Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang menganggap Simposium Industrialisasi di Indonesia dalam rangka 35 tahun FE UI (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) baru-baru ini cuma menghadirkan kembali suatu cerita lama. Tidak jelas "binatang" apa sebenarnya sektor industri di Indonesia dewasa ini. Pendapat masing-masing ternyata bergantung pada bagian mana yang diraba oleh para orang "buta" tersebut. Yang hadir dalam simposium itu tentu bukan orang buta. Tetapi ada kesepakatan umum bahwa dewasa ini sulit diperoleh gambaran jelas tentang arah industrialisasi di Indonesia, dan biaya yang dilibatkannya. Ada perasaan kuat - yang memang sukar didukung data-data - bahwa proses perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan industrialisasi bersifat tertutup guna menyembunyikan begitu banyak industri yang sangat tidak efisien. Tambahan lagi, industriindustri itu dipertahankan hidupnya melalui perlindungan tarif atau nontarif serta berbagai macam subsidi yang besarnya tidak pernah dibuat eksplisit. Bila memang demikian, seharusnya simposium itu diberi subtema: Masalah Transparansi Kebijaksanaan. Terhadap tuduhan semacam itu mungkin dapat diberikan argumentasi lain: ketidakjelasan arah industrialisasi bukanlah karena sengaja dibuat tidak jelas melainkan karena tidak ada koordinasi. Beberapa industri hulu tidak langsung berada di bawah pengaturan Departemen Perindustrian. Malah dalam satu departemen pun sering kali dijumpai beleid yang bertentangan antara satu ditjen dan ditjen yang lainnya pertanda birokrasi di Indonesia sulit dikontrol. Bila memang demikian, ada anggapan bahwa industrialisasi terlalu penting artinya untuk diserahkan kepada birokrasi. Kesimpang-siuran arah industrialisasi disebabkan oleh kesewenang-wenangan birokrasi. Itu sebabnya sudah waktunya untuk menghapuskan apa yang oleh bapak pendiri FE UI disebut "ekonami perizinan" itu. Kesimpangsiuran arah industrialisasi juga dapat dilihat sebagai akibat tidak adanya konsensus - di kalangan pemerintah sendiri-mengenai indus-trialisasi tersebut. Simposium mencatat tiga kelompok pemikiran dan konsep mengenai industrialisasi. Yang pertama, yang diwakili oleh kalangan ekonom-akademis - seperti tecermin dalam makalah-makalah simposium itu - dan sejumlah teknokrat di pemerintahan, yang menganjurkan pengembangan industri atas dasar "keunggulan komparatif". Yang kedua adalah konsep Delapan Wahana Transformasi Teknologi dan Industri yang dikemukakan oleh Menteri Riset dan Teknologi, yang memberikan prioritas kepada pembangunan industri-industri hulu "masa datang" secara simultan. Yang ketiga adalah konsep keterkaitan antarindustri, khususnya keterkai-tan hulu-hilir, yang dilaksanakan oleh Menteri Perindustrian. Konsep keunggulan komparatif tidak sulit dimengerti. Konsep ini mengan-jurkan spesialisasi produksi suatu negara tidak perlu memproduksi semua barang dan sebaiknya hanya memusatkan kegiatan produksinya yang memiliki keunggulan komparatif. Keperluan lainnya sebaiknya diimpor karena alokasi sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang-barang bersangkutan berarti mempromosikan inefisiensi. Dengan perkataan lain, penerapan prinsip keunggulan komparatif menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Yang tidak mudah adalah menerapkan prinsip keungggulan komparatif tersebut. Dari segi pembangunan penerapan konsisten prinsip itu mungkin kurang menguntungkan karena keunggulan komparatif yang dimiliki terbatas pada produksi barang-barang dengan nilai tambah yang sangat kecil. Selain itu, kini dunia mengalami perubahan yang cepat sehingga keunggulan produksi suatu negara relatif terhadap dunia - negara-negara lain - juga cepat mengalami perubahan. Dapat dibayangkan, misalnya, apabila Indonesia sepenuhnya tunduk pada prinsip keunggulan komparatif dalam pengembangan industrinya, betapa besar bahaya yang dihadapinya dari proses industrialisasi di RRC yang sedang digalakkan. Lalu apa resepnya? Singapura, karena khawatir keunggulan komparatifnya akan diambil oleh negara-negara tetangganya, telah memutuskan untuk meloncat ke depan dengan mempromosikan industri-industri padat teknologi, khususnya teknologi tinggi (high-tech industries). Industri-industri ini juga bersifat skill-intensive, dan ternyata biaya peningkatan skill tersebut sangat tinggi seperti tecermin dari upah yang tinggi, yang berakibat menetralisasikan keunggulan komparatif yang diharapkan dapat dimilikinya. Selain itu, produk-produk high-tech-nya ternyata juga tidak berhasil memperoleh pasaran yang luas karena konsumen lebih percaya pada produk-produk high-tech yang berasal dari sumbernya, Amerika Serikat dan Jepang. Pelajaran yang dapat ditarik adalah bahwa dalam era pembangunan global ini tiap-tiap negara berupaya menciptakan dan memperebutkan keunggulan komparatif, khususnya di bidang-bidang yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Industri besi dan baja di Korea Selatan merupakan satu contoh keberhasilan suatu negara menciptakan keunggulan komparatif. Dua puluh tahun lalu keputusan Korea Selatan untuk memasuki industri itu dianggap keputusan yang gila. Namun, komitmen nasional serta upaya-upaya kongkret di bidang penelitian dan pengembangan, khususnya di bidang teknologi, telah memungkinkan Korea Selatan memperoleh apa yang dapat dinamakan man-made comparative advantage. Kasus kontemporer yang juga relevan adalah upaya Jepang untuk menggairahkan kembali (revitalize) industri-industrinya yang sebenarnya sudah kehilangan keunggulan komparatifnya. Apa yang disebut sunset dan declining industries di Jepang beberapa tahun lalu telah memberikan harapan kepada negara-negara berkembang untuk dapat mengambil alihnya sesuai dengan suatu pola pembagian kerja internasional yang dinamis. Harapan ini ternyata tidak sepenuhnya dapat diwujudkan, malah cenderung berbalik kembali berkat perkembangan teknologi di Jepang yang memungkinkan industri tekstilnya, misalnya, mempertahankan daya saingnya di pasar internasional. Uraian di atas menunjukkan relevansi usaha-usaha menciptakan keunggulan komparatif. Masalahnya adalah bagaimana kita menentukan bidang-bidang yang dapat dikembangkan sehingga tercipta keunggulan komparatif di masa depan. Unsur ketidakpastian yang inherent dalam proses ini membuat rumit perumusan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan di bidang pengembangan industri. Perdebatan mengenai tepat tidaknya konsep Delapan Wahana Transformasi Teknologi dan Industri mungkin akan sia-sia saja tanpa ada tolok ukur yang jelas, yang tampaknya memang sulit dirumuskan. Dalam upaya menciptakan keunggulan komparatif ini memang terdapat aspek perjudiannya. Bila memang demikian, yang diharapkan oleh para ekonom yang berkumpul di Hotel Indonesia pekan lalu adalah transparansi: berapa besar subsidi atau perlindungan dan waktu yang diperlukan untuk mendewasakan industri tersebut. Hanya dengan kejelasan ini dapat ditumbuhkan komitmen nasional yang diperlukan untuk menciptakan keunggulan komparatif. Konsep keterkaitan industri yang ditujukan untuk memperkuat - yaitu memperdalam - industri di Indonesia sebenarnya juga menuntut pemulihan selektif dari cabang-cabang industri yang hendak diperdalam. Tuntutan untuk selektif ini juga didasarkan pada konsep keunggulan komparatif selain memperhitungkan kendala keterbatasan dana-dana. Semua ini secara prinsipiil sebenarnya sudah jelas. Yang menjadi masalah di sini juga menyangkut kriteria operasionalnya. Karena kriteria untuk ini tidak mudah dirumuskan, maka sekali lagi yang diperlukan adalah transparansi dalam proses pemilihannya. Sewaktu Henry Kissinger menjadi menlu AS, sementara kalangan masyarakat Amerika menganggap proses perumusan beleid luar negerinya terlalu tertutup, kurang transparan. Atas tuduhan ini Kissinger menjawab bahwa kalangan itu mempersoalkan proses karena tidak setuju dengan hasil proses tersebut. Entah pihak mana yang benar. Yang jelas adalah, transparansi memang dibutuhkan terutama dalam perumusan beleid yang memerlukan dukungan masyarakat luas, seperti beleid luar negeri Amerika Serikat ataupun beleid industrialisasi di Indonesia yang sedang menghadapi tantangan berat dari dalam (pertambahan angkatan kerja) dan dari luar (perebutan keunggulan komparatif). Yang juga jelas agaknya: Kissinger memang selalu ingin menang sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo