Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memanfaatkan teknologi digital, iGo Green, yang dirintis Aprilya Lestari bersama rekan-rekannya sejak September 2018, mengembangkan aplikasi yang memungkinkan masyarakat mengelola sampah daur ulang. “Dengan aplikasi itu mereka bisa mengetahui sampah apa saja yang bisa didaur ulang, daftar harga, juga menjadwalkan kunjungan truk pengangkut dan lokasi penjemputan,” kata Aprilya di sela kesibukannya dalam acara Global Entrepreneurship Summit 2019 yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 6 Juni lalu.
Saat ini sudah ada 25 bank sampah yang terkait dengan iGo Green. Setiap bulan mereka mengelola 20 ton sampah anorganik. Mereka juga bekerja sama dengan sejumlah pemerintah kecamatan untuk program ini. Modal awal iGo Green adalah Rp 300 juta—berasal dari kocek sendiri dan angel investor. Uang itu mereka gunakan untuk mengembangkan aplikasi, membeli truk secara kredit, menyewa tempat, dan membiayai operasi sehari-hari. Meski telah berjalan, iGo Green masih membutuhkan suntikan Rp 1-2 miliar untuk pengembangan lebih jauh.
iGo Green tak datang sendiri ke Den Haag. Ada Mush’ab Nursantio dan Ifdhol Syawkoni, yang mendirikan startup bernama BiteBack. Kedua lulusan Institut Pertanian Bogor ini mencoba membuat minyak goreng dari ulat Jerman (Zophobas morio). Nantinya, diharapkan minyak ulat ini bisa menggantikan minyak kelapa sawit, yang kerap dituding tidak ramah lingkungan. Pembukaan hutan dengan membakar lahan, penggunaan air secara berlebihan, dan pembantaian hewan liar yang melintas di kebun adalah sedikit dari sejumlah masalah yang kerap dilekatkan pada industri minyak sawit.
Masalah-masalah itu, menurut Mush’ab, tidak akan terjadi dalam pembiakan ulat Jerman. Apalagi, secara bisnis, minyak goreng dari ulat ini lebih menguntungkan. “Penggunaan satu hektare persegi lahan untuk pembiakan ulat Jerman menghasilkan lebih banyak minyak dibanding yang dihasilkan perkebunan sawit,” ucapnya. “Pemakaian air pun tidak sebanyak mereka.”
Melihat peluang yang besar, investor di Singapura tertarik mendanai proyeknya. Mush’ab menolak menyebutkan siapa mereka dan berapa besar investasi yang dikucurkan karena alasan akad kerahasiaan. Yang jelas, kini dia membutuhkan dana untuk proyek pengembangan yang lebih besar. Dari situlah kelak dia dan Ifdhol bisa menghitung dengan pasti nilai ekonomis bisnis ini.
Kucuran yang sama dibutuhkan Poopook, perusahaan rintisan yang didirikan di Jerman oleh Fadli Mustamin bersama teman-temannya dari Nigeria dan Slovenia. Pria asal Makassar yang kini belajar di Universität Bonn ini mengembangkan bisnis pengolahan limbah kotoran manusia. Dengan teknologi, mereka akan mudah membangun drainase yang berujung di pengolahan tinja oleh komunitas suatu kawasan.
Saat ini, perusahaan rintisan yang didanai dari kantong sendiri dan hadiah dari sejumlah lomba ini sudah lulus tes laboratorium dan rumah kaca. “Kini kami menunggu modal untuk pilot project yang membutuhkan sekitar 20 ribu euro,” tutur pria kelahiran 1990 tersebut.
QARIS TADJUDDIN (DEN HAAG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo