Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terpaksa Rugi atau Angkat Kaki

Matinya sumur Pertamina EP dan pemindahan proyek FSRU Belawan ke Lampung berujung pada krisis gas di Medan dan sekitarnya. Pencarian alternatif dan sumber gas baru tak bisa mengganti pasokan dalam waktu cepat.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daya tahan Johan Brien dan kawan-kawan benar-benar sedang diuji. Kemampuan para pengusaha ini menyiasati kekurangan pasokan gas ke pabrik-pabrik mereka akan menentukan apakah mereka masih sanggup beroperasi di Medan atau berhenti sama sekali. Alternatif lain adalah mengalihkan produksi ke provinsi lain atau bahkan ke luar negeri.

"Diperkirakan paling lama empat bulan lagi perusahaan berbasis produk turunan kelapa sawit (oleochemicals), pabrik sarung tangan dan keramik, serta peleburan besi akan berhenti atau angkat kaki ke Malaysia dan Singapura. Pengusaha sudah lempar handuk," kata Johan, Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas Sumatera Utara, Kamis pekan lalu.

Setidaknya 55 perusahaan mengancam akan segera pergi dari wilayah itu menyusul krisis gas berkepanjangan di kawasan industri Medan dan sekitarnya. Johan mengatakan dia dan puluhan pengusaha rekannya sudah pasrah jika mesin-mesin di pabrik tak lagi berputar. Yang bisa dilakukan saat ini adalah bersiap-siap merumahkan karyawan akibat tak kuat lagi menanggung bengkaknya biaya operasional.

Krisis gas di Medan sebenarnya bukan barang baru. Sejak 2001, mereka sudah berulang kali didera masalah serupa. Tapi ancaman yang datang belakangan membuat mereka harus berpikir ulang untuk meneruskan bisnisnya. "Selama ini kami mencoba bertahan dengan mengalihkan kebutuhan gas ke solar atau bungkil kelapa sawit," ucap Johan. "Tapi itu menyedot kas perusahaan sampai empat kali lipat."

Johan bercerita, dalam kondisi normal, mereka biasa membeli gas di kisaran US$ 8-9,1 per million British thermal unit (MMBTU). Dengan asumsi bahwa 1 MMBTU setara dengan manfaat yang dihasilkan oleh 29,41 liter solar, maka biaya penggantian bahan bakar yang menjadi beban para pengusaha akan melonjak menjadi sekitar US$ 30. Soalnya, kalangan industri harus membeli solar nonsubsidi, yang harganya berkisar Rp 9.000-10.000 per liter. "Adakah yang akan kuat bertahan?" ujar Johan. "Jangan salahkan jika nanti kami memilih pindah ke negara lain."

PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk mengatakan bisa memahami kegundahan para pengusaha dan pelanggan gas lain di Medan. Terhitung mulai awal Maret ini, aliran gas dari salah satu pemasok PGN di Medan, yaitu PT Pertiwi Nusantara Resources,­ akan dikurangi lagi.

Surat pemberitahuan dari Pertiwi akan situasi tersebut sudah diterima oleh PGN beberapa waktu lalu. Alasannya, sumur gas milik PT Pertamina EP di lapangan Glagah Kambuna sudah dalam tahap penghabisan dan sebentar lagi kering. Sumur itu dikelola dengan pola kontrak asistensi teknis oleh Salamander Energy North Sumatera, dan selama ini menjadi sumber gas yang dijual Pertiwi melalui PGN.

Sesuai dengan kontrak, Pertiwi yang memenangi tender penjualan dari Pertamina EP pada 2009 itu bertanggung jawab memasok gas lewat PGN sampai 2014. "Tapi, bagaimana lagi, sumbernya memang sudah habis," kata Direktur Operasional PT Pertiwi Nusantara Rully Satya Nugraha. "Kami juga dirugikan oleh situasi ini. Kami yang jadi terlihat jelek karena publik tahunya PT Pertiwi yang menghentikan pasok­an."

Dengan terhentinya pasokan dari Pertiwi, total pasokan gas yang disalurkan PGN akan turun dari 12 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) menjadi tinggal 7 MMSCFD. Padahal kebutuhan sekitar 20 ribu pelanggan PGN di Sumatera Utara mencapai 25 MMSCFD. "Ini pasti akan menambah parah beban kalangan industri. Kami pun kian pusing membagi kuota gas," ucap Mugiono, General Manager Distribusi III PGN Sumatera Utara. "Dengan jalur distribusi gas PGN sepanjang 600 kilometer, pasokan gas sebesar 7 MMSCFD yang kami salurkan di Medan saat ini sungguh sangat minim. Kami bisa memahami situasi yang dihadapi pelanggan-pelanggan kami."

1 1 1

DALAM catatan sejarah PGN, penyaluran gas buatan di Medan sudah dimulai sejak 1919, semasa pemerintahan Hindia Belanda. Tapi distribusi gas alam untuk kalangan industri dalam skala yang lebih luas dijalankan sejak 1985.

Dengan pengalaman begitu panjang, sudah cukup lama PGN menyadari adanya ancaman kekurangan pasokan gas di wilayah itu. Sebelum krisis yang menimpa para pelanggan gas kali ini, setidaknya ada dua peristiwa serupa yang terjadi pada 2001 dan 2009. "Jauh sebelum krisis sekarang pun kami sudah bisa memperkirakannya," kata juru bicara PGN, Ridha Ababil. "Karena itu, kami sudah merencanakan beberapa langkah untuk mengantisipasi situasi semacam ini."

Langkah yang dimaksud ialah pembangunan proyek Transmisi DDM (Duri-Dumai-Medan) untuk mengalirkan pasokan gas dari sumur-sumur di kawasan Riau dan Kepulauan Riau. Pembangunan jaringan pipa itu sudah diputuskan pada Maret 2008, dengan rancangan awal sepanjang 664 kilometer dan berkapasitas 250-300 MMSCFD.

Selain itu, PGN mendapatkan penugasan untuk membangun fasilitas terminal penampungan gas terapung atau floating storage and regasification unit (FSRU) di Belawan. Fasilitas itu direncanakan memiliki kapasitas hingga 240 MMSCFD dan diharapkan bisa mulai beroperasi tahun ini. "Kegiatan proyek FSRU telah mencapai kemajuan cukup signifikan," Ridha menjelaskan. "Aktivitas desain, perizinan, dan pembebasan tanah sudah berjalan sejak 2009. Kontrak pengadaan FSRU dan fasilitas pendukungnya pun telah dilakukan pada awal 2012."

Namun semua rancangan itu berubah total beberapa bulan setelah Dahlan Iskan diangkat menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara. Melalui suratnya pada 19 Maret 2012, Dahlan memerintahkan PGN merelokasi proyek FSRU di Belawan ke Lampung. Untuk itu, menteri baru ini telah mengusulkan pula perubahan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2011, yang sebelumnya menjadi dasar bagi pelaksanaan proyek oleh PGN di Belawan.

"Inpresnya sudah kami ajukan minta direvisi pada rapat dengan Wakil Presiden," ujar Dahlan ketika itu. Ia menegaskan, pemindahan FSRU Belawan ke Lampung dilakukan untuk kebaikan bersama. Maka, menurut dia, langkah itu tidak perlu dipermasalahkan. "Masak, demi menjalankan inpres, kepentingan negara dikorbankan? Karena ada yang lebih baik, inpresnya kami ubah."

Dahlan beralasan pemindahan FSRU itu harus dilakukan karena Aceh dan Sumatera Utara diperkirakan kelebihan pasok­an gas pada saat Pertamina selesai melakukan revitalisasi terminal LNG Arun pada 2014. Revitalisasi itu diharapkan bisa terintegrasi dengan proyek pemipaan dari Arun ke Sumatera Utara, yang ditargetkan beres pada akhir 2013.

Sebagai BUMN, tak ada pilihan bagi PGN selain patuh pada perintah Dahlan. Apalagi segala biaya yang telah mereka keluarkan selama tahap pembangunan terminal FSRU Belawan akan dimasukkan ke pendanaan proyek revitalisasi terminal LNG Arun dan pemipaan dari Arun ke Sumatera Utara. Pertamina diminta menunjuk auditor independen guna memverifikasinya. PGN memperhitungkan ongkos yang sudah mereka keluarkan sebelum diaudit sebesar US$ 12,5 juta.

Di atas kertas, rencana Dahlan itu memang berisiko. Karena itu, dalam suratnya, ia juga memerintahkan Pertamina menyiapkan solusi alternatif andai kata komitmen penyelesaian proyek tidak tepat waktu. Tujuannya agar industri di Sumatera Utara tetap memperoleh pasokan gas ketika aliran dari pipa PGN habis pada 2014.

Dahlan boleh berencana, tapi krisis gas yang sekarang melanda Medan dan sekitarnya membuktikan rencana pemerintah tidak berjalan mulus. Sumur gas Glagah Kambuna ternyata mengering lebih cepat dari yang diduga. Lapangan offshore di Pangkalan Brandan itu mencapai batas keekonomian minimal hingga akhir Maret ini.

Akibatnya, pada April nanti Pertamina EP akan menghentikan produksinya di sana. "Gasnya sudah tidak ada," kata Agus Amperianto, juru bicara PT Pertamina EP. "Kami mengusulkan penghentian lebih awal perjanjian jual-beli gas dengan Pertiwi Nusantara. Usul itu disetujui Satuan Kerja Khusus Migas."

Pasokan gas ke Medan sekarang praktis hanya ditopang oleh hasil yang dipompa Pertamina EP dari sumur mereka di Pangkalan Susu, Langkat. "Besarnya 7 MMSCFD, dan perjanjian jual-belinya dengan PGN akan berakhir pada 31 Maret nanti," ujar Agus. "Saat ini dalam proses pembahasan perpanjangan."

Upaya mencari sumber gas baru masih berlangsung, tapi tampaknya tidak akan bisa lekas menggantikan pasokan dari sumur lama yang terhenti. Masih di kawasan­ Langkat, Pertamina melihat temuan baru di sumur eksplorasi Benggala-1. Hasil tes produksi menunjukkan potensi gas sebesar 10 MMSCFD di situ. Jumlah itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi permintaan industri di Medan.

Menurut Agus, Pertamina punya target sumur baru itu sudah akan berproduksi pada awal tahun depan. Tapi lagi-lagi rancangan itu belum tentu tercapai tepat waktu. "Saat ini sedang dilakukan penentuan status eksplorasi antara Pertamina EP dan SKK Migas," katanya. "Sehingga perkiraan deliverability gas dari sumur Benggala-1 masih dalam pembahasan."

Dengan kata lain, krisis gas di Medan agaknya masih akan panjang. Selama itu pula ketangguhan Johan Brien dan kawan-kawan akan diuji. Pada akhirnya, dia hanya akan punya dua pilihan: harus berhenti atau terpaksa angkat kaki.

Y. Tomi Aryanto, Sahat Simatupang (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus