Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saingan dari RRC

Bupati Garut melarang menanam akar wangi karena menimbulkan ketandusan tanah dan erosi. Tanah garapan tanaman nilam di Aceh terbengkalai karena tak ada pembeli. Ekspor minyak atsiri dari rrc meningkat. (eb)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP kali Canton Fair diadakan, RRC tak lupa menonjolkan minyak atsirina. Juga delegasi Kadin yang dipimpin Suwoto Sukendar melihatnya di situ bulan Mei lalu, tapi belum membayangkan bahwa atsiri RRC akan bisa menyaingi produk Indonesia. Tentang bagaimana perdagangan atsiri belakangan ini, wartawan TEMPO Yunus Kasim melaporkan: "RRC semakin meningkatkan ekspor minyak atsirinya," kata Unes Darwis pejabat Deperdagkop. Ekspor komoditi itu terutama ditujukannya ke AS Eropa dan Jepang. Setelah Tokyo dan Peking menandatangani perjanjian perdamaian, besar kemungkinan minyak atsiri RRC akan semakin banyak mengalir ke Jepang, yang tadinya juga merupakan pasaran bagi atsiri Indonesia. Tahun 1973, RRC mulai mengekspor minyak nilam ke AS sebanyak 1,5 ton yang setahun kemudian melonjak menjadi 3 ton. Selama tiga tahun terakhir ini ekspornya meningkat terus. Bukan cuma minyak nilam, bahkan RRC juga mengekspor jenis atsiri lainnya yang belum dihasilkan Indonesia seperti minyak casia, eucalyptus, peperment dan menthol. Kendati demikian, "secara keseluruhan atsiri RRC belum akan mematikan atsiri Indonesia," ucap Darwis. Optimismenya agak beralasan. Harga berbagai jenis atsiri di pasaran dunia masih baik. Minyak nilam yang 1974 berharga US$ 14,80 September lalu mencapai US$ 19, 07 per kg. Minyak akar wangi pun pada periode yang sama naik dari US$ 57,58 ke US$ 60 per kg. Tapi minyak sereh wangi yang tadinya US$ 6,76 per kg pada September lalu hanya sekitar US$ 4,53. Khusus harga akar wangi, tingkat US$ 60 per kg itu sudah mantap dan berjalan selama 2 tahun terakhir. Para petani akar wangi di daerah Garut, Jawa Barat meluaskan tanamannya, dari 825 Ha menjadi 1259 Ha selama 4 tahun ini. Di luar negeri, selain RRC muncul pula pendatang baru: Muangthai dan India. Pesaing-pesaing yang berarti untuk akar wangi selama ini hanyalah Haiti dengan produksi tahunan 40 ton, Reunion 30 ton, Angola 30-40 ton. Sedangkan Indonesia menghasilkannya sekitar 60 ton pada tahun 1977, yang sebagian besar datang dari Garut. Sementara orang di luar negeri dan petani kita ramai menanam akar wangi, Bupati Garut, ir Hasan Wirahadikusumah membuat orang kaget. Dengan SK-nya nomer 125 ttgl. 31 Juli 1978 Bupati Garut "melarang usaha penanaman, penyulingan akar wangi" dan mencabut izin usaha yang telah dikeluarkan. Alasannya: Adanya penanaman liar akar wangi di daerah yang telah dilarang, menimbulkan ketandusan tanah dan erosi. Penanaman akar wangi ini telah menimbulkan "kegagalan beruntun bagi usaha penghijauan". Ketel Uap Karim Sebenarnya larangan penanaman akar wangi sudah ada sejak zaman Solichin GP masih menjabat Gubernur Jabar tahun 1974. "Tapi karena harganya baik, dan tidak ada sangsinya, petani terus menanam akar wangi," kata ir Sugiarto, Kepala Bidang Rempah-rempah dan minyak atsiri BPEN. Sampai seberapa jauh kebenaran alasan bupati itu, katanya lagi "BPEN segera akan menelitinya." Tapi jelas jika petani tidak semata-mata menanam padi, ia sesungguhnya sudah masuk kategori petani maju. Dewasa ini di daerah Garut terdapat 55 unit penyulingan minyak atsiri. Kalau semua itu ditutup, sedikitnya 45. 000 buruh tani, petani penanam dan buruh pabrik kehilangan mata pencaharian. Yang tak kurang menariknya adalah laporan pembantu TEMPO, Darmansyah dari Aceh Selatan. Sampai Juni lalu, ratusan hektar tanah garapan untuk tanaman nilam dibiarkan jadi semak belukar. "Bukan karena harga minyak nilam merosot, tapi orang yang membeli tak ada," kata Manyak, petani nilam di Kleut Utara. Manyak memiliki 25 Ha tanah. Dengan 25 karyawan, dia tadinya membuka ladang nilam dan pabrik penyulingan. Kini tanahnya itu dibiarkannya saja ditumbuhi rumput liar. Namun di Tapaktuan, tauke Karim sudah selesai membangun pabrik penyulingan modern berkapasitas 10 ton, 2 shift. Direktur Karim dari PT ADI kini terbentur pada bahan baku daun nilam. Para petani nilam di Aceh Selatan belum Siap mensuplainya. Maka terpaksa PT ADI mendatangkan daun nilam untuk diprosesnya dari Gunung Sitoli, pulau Nias, yang berkwalitas rendah. Sementara itu, Dinas Pertanian setempat mengadakan penyuluhan bercocok tanam dan pengawasan mutu. Sedang Dinas Perindustrian di situ telah selesai membangun Balai Penelitian Nilam. Ada harapan tanah yang sekarang ditumbuhi semak belukar segera menjadi lagi kebun nilam. "Harga tak perlu dirisaukan, cukup baik dan menguntungkan," kata Karim. Tapi dengan beroperasinya Ketel Uap milik Karim itu, penyulingan tradisionil yang kecil sebanyak 16 buah akan terpukul hebat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus