Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Satu Sumber, Banyak Penyalur

Krisis gas di Medan dianggap sebagai buah kacaunya manajemen sumber daya strategis itu. Rantai distribusi semakin panjang dan tak memberi nilai tambah bagi konsumen akhir.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdiri pada 3 Januari 2005, PT Pertiwi Nusantara Resources ada di antara puluhan perusahaan yang muncul setelah pemerintah membuka keran dalam usaha produksi dan pemasaran gas bumi bagi swasta. Sejak awal, perusahaan yang dibentuk Tongam Lumban Tobing dan kawan-kawan itu menegaskan bahwa mereka hadir karena restu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Dalam laporan mereka, perusahaan ini berulang kali melakukan perubahan struktur kepengurusan dan pemegang saham. Antara lain pada April 2007, kemudian yang terakhir adalah pada Desember tahun lalu. "Kebetulan, pas kami masuk, sumur Pertamina EP-Salamander yang jadi sumber gas kami mulai kering," Rully Satya Nugraha, Direktur Operasional PT Pertiwi, bercerita pada Kamis pekan lalu.

Posisi yang dijalankan Pertiwi adalah contoh dari sistem manajemen dan tata kelola gas bumi di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 22 itu. Meski tak punya sumur produksi, mereka bisa masuk ke bisnis ini sebagai pedagang gas. Mereka akan mengikat kontrak dengan pengelola sumur, lalu menjual gasnya melalui distributor yang memiliki jaringan pipa ke konsumen akhir, seperti PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk.

Perjanjian jual-beli gas oleh Pertiwi dengan PGN diteken pada 8 Desember 2009, setelah mereka memenangi tender melawan lima perusahaan lain. Dalam kontrak, Pertiwi Nusantara setuju menjual gas kepada PGN, yang sumbernya diambil dari Lapangan Glagah Kambuna sebesar 2,19 miliar standar kaki kubik (BSCF). Perjanjian ini berlaku hingga empat tahun.

Pada 5 November 2010, kedua pihak menandatangani amendemen pertama. Lalu, pada akhir Maret 2011, amendemen kedua diteken, setelah mereka mengubah jumlah kontrak keseluruhan menjadi 12,86 BSCF dan memperpanjang jangka waktu kontrak sampai 16 Maret 2014.

Ketika memenangi tender, Direktur PT Pertiwi Troy L. Tobing saat itu mengatakan mereka tengah membangun pipa transmisi gas sepanjang 23,5 kilometer dari stasiun meter Pertagas Wampu di Jalan Raya Binjai-Stabat ke stasiun meteran Pertiwi di Kawasan Industri Medan. Dengan modal itu, mereka mendapat jatah pasokan 12 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dari sumur Kambuna. Sisanya, 28 MMSCFD, disalurkan ke PT Perusahaan Listrik Negara untuk kebutuhan pembangkit mereka. Troy berjanji, meski tak akan menutup semua kekurangan, masuknya Pertiwi ke bisnis ini akan mengurangi ancaman krisis gas di Medan.

Tapi, apa mau dikata, semua janji Pertiwi tak bisa terwujud. Perusahaan ini tak bisa apa-apa karena tak memiliki sumber pasok­an gasnya sendiri. Karena itu, begitu Pertamina EP mengabarkan bahwa sumur mereka di Kambuna mengering, Pertiwi hanya bisa pasrah. Sama halnya dengan para pengusaha dan industri yang jadi pelanggan mereka.

Kepala Divisi Gas dan BBM PT PLN Suryadi mengatakan perusahaannya juga menanggung kerugian besar akibat turunnya pasokan gas di Medan. "Kontrak kami 35 BBTUD, sekarang tinggal 6 BBTUD," katanya. Mereka harus mengganti 29 BBTUD dengan solar setara dengan 812 kiloliter per hari. "Kalau harga solar Rp 9.500 per liter, hitung saja kerugian kami tiap harinya."

Situasi inilah yang dikritik Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia. Dalam sebuah diskusi tentang gas di Medan beberapa waktu lalu, Faisal mempertanyakan kompetensi perusahaan seperti PT Pertiwi. "Kenapa pemerintah harus membeli gas dari calo?" ujarnya. Dia lalu membandingkannya dengan PT PGN, yang lebih dulu membangun infrastruktur tapi tidak pernah menang tender distribusi.

Rully Satya mengaku mereka tak berkutik karena memang sangat bergantung pada sumber gas yang dikelola perusahaan lain. Tapi, kata dia, hal yang sama terjadi bila PGN yang ada dalam posisi itu. "Mereka juga tidak punya sumur sendiri," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus