Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma rempah-rempah menyeruak di dalam toko Saruga Package-Free Shopping Store. Bau khas sambiloto, kepulaga, cengkih, lada, jahe, bawang putih, daun jeruk, beragam kopi, dan bubuk tepung seolah-olah menyatu di langit-langit toko yang terletak di Jalan Taman Bintaro Sektor 1, Pesang-grahan, Jakarta Selatan, itu. Persis seperti sedang berada di dalam dapur dengan penyejuk udara.
Adi Asmawan menata puluhan stoples kaca di atas rak kayu hitam yang menempel pada dinding batu bata berwarna jingga. Stoples berisi garam itu disandingkan dengan daun jeruk bubuk, daun salam bubuk, kayu manis, dan pala bubuk. Beragam bubuk bumbu dapur lain ditempatkan dalam stoples serupa di rak yang lebih tinggi. Di depan rak tertulis jenis bumbu dan harga jual per gram. Satu gram cabai rawit bubuk, misalnya, dijual Rp 98, sementara garam Himalaya dihargai Rp 218 per gram. “Siapa pun yang datang ke sini, meski cuma untuk beli sesendok makan bumbu, kami layani,” kata Adi, pendiri sekaligus pemilik Saruga Package-Free Shopping Store, saat ditemui, Senin sore, 10 Juni lalu.
Dari luar, Saruga lebih terlihat seperti kedai kopi kekinian. Empat remaja lelaki tengah duduk santai dan bercengkerama di teras Saruga sambil menyeruput secangkir kopi. Lokasi toko Saruga memang bersebelahan dengan kafe kopi di kompleks pusat jajanan Taman Bintaro Sektor 1.
Di kompleks inilah Adi mendirikan toko kelontong modern yang menjual bahan makanan, bumbu dapur, serta barang kebutuhan sehari-hari yang dikemas tanpa plastik atau dikenal sebagai bulk store. Karena barang dijual tanpa kemasan, setiap pembeli perlu membawa wadah atau kontainer sendiri. Tujuannya: mengurangi penggunaan plastik dan sampah dari kemasan sekali pakai.
Semua barang dagangan di Saruga ditempatkan atau dikemas dalam stoples kaca, kertas atau kain pembungkus, dan kotak kontainer. Kontainer dipakai untuk menyimpan beras, ketan, keripik, dan oat. Adapun kertas digunakan untuk membungkus sabun atau sampo batangan. Saruga juga menjual berbagai minyak untuk memasak, seperti minyak kelapa, jagung, dan zaitun. Ada pula peralatan makan, seperti sedotan dari baja tahan karat, garpu dan sendok, serta botol minum.
Tahun lalu, tepatnya pada 15 November, Adi mendirikan Saruga bersama seorang kawannya, Zacky, dengan modal Rp 300 juta. Bisnis ini berawal dari rasa jengkel Adi lantaran harus terus berdebat dengan tetangganya tentang kebiasaan membakar sampah di depan rumah. Kebanyakan sampah dari plastik yang dibakar akan menghasilkan bau asap menyengat. Adi kesal bukan main. Dari situlah dia belajar mengubah gaya hidupnya dengan mengurangi penggunaan plastik dan meminimalkan jumlah sampah dari sisa makanan.
Ia bergegas ke Bandung untuk menimba ilmu di Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi mengenai gaya hidup minim sampah. “Saya berpikir, masalah sampah ini timbunan dari hulu ke hilir,” tutur Adi. Laki-laki 45 tahun itu sadar, produsen barang kebutuhan sehari-hari tak bisa serta-merta mengubah kemasan produk menjadi nonplastik karena alasan sampah. Adi juga mulai berhenti menyalahkan konsumen yang terus membeli produk bersampul plastik. “Posisi retail sebagai pintu gerbang distribusi sampah belum banyak disentuh.”
Adi kemudian belajar mengadopsi konsep bulk store seperti di Inggris. Ia ingin membuat toko retail yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari dengan konsep ramah lingkungan. Menurut Adi, kemasan produk kebutuhan harian sebagian besar ditujukan untuk pemasaran. Jika produk sudah habis, kemasan hanya menjadi sampah. Dengan adanya bulk store, pembeli bisa berbelanja barang sesuai dengan takaran kebutuhan, minim sampah kemasan.
Adi berkali-kali ditolak investor saat pertama kali mengajukan proposal bisnis toko kelontong minim sampah ini. “Mereka bilang, ‘Bikin bisnis kok hitungannya minus semua’,” ujarnya. Setelah berjalan sekitar satu semester, bisnis Saruga kini hampir balik modal.
Manisnya bisnis toko kebutuhan rumah tangga berbasis ramah lingkungan juga dirasakan Denia Isetianti Permata. Denia mendirikan e-commerce Cleanomic—kependekan dari Clean Economic—pada Maret 2018. Sebuah video YouTube mengenai limbah sampah menggugah kesadarannya untuk mengubah gaya hidup. Dari situlah ia mulai membuat akun Instagram dan situs Cleanomic tentang gaya hidup peduli lingkungan.
Adi Asmawan, pemilik Saruga Package-Free Shopping Store di Bintaro Sektor 1, Tangerang, 10 Juni 2019. / TEMPO/Putri Adityowati
Mulanya, Denia lebih senang membagikan informasi mengenai green lifestyle di media sosial. Lama-lama, ketertarikannya merambah ke bisnis online berbasis ramah lingkungan. “Produk yang dijual merupakan tambahan untuk memudahkan orang menemukan alternatif pengganti produk sekali pakai,” ucap Denia saat dihubungi, Rabu, 19 Juni lalu.
Cleanomic menjual berbagai kebutuhan rumah tangga dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 700 ribu. Dengan modal Rp 2-5 juta, omzet Cleanomic kini mencapai Rp 50-90 juta per bulan. Tak hanya menjual barang, Cleanomic juga memasarkan konten lain seperti kursus digital dan tiket acara melalui situsnya. Di Instagram, Cleanomic sudah memiliki 18.500 ribu pengikut. Denia juga bekerja sama dengan dua toko di Bandung untuk menjajakan produk-produknya.
Akhir Mei lalu, pendiri gerai menu sehat Burgreens, Helga Angelina, ikut mengembangkan sayap bisnis ke sektor retail berbasis lingkungan. Helga membuka toko The Bulkstore & Co di Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat. Baru berumur sebulan, The Bulkstore & Co kini telah menjual lebih dari 350 jenis bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari.
Mayoritas produk yang dijual The Bulkstore & Co merupakan produksi komunitas petani atau usaha mikro, kecil, dan menengah di berbagai kota di Tanah Air. Tak perlu waktu lama bagi Helga untuk membuka The Bulkstore & Co. Ia menggandeng empat kawannya yang berkecimpung di bidang lingkungan dan gerakan sosial untuk mendirikan toko tersebut.
Lima sekawan itu memastikan semua proses cocok tanam dan produksi bahan makanan yang disuplai ke toko berbasis alam dan tanpa pengawet, pewarna, serta pemanis buatan. “Kami janjikan petani dan konsumen dapat harga yang adil,” kata Helga saat ditemui, Selasa, 18 Juni lalu.
Perempuan 28 tahun itu mengungkapkan, meningkatnya kesadaran terhadap gaya hidup sehat dan peduli lingkungan membuatnya terus ingin mengembangkan bisnis di sektor hijau. Hasil survei WWF Indonesia dan Nielsen pada Juli 2017 menyebutkan 63 persen konsumen Indonesia sebetulnya berkenan membeli produk berlabel ramah lingkungan meskipun dengan harga lebih tinggi. Survei ini melibatkan 916 responden kelas menengah berumur 15-45 tahun di lima kota besar di Indonesia.
Mayoritas responden menaruh perhatian khusus pada pemanasan global dan konsumsi harian mereka. “Sayangnya, retail sebagai penyuplai belum memiliki pemahaman yang baik untuk menempatkan produk ramah lingkungan sebagai prioritas,” ujar Direktur Survei Konsumen Nielsen Hety Riatono seperti dikutip dari situs WWF.
Nyatanya, para pengusaha bulk store tak mudah mengedukasi produsen yang terbiasa menggunakan kemasan sekali pakai untuk jual-beli produknya. Adi Asmawan berkali-kali mesti meyakinkan produsen atau distributor agar mengambil produk dalam volume besar sehingga pabrik bersedia menjual barang tanpa kemasan. Adapun Helga harus menyodorkan kontainer sendiri kepada produsen agar mereka tak mengirim kemasan berukuran kecil. “Kami minta supply chain kami seramah mungkin. Ini butuh proses,” ucap Helga.
PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo