Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berharap Banyak pada RUU Migas

Pembahasan RUU Migas belum menunjukkan kemajuan berarti. Padahal kondisi hulu migas Indonesia sudah kritis.

31 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Operator memonitor proses produksi migas melalui layar digital pada Anjungan Bravo Flow Station Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java (ONWJ), lepas pantai utara Subang, Laut Jawa, Jawa Barat, 2 April 2023. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Badan Legislasi DPR mengundang sejumlah pihak dalam rapat dengar pendapat.

  • Pembahasan RUU Migas ditargetkan selesai pada tahun ini.

  • Tanpa investasi baru, Indonesia bakal semakin bergantung pada impor migas.

JAKARTA — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) belum menunjukkan kemajuan berarti. Padahal kondisi hulu migas Indonesia sudah kritis. Hingga kemarin, 30 Agustus 2023, RUU Migas masih dalam tahap pembahasan.

Pada awal pekan ini, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengundang sejumlah pihak untuk rapat dengar pendapat, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, SKK Migas, hingga Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas. Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi, hasil pembahasan tersebut akan dilanjutkan kembali di Komisi Energi dan Perindustrian.

Menurut Wakil Ketua Komisi Energi dan Perindustrian DPR Eddy Soeparno, pembahasan terus digeber. Sejumlah poin krusial mulai mengerucut, khususnya soal badan usaha khusus pengganti SKK Migas. "Kami menargetkan pembahasan RUU ini selesai sebelum akhir tahun," kata Eddy kepada Tempo, kemarin.

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Moshe Rizal masih belum menyerah berharap pada janji DPR RI setelah lebih dari satu dekade menanti revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ini. "Seharusnya, dengan akan berakhirnya masa kepemimpinan, bisa menjadi pemicu DPR untuk meloloskan RUU Migas," kata dia.

Moshe menegaskan bahwa payung hukum untuk industri migas sudah sangat mendesak. Semakin lama, Indonesia bakal semakin sulit menarik investasi yang trennya belum juga membaik. Apalagi penawaran dari negara lain semakin baik. Salah satunya dari Vietnam yang memberikan berbagai insentif kepada calon investor. "Pengesahan RUU Migas akan mempengaruhi sentimen pasar, memberi kepastian hukum, dan akhirnya memperbaiki iklim investasi," kata dia.

Aktivitas pekerja di kilang Pertamina Unit Pengolahan VII Kasim, Sorong, Papua Barat. Dok. Tempo/Wisnu Agung Prasetyo

Minat Investasi Hulu Migas Rendah

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menuturkan, RUU Migas bakal meningkatkan peringkat daya tarik investasi di Indonesia. Merujuk pada laporan IHS Market, ia menambahkan, salah satu alasan kurang menariknya penanaman modal di Indonesia adalah masalah hukum. Dari 14 negara yang dianalisis, Indonesia berada di peringkat ke-13.

Rendahnya minat investasi di hulu migas Indonesia terlihat dari pertumbuhan nilai penanaman modal migas dalam beberapa tahun terakhir. Angkanya berada di kisaran US$ 10 miliar. Baru tahun lalu terlihat kenaikan hingga menyentuh US$ 12 miliar. Dwi optimistis trennya masih meningkat. Dia menargetkan realisasi investasi tahun ini bisa mencapai US$ 15,6 miliar.

Namun nilai tersebut belum cukup. Sebab, Indonesia memiliki target untuk memproduksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar kaki kubik gas per hari pada 2030. Di tengah produksi migas yang terus turun, Indonesia butuh modal lebih besar untuk meningkatkan volume produksinya.


Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, mengatakan bahwa penyelesaian RUU Migas akan sangat bergantung pada pandangan DPR beserta pemerintah terhadap kondisi hulu migas Indonesia saat ini. "Kalau mereka merasa sektor migas masalahnya biasa saja, maka akan terus terjadi pemakluman untuk menunda pengesahan RUU Migas," ujarnya.

Abra mengingatkan bahwa penundaan RUU Migas menimbulkan konsekuensi bagi negara. Ketika kondisi penurunan produksi migas dibiarkan, Indonesia bakal semakin bergantung pada impor minyak dan gas. Selain biayanya yang tinggi, kondisi ini mengancam ketahanan energi negeri. "Nilai kompensasi atau subsidi energi juga akan terus meningkat," ujarnya.

VINDRY FLORENTIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus