Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT membahas harga patokan ikan itu berlangsung alot di gedung Kementerian Perdagangan, Kamis tiga pekan lalu. Hingga tiga jam, pejabat eselon III Kementerian Kelautan dan Perikanan, pejabat Kementerian Keuangan, serta kalangan pengusaha perikanan berselisih pendapat mengenai perlu-tidaknya harga patokan ikan dinaikkan.
Pertemuan diakhiri dengan kesimpulan sementara: kenaikan harga patokan ikan (HPI) dilakukan bertahap. Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Nurlaila Nur Muhammad membenarkan, harga acuan akan naik dibanding sebelumnya. "Minggu depan (pekan ini) akan kami bahas lagi untuk melihat hasil perhitungannya," ujarnya Rabu pekan lalu.
Salah seorang peserta rapat dari perusahaan penangkapan ikan mengatakan pejabat dari Kementerian Keuangan mengusulkan kenaikan HPI mengikuti laju kenaikan inflasi. Alasannya, harga acuan itu belum berubah sejak empat tahun lalu. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Keuangan Anandy Wati menyebutkan harga patokan harus diperbarui berkala. "Harga acuan harus realistis dan dinamis," ujarnya.
Adapun Kementerian Kelautan dan Perikanan mengusulkan harga patokan ikan tidak naik. Alasannya, kenaikan harga patokan itu akan memperbesar pungutan hasil perikanan (PHP). Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membenarkan peristiwa itu. "Kementerian tidak minta HPI dinaikkan karena persentase tarif sudah dinaikkan," katanya.
Persentase yang dimaksud Susi adalah tarif menentukan pungutan. Persentase tarif dan harga patokan merupakan faktor pengali dalam menghitung pungutan. Penerimaan negara bukan pajak ini dibebankan pada pemilik kapal sebagai syarat mengantongi izin beroperasi.
Susi mengatakan instansinya tidak mengusulkan kenaikan HPI karena sudah menaikkan tarif PHP hingga 1.000 persen. Kenaikan tarif itu tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015, yang berlaku sejak Desember tahun lalu.
Dua kenaikan itulah yang kini menghantui pengusaha lokal. Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Asosiasi Tuna Indonesia Muhammad Bilahmar mengatakan kenaikan harga patokan ikan akan memberatkan pengusaha. "Sudah jatuh tertimpa tangga," ujarnya.
Susi menaikkan pungutan karena nilai PHP yang disetorkan pengusaha sangat rendah dibandingkan dengan penghasilan yang mereka raup. Ia menghitung, kapal berukuran 60-70 gross tonnage bisa memperoleh pendapatan bersih Rp 2-3 miliar. Namun pungutan yang disetorkan hanya Rp 2-3 juta. Dengan tarif baru, PHP yang harus dibayarkan mencapai Rp 50 juta. "Tarif ini masih rendah karena penghasilan mereka lebih dari itu," kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Narmoko Prasmadji.
Kenaikan terbesar akan dirasakan pemilik kapal berukuran 150 GT. Sebelumnya, mereka menyetor pungutan Rp 50 juta. Dengan naiknya tarif, setoran PHP pengusaha di kelompok ini menjadi Rp 200 juta per tahun. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan kenaikan pungutan bisa mendongkrak penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp 600 miliar pada tahun ini.
Seorang pengusaha mengaku keberatan karena naiknya pungutan memberatkan pemilik kapal di atas 200 GT. Narmoko menilai penolakan itu tidak masuk akal karena jumlah kapal 200 GT hanya 26 unit. "Yang memprotes itu mewakili siapa?" ujarnya.
Susi mengatakan tarif baru itu sudah mempertimbangkan kemampuan pemilik kapal. Ia juga telah menggelar dialog terbuka dengan Asosiasi Tuna Longline Indonesia dan Asosiasi Tuna Indonesia. Hasilnya, "Pemilik kapal 150 GT sanggup membayar."
Susi mensinyalir penolakan berasal dari pengusaha yang sering memanipulasi perizinan. Anak buahnya menemukan banyak kapal berukuran di atas 30 GT yang didaftarkan sebagai kapal berukuran kecil. Tujuannya agar mendapat berbagai fasilitas subsidi dan keringanan pemerintah. Untuk memberantas aksi tipu-tipu, Susi menerapkan ukur ulang kapal. Hasilnya, banyak kapal berukuran di atas 30 GT. "Selama ini mereka melakukan markdown," katanya.
Akbar Tri Kurniawan, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo