Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di Bawah Tekanan Lingkungan

Lebih dari seribu pengusaha berkumpul di Den Haag, Belanda, menawarkan usaha masa depan. Sebagian besar bergerak di bisnis ramah lingkungan dan pemberdayaan perempuan.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ajang Global Entrepreneurship Summit 2019, di Den Haag , Belanda, 5 Juni lalu./Dok. GES 2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fadli Mustamin tertarik pada hal yang dihindari banyak orang: kotoran manusia. Dia bukan pengusaha truk sedot tinja yang stiker promosinya menempel di tiang listrik seantero Jakarta. Ia justru mengembangkan sebuah teknologi yang menggantikan truk-truk tinja itu. “Sistem pembuangan tinja memakai truk itu tidak memenuhi syarat kesehatan. Banyak yang membuang tinja sedotan ke sungai dan menyebarkan bakteri berbahaya, seperti E. coli,” kata Fadli sehari setelah Lebaran, 6 Juni lalu, di Den Haag, Belanda.

Fadli datang ke Belanda setelah usaha yang ia rintis bersama dua temannya, Poopook, terpilih sebagai salah satu usaha rintisan dalam Global Entrepreneurship Summit (GES) 2019. Sebanyak 1.200 entrepreneur, yang sebagian besar pelaku usaha rintisan, mengikuti konferensi yang diinisiasi pemerintah Amerika Serikat dan Belanda itu. Selain Fadli, ada dua wirausaha asal Indonesia yang hadir di sana plus seorang perwakilan dari Go-Jek. 

Para pendiri bisnis rintisan ini diberi kesempatan bertemu dan menyampaikan ide kepada 400 investor yang siap mendanai usaha mereka. Juga ada kesempatan bersua dengan perusahaan-perusahaan besar yang mungkin tertarik pada ide mereka.

Para pengusaha ini adalah anak muda dari seluruh dunia yang punya ide brilian untuk bisnis pada masa depan. Ide para pelaku usaha rintisan itu, meski sebagian besar belum berhasil meraup keuntungan, menarik perhatian banyak penanam modal. Menurut Venture Monitor, tahun lalu ada US$ 6 triliun yang diinvestasikan venture capital di perusahaan-perusahaan rintisan.

Fadli Mustamin

Di seluruh dunia, diperkirakan ada 100 ribu usaha rintisan dengan beragam bisnis yang mengubah wajah bisnis dunia. Mereka adalah paras bisnis pada masa mendatang. Karena itu, tema yang dipilih untuk GES tahun ini adalah “Future Now”. Meski pertemuan berbicara tentang masa depan, inovasi, dan teknologi, niatnya adalah membidik cara baru dalam berbisnis.

Tentu saja ada topik seperti kecerdasan buatan, robot, mobil tanpa sopir, dan helikopter listrik. Namun itu hanya mengisi sekitar 30 persen dari semua sesi yang digelar di World Forum, Den Haag. Sebagian besar justru membicarakan lingkungan hidup dan pemberdayaan perempuan. Itulah sebabnya sejumlah subtema yang dipilih adalah tentang energi terbarukan, pemanfaatan air yang efisien, pertanian pada masa depan, konektivitas, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan.

Dalam sambutannya, Menteri Perdagangan Luar Negeri Belanda Sigrid Kaag mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada era mendatang adalah pertumbuhan yang inklusif bagi semua orang dan membuat bumi lebih lestari. Masalah geopolitik, hak asasi manusia, dan pengungsi dari negara yang tertindas sama pentingnya dengan pertumbuhan angka ekonomi. “Teknologi telah mengubah segalanya, dan itu membuat kita bisa mempercepat pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif untuk semua yang ada di planet ini,” ujarnya.

Salah satu yang menarik adalah pertanian pada masa depan. Pada 2050, ada 9 miliar manusia yang harus diberi makan. Itu artinya makin banyak lahan pertanian yang dibutuhkan. Di sisi lain, lahan pertanian menyempit didesak tempat tinggal dan industri.

Masalahnya bukan sekadar memproduksi lebih banyak makanan di lahan yang makin sempit. “Ini adalah tentang bagaimana mencari keseimbangan dengan alam,” kata Louise Fresco, Presiden Direktur Wageningen Universiteit, Belanda, kepada para pendiri usaha rintisan di bidang pertanian. “Karena itu, ekonomi baru adalah bagaimana mengelola tanah, air, dan makhluk hidup dengan cara baru yang lebih peduli terhadap lingkungan.”

Pertanian dan peternakan tradisional memang memiliki sejumlah dampak kurang bagus bagi lingkungan, seperti gas emisi. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ternak menyumbang 15,5 persen gas emisi dunia, setara dengan yang keluar dari knalpot mobil.

Belum lagi masalah air. Tanaman seperti sawit haus akan air. Padahal permintaan sawit masih tinggi dan menjanjikan secara bisnis, meski terjadi sedikit penurunan harga belakangan ini. Tahun lalu saja nilai sumbangan devisa minyak sawit Indonesia mencapai US$ 20,5 miliar.

Di sinilah teknologi diharapkan hadir untuk membuat pertanian masa depan lebih ramah lingkungan. Melihat hal itu, Mush’ab Nursantio dan Ifdhol Syawkoni, yang lulus dari Institut Pertanian Bogor, mengembangkan Biteback untuk mengolah minyak goreng (dengan beragam kegunaannya) dari ulat Jerman, Zophobas morio.

Mush’ab, yang kini berkantor di Singapura, mengklaim bisnis ini lebih menguntungkan daripada pengolahan minyak kelapa sawit. Jumlah minyak yang dihasilkan dari ulat lebih banyak dibanding CPO. “Juga lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan lahan yang besar serta air yang banyak,” tuturnya di sela kesibukannya menemui para investor.

Ada juga Bakur Kvezereli, CEO Z Tracktor dari California, Amerika Serikat, yang memperkenalkan traktor tanpa emisi; pertanian urban yang bisa diinstal dengan mudah seperti yang ditawarkan Tsuyoshi -Stuart dari Alesca Life; serta Umitron dari Jepang dan Singapura yang memperkenalkan peternakan ikan laut dengan pemantauan satelit.

Semua ini menarik perhatian para investor. Salah satunya Riadh Shaiek dari Demeter, Prancis, yang membantu usaha rintisan di bidang pertanian yang ramah lingkungan. “Kami menghimpun dana sejak 15 tahun lalu, yang setiap tahun kami salurkan 80 juta euro—dan meningkat menjadi 100 juta euro pekan lalu—untuk mendanai usaha rintisan yang memiliki inovasi di bidang agrokultur,” ucap Shaiek. Termasuk di antaranya inovasi untuk menumbuhkan daging tanpa ternak alias daging buatan.

Di bidang energi, misalnya, ada InfiCold dari India yang menawarkan gudang pendingin susu yang hanya memakai listrik selama lima jam untuk penggunaan selama 24 jam tanpa henti, tapi 30 persen mendinginkan lebih cepat. Ada pula Gravitricity, yang memberikan solusi atas tidak konstannya aliran dari pembangkit listrik ramah lingkungan seperti kincir dan sel surya.

Mush’ab Nursantio (paling kanan) bersama Perdana Menteri Belanda Mark Rutte (berdasi biru) dalam pembukaan GES 2019 di Balai Kota Den Haag./ Dok. Prib

Ide yang bertaburan itu dibagi dalam pertemuan-pertemuan, makan siang informal, juga presentasi di sudut-sudut World Forum yang penuh sofa dan camilan. Kalau tidak sempat bertemu, para pengusaha bisa masuk ke lift, lalu punya waktu selama 40 detik untuk mempresentasikan produknya. Ruang lift itu dirancang menjadi studio mini yang merekam presentasi dan kemudian menyiarkannya di GES TV serta YouTube agar bisa ditonton para investor.

Masalah yang dihadapi tentu bukan sekadar modal. Sebanyak 70-90 persen pelaku usaha rintisan gagal pada tahun-tahun pertama bisnis mereka. Itulah sebabnya tuntutan dan tingkat stres di kalangan pendiri usaha rintisan sangat tinggi. Tuntutan dari investor agar usaha yang didanai cepat memberikan keuntungan juga amat besar.

Namun tidak demikian bagi Marcel Muenster. Bersama rekannya di The Gritti Fund, ia membuat konsorsium permodalan yang, tentu saja, menuntut keuntungan. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga menekankan kesehatan jiwa para pengusaha. “Kami menyebutnya investasi kebahagiaan,” ujarnya.

Muenster tidak hanya memelototi angka penjualan, tapi juga menghitung berapa kalori yang harus dimakan para pelaku bisnis rintisan, jam tidur, hingga berapa kilometer mereka joging dalam seminggu. Pokoknya mereka harus hidup sehat dan teratur. “Kami tidak bisa mempercayakan uang kami kepada orang yang tidak disiplin dalam hidup,” tuturnya.

Lalu bagaimana bisa untung jika para wirausaha tidur delapan jam sehari? “Bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras,” kata pria yang banyak berinvestasi di Afrika dan Timur Tengah itu. Problem utama para pelaku usaha rintisan adalah sistem bisnis dan kerja yang lemah. Mereka terlalu banyak menghabiskan waktu dengan mencoba-coba sistem yang tepat. Padahal, menurut Muenster, waktu bisa dipotong dengan menyuplai sistem yang baik.

Itulah sebabnya The Gritti Fund menyediakan sistem bisnis yang sudah teruji dan siap diterapkan—tentu dengan sejumlah penyesuaian—pada perusahaan-perusahaan yang didanai.

QARIS TADJUDDIN (DEN HAAG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus