Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA kapal penangkap ikan milik PT Sumber Haslindo bersandar dalam posisi berjajar di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara. Kapal-kapal bercat putih itu berkarat di bagian bodi. Papan geladaknya lapuk. Selasa pekan lalu, lima anak buah kapal berjaga di sana.
Kapal-kapal yang diimpor dari Jepang itu merupakan spesialis penangkap tuna di laut dalam. Alat tangkapnya jenis longline. Sejak harga solar naik, biaya operasional sistem longline makin mahal. Para pengusaha mengganti alat tangkap ikan dengan alat tangkap yang lebih murah. Itu sebabnya, buritan kapal Haslindo 5 dan Haslindo dibongkar untuk dipasangi jaring. Keduanya masing-masing berukuran 504 gross tonnage (GT) dan 451 GT.
Belum selesai bagian kapal itu dirombak, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan moratorium kapal eks asing, satu pekan setelah ia dilantik. Akibatnya, kapal impor dilarang beroperasi. "Sekarang kapal-kapal itu mangkrak," kata Muhammad Bilahmar, Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Asosiasi Tuna Indonesia, Selasa dua pekan lalu.
Seorang eksekutif PT Sumber Haslindo mengatakan perbaikan kapal masih sempat berlanjut hingga April 2015. Saat itu, Haslindo yakin pengurusan izin baru bisa dilakukan setelah moratorium berakhir. Ternyata Susi memperpanjang jadwal moratorium. "Kami akhirnya menghentikan pekerjaan. ABK dan karyawan terpaksa dipulangkan," ujarnya. Haslindo mengaku rugi miliaran rupiah.
Pengusaha masih berharap, setelah moratorium berakhir, izin penangkapan ikan bisa diurus. Apalagi, dari hasil analisis dan evaluasi, Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115) mengumumkan bahwa kapal Haslindo 5 tidak masuk daftar hitam. Saat moratorium berlangsung, kapal Haslindo 5 satu-satunya yang diaudit karena izinnya masih hidup.
Harapan itu terkikis setelah Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Syarif Wijaya mengirimkan surat pemberitahuan. Isinya mengenai deregistrasi kapal eks asing yang tidak masuk daftar hitam. Dalam suratnya tertanggal 11 Februari 2016, Syarif menyatakan pelaku usaha yang pelanggarannya masih dapat ditoleransi tidak masuk blacklist. Namun mereka diminta segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapalnya dari daftar kapal Indonesia.
Kapal Haslindo 5 masuk daftar 390 kapal eks asing milik 80 pengusaha yang dikategorikan melakukan pelanggaran ringan. Satgas 115 mencatat, dari 1.132 kapal eks asing yang diaudit, sebanyak 414 kapal keburu kabur saat moratorium diumumkan. Walhasil, tersisa 718 kapal yang ditahan. Dari jumlah itu, 390 kapal harus melakukan deregistrasi. Sisanya masuk daftar hitam dan akan diproses secara hukum. "Semua kapal eks asing akan hilang dan yang masuk daftar hitam akan ditenggelamkan," kata Ketua Satgas 115 Mas Achmad Santosa, dua pekan lalu.
Mas Achmad menegaskan, pemilik kapal tidak boleh menjual kapalnya sebelum melakukan deregistrasi. Itu sebabnya, ia berencana memanggil seorang pengusaha yang dikabarkan hendak menjual kapal eks asing untuk dijadikan kapal pengangkut bahan bakar minyak. "Tidak ada tempat buat mereka di Indonesia," ujarnya.
Pelaku usaha bereaksi terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut mereka, pemerintah sewenang-wenang dengan tidak memberikan kepastian berusaha. "Menteri Susi harus melihat mana perusahaan yang abal-abal dan mana yang benar-benar investasi," kata Kuryanto, Ketua Asosiasi Tuna Indonesia Wilayah Jakarta. Perusahaan abal-abal yang dimaksudkan adalah perusahaan yang diduga hanya melakukan jual-beli izin dengan pemodal asing.
Hamonangan Purba, Presiden Direktur PT Ocean Mitramas, mencontohkan kapal Mitramas 6 sebagai kapal eks Jepang yang tidak sepatutnya dihapus dari daftar kapal di Indonesia. Kapal yang asalnya bernama Azuma Maru No. 68 itu, kata Hamonangan, benar-benar diimpor dari Jepang pada 2009. Kapal itu merupakan peremajaan Mitramas 6, yang selanjutnya menjadi besi tua. Pengadaan Azuma Maru No. 68 disetujui Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Ali Supardan, melalui surat bernomor 665/DPT.4/PI.420.D4/II/9, yang terbit pada 24 Februari 2009.
Menurut Hamonangan, Jepang juga mensyaratkan kapalnya hanya boleh digunakan sebagai kapal pengangkut. Kapal tersebut tidak boleh dijual atau diekspor ke negara lain. "Kalau ada deregistrasi, kapal-kapal ini mau dijual ke mana?" ujar Monang-sapaan Hamonangan. Kapal itu, kata dia, juga tidak boleh dioperasikan untuk illegal fishing. Semua perjanjian itu tertulis lengkap.
Monang menyebutkan sebanyak 13 kapal Ocean Mitramas tidak masuk kategori daftar hitam. Kapal-kapal itu tidak bisa beroperasi karena Kementerian Kelautan dan Perikanan menolak permohonan perpanjangan izin. Karena tak ada pemasukan, perusahaan merugi sehingga harus merumahkan 90 persen karyawan.
Bilahmar menyebutkan deregistrasi menabrak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012, terutama mengenai pengadaan kapal. Pasal 31 aturan ini membolehkan pembelian kapal dari luar negeri dengan syarat ukurannya di atas 100 GT. "Peraturan menteri itu masih ada," katanya. Itu sebabnya, Bilahmar menilai surat Sekretaris Jenderal Syarif Wijaya yang memerintahkan pengusaha melakukan deregistrasi tidak ada dasar hukumnya.
Monang menambahkan, surat permintaan deregistrasi juga bertabrakan dengan surat edaran Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Narmoko Prasmadji. Tertanggal 31 Desember 2015, surat itu mengatur pembatasan ukuran GT kapal. Poin 3 menyebutkan surat izin kapal berukuran lebih dari 150 GT masih dapat diperpanjang.
Monang juga menilai proses deregistrasi bukan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, melainkan wewenang Kementerian Perhubungan. "Permohonan deregistrasi dari KKP kami tolak," ujarnya.
Menteri Susi Pudjiastuti tak mau balik badan. Menurut dia, semua perusahaan dan pemilik kapal eks asing hanyalah pengusaha abal-abal. "Kalau benar beli, tunjukkan bukti transfernya," katanya. Menurut Susi, semua kapal eks Cina berbendera Indonesia tidak mungkin bisa dideregistrasi dari Negeri Panda karena negara itu sudah memberi subsidi galangan kapal sangat besar.
Susi meminta pemilik kapal menurut. "Kalau mereka terus begini, akan saya dalami satu-satu dan minta Dirjen Pajak ikut menelisik," ujarnya. Mas Achmad mengatakan, bila nantinya terbukti mengemplang pajak, kapal itu akan masuk daftar hitam. Susi menantang pengusaha menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara bila merasa benar.
Pemerintah, kata Susi, memasukkan kapal eks asing ke daftar negatif investasi. "Itu sudah diumumkan dalam paket deregulasi ekonomi," ujarnya. Direktur Perencanaan Agribisnis Badan Koordinasi Penanaman Modal Hanung Rachman menambahkan, pemerintah memang berencana menutup industri hulu sektor perikanan, sedangkan industri hilir dibuka lebar-lebar. "Tinggal disusun regulasinya saja," katanya.
Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan
Sapu Bersih Kapal Bekas Asing
SATUAN Tugas Anti Illegal Fishing (Satgas 115) Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyelesaikan analisis dan evaluasi kapal eks asing. Dari 1.132 kapal yang diaudit, semuanya melakukan pelanggaran. Kapal yang masuk daftar hitam akan ditenggelamkan. Sisanya akan dikembalikan ke negara asal.
27 Oktober 2014
Presiden Joko Widodo melantik Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
3 November 2014
Susi menghentikan sementara izin kapal perikanan tangkap eks asing yang memiliki ukuran lebih dari 30 gross tonnage hingga 30 April 2015. Kapal yang tertangkap mencuri ikan ditenggelamkan.
8 Desember 2014
Susi membentuk satuan tugas untuk memberantas penangkapan ikan ilegal. Satgas menganalisis dan mengevaluasi kepatuhan 1.132 kapal eks asing. Susi mengatakan kapal yang lolos evaluasi bisa kembali berlayar.
4 Mei 2015
Moratorium diperpanjang enam bulan hingga 31 Oktober 2015.
21 Oktober 2015
Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal resmi diundangkan. Berdasarkan aturan ini, Satgas bisa melakukan penindakan dengan menenggelamkan kapal tanpa lewat proses pengadilan.
31 Oktober 2015
Moratorium selesai. Hasilnya, 100 persen kapal eks asing melakukan pelanggaran berat dan ringan.
31 Desember 2015
Surat edaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap membatasi izin baru kapal berukuran kurang dari 150 GT. Kapal eks asing yang rata-rata di atas 200 GT tidak bisa mengurus perizinan.
22 Januari 2016
Sebanyak 718 kapal eks asing "diamankan" di 29 pelabuhan.
11 Februari 2016
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Syarif Wijaya menerbitkan imbauan agar pemilik kapal melakukan deregistrasi.
25 Februari 2016
Sebanyak 34 asosiasi nelayan dan pengusaha ikan mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Obyek Analisis dan Evaluasi
Jumlah: 1.132 kapal
Kabur saat moratorium: 414 kapal
"Diamankan" Satgas: 718 kapal
Masuk daftar hitam*: 699 kapal
Masuk non-daftar hitam**: 390 kapal
*Surat izin usaha perikanan dicabut, sedang diselidiki atau disidik, mengemplang pajak, disita negara untuk ditenggelamkan.
**Kapal tidak ditahan. Boleh melakukan deregistrasi setelah membayar kewajiban dan meneken pernyataan tidak melakukan illegal fishing.
Rekapitulasi Hasil Evaluasi
Tahap I:
17 pengusaha dengan total 386 kapal
Izin dicabut: 8 surat izin usaha perikanan (SIUP), 193 surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI)
Tahap II:
12 pengusaha dengan total 176 kapal
Izin dicabut: 4 SIUP, 57 SIPI dan SIKPI
Izin dibekukan: 4 SIPI dan SIKPI
Tahap III:
32 pengusaha dengan total 203 kapal
Izin dicabut: 20 SIPI dan SIKPI
Izin dibekukan: 44 SIPI dan SIKPI
Peringatan tertulis: 12 SIPI dan SIKPI
Tahap IV:
126 pengusaha dengan total 367 kapal
Izin dicabut: 9 SIPI dan SIKPI
Izin dibekukan: 20 SIPI dan SIKPI
Peringatan tertulis: 36 SIPI dan SIKPI
Total pelanggaran berat: 769 kapal
Negara asal:
1.Australia: 2
2.Cina: 287
3.Honduras: 1
4.Jepang: 40
5.Meksiko: 1
6.Filipina: 49
7.Taiwan: 74
8.Thailand: 244
9.Vietnam: 1
Total pelanggaran ringan: 363 kapal
Negara asal:
1.Australia: 23
2.Belize: 3
3.Cina: 79
4.Jepang: 62
5.Korea: 10
6.Panama: 3
7.Filipina: 49
8.Taiwan: 140
9.Thailand: 20
10. Amerika Serikat: 1
Agus Supriyanto | Sumber: Satgas 115, Asosiasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo