Tuban Petro.
Kerugian:
- Hilangnya kontrol pemerintah.
- Negara rugi karena tagihan dan tingkat pengembalian investasi lebih kecil.
- Hasil pengembangan semua anak usaha Grup Tuban Petro akan dinikmati investor.
3. Akuisisi oleh Pertamina
Keuntungan:
- Hasil pengembangan semua anak usaha Tuban Petro akan dinikmati pemerintah melalui BUMN.
- Hemat biaya investasi tanpa perlu membangun kilang baru.
Kerugian:
- Ada anggapan bahwa proses ini merupakan bailout atas pemilik lama.
- Peluang pengembangan infrastruktur dengan mengintegrasikan industri hulu dan hilir petrokimia sirna.
4. Patungan (Inbreng)
Keuntungan:
- Harga akuisisi lebih rendah karena nilai aset sebesar utang yang tersisa.
- Kepemilikan saham mudah didapat karena tidak perlu bersaing dengan investor lain.
Kerugian:
- Berpotensi digugat pemilik lama, terutama bila harganya bukan harga lelang.
- Proses restrukturisasi dan akuisisi perlu waktu lama karena ada potensi gugatan.
Timeline TPPI
1997
Pembangunan pabrik aromatik dimulai.
1998
Konstruksi proyek pabrik aromatik dihentikan akibat utang US$ 400 juta dan krisis ekonomi.
2000
Restrukturisasi utang Tirtamas Group ditandatangani.
2001
Pendirian PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) untuk penyelesaian restrukturisasi utang Tirtamas Group.
2002
Sebesar 70 persen saham Tuban Petro dialihkan ke BPPN.
2004
Restrukturisasi BPPN selesai, 70 persen saham atas nama BPPN dialihkan ke Kementerian Keuangan.
2006
Trans Pacific Petrochemical Indotama mulai beroperasi.
2007
Pelunasan awal sebagian nilai pokok multiyear bond senilai Rp 50 miliar.
2009
Pertamina dua kali menyatakan TPPI gagal membayar utang senilai US$ 500 juta.
2010
Pertamina menetapkan TPPI gagal bayar untuk ketiga kalinya, dan mendaftarkan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
2011
Honggo mengajukan proposal penyelesaian utang dengan meminjam US$ 1 miliar (sekitar Rp 9 triliun) kepada Deutsche Bank AG cabang London, Inggris, untuk melunasi utangnya ke sejumlah kreditor. Ikhtiar ini gagal.
2012
16 Agustus: Honggo gagal membayar utang.
27 September: Kuasa dan hak suara PT Silakencana Tirtalestari diambil alih PPA.
2013
Penandatanganan perjanjian pengolahan (tolling) bersama Pertamina-TPPI.
Mei 2014
Pabrik berhenti beroperasi.
Wawancara, diolah Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo