Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebelum kapal bekas melaut

Pembelian 39 kapal bekas jerman timur diperkirakan menelan dana tak kurang dari us$ 1,1 miliar. kabarnya sebagian dibiayai anggaran pt pal.

13 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBELI barang dari luar negeri kadangkala tak semudah membeli produk lokal. Di samping aturan mainnya banyak, biaya yang dikeluarkan pun sering kali membengkak. Contoh paling baru adalah pembelian 39 unit kapal bekas dari Jerman (Timur) untuk TNI-AL. Menurut transaksi yang diteken akhir tahun lalu, kata beberapa sumber, dana yang dikeluarkan hanya US$ 12,7 juta (sekitar Rp 25,4 miliar). Ternyata pengeluaran riilnya tidak sebegitu. Beberapa sumber yang dekat dengan kalangan keuangan mengatakan bahwa total bi- aya yang diperlukan dalam pembelian kapal tadi diperkirakan tak kurang dari US$ 1,1 miliar. Melihat angka ini, itu berarti ada kelebihan biaya sebesar US$ 1,08 miliar 90 kali harga ke-39 kapal tadi. Untuk apa saja biaya tambahan itu? ''Harga kapalnya memang seperti harga besi tua. Tapi rehabnya di Jerman itu yang bikin mahal,'' kata Sulaeman Wiriadidjaja, ketua harian pelak- sana pengadaan 39 kapal eks-Jerman (Timur). Selain itu, menurut Sulaeman, ada pula biaya persiapan penyeberangan dan pelatihan awak kapal di Jerman, yang ditaksir akan menghabiskan dana US$ 309 juta atau 28% dari total anggaran. Termasuk dalam anggaran ini adalah biaya untuk memfungsikan peralatan pokok bagi keselamatan kapal akan dicoba dalam perjalanan dari Jerman ke Indonesia sejumlah sekitar US$ 226,8 juta. Belum lagi biaya pelatihan instruktur, yang terdiri atas anggota TNI-AL dan karyawan PT PAL BUMN yang bergerak dalam bidang galangan kapal. Untuk diketahui, sejak tiga bulan lalu Pemerintah telah mengirim 25 orang untuk memperoleh pelatihan instruktur ini. Sebelumnya, tim TNI-AL pun telah tiga kali diberangkatkan ke Jerman untuk meneliti kondisi semua kapal. ''Biaya penyeberangan dan pelatihan ini semuanya masuk ke Jerman,'' kata sebuah sumber dari kalangan keuangan. Di samping biaya pelatihan, ada pula yang disebut dengan biaya administrasi Inpres Nomor 3/1992. Termasuk dalam pos ini adalah biaya perjalanan dinas tim pengadaan kapal, biaya administrasi kantor untuk 36 bulan, dan biaya tak terduga. Anggaran yang disediakan untuk pos ini sebesar US$ 28,4 juta dua kali harga kapal. Besarnya angka itu disebabkan pos pengeluarannya meliputi antara lain biaya administrasi kantor, yang diperkirakan menelan dana US$ 381.000, biaya tiket lima perwira tinggi dan lima perwira menengah untuk sepuluh kali perjalanan ke Jerman (selama tiga tahun) US$ 435.000, serta uang saku untuk anggota tim setingkat perwira tinggi US$ 135.000 dan setingkat perwira menengah US$ 120.000. Selain itu, untuk rombongan perwira tinggi, Pemerintah juga menyediakan dana taktis sebesar US$ 100.000. Ongkos lain yang juga tak kalah besar adalah biaya untuk penyiapan fasilitas pangkalan: diperkirakan akan menghabiskan anggaran US$ 119,8 juta. Memang, untuk menampung kapal sebanyak itu, tentu saja diperlukan dermaga lebih besar dengan fasilitas lebih baik. Menurut sebuah sumber, untuk menampung ke-39 kapal tadi, Pemerintah terpaksa merenovasi 12 dermaga, di antaranya dermaga Mentigi, Belawan, Ujungpandang, Surabaya, dan Jakarta. Selain itu, Pemerintah juga akan memba- ngun dermaga di Telukratai, Lampung. Untuk pembangunan dermaga ini, Pemerintah telah menganggarkan dana US$ 151 juta lebih. Pembangunan dermaga Telukratai mencakup pembangunan fasilitas sandar kapal, pembangunan pangkalan utama TNI-AL, dan permukiman pasukan. Proyek ini kabarnya akan dilaksanakan sendiri oleh TNI-AL. Proyek lain yang menjadi tugas TNI-AL adalah penyeberangan kapal, penyediaan suku cadang dan amunisi, serta administrasi logistik. Mengingat galangan kapal di Indonesia sangat terbatas, pengiriman semua kapal dari Kota Kiel ke Indonesia akan dilakukan dalam dua tahun. ''Setiap pengiriman ada dua buah kapal,'' kata KSAL Laksamana M. Arifin beberapa waktu lalu. Untuk proyek ini, TNI-AL memperoleh anggaran sebesar US$ 93,8 juta. PT PAL, menurut sumber TEMPO, kelak juga kebagian tugas meng- urus pemeliharaan ke-39 kapal tadi. Termasuk dalam kegiatan ini, misalnya, meningkatkan kemampuan kapal, menyiapkan operasi, dan menangani kapal yang turun mesin (overhaul). Anggaran yang disediakan adalah US$ 344,5 juta sebanyak US$ 4,7 juta merupakan bagian Jerman. Tugas lain yang menjadi tanggung jawab PAL adalah menyediakan dua kapal tanker. Bila angka-angka tadi dijumlahkan, harga ke-39 kapal tersebut jatuhnya US$ 760 juta. Dari mana sumber anggarannya? Ini dia yang belum jelas. Seperti dikatakan Sulaeman, meskipun telah mendapat lampu hijau dari presiden dan menteri keuangan, Pemerintah hingga saat ini masih mencari sumber pendanaannya. ''Sementara ini sebagian ditalangi PAL dulu,'' kata Sulaeman, yang juga menjabat sebagai senior executive vice president PT PAL, tanpa menyebutkan angkanya. Namun, sebuah sumber mengatakan, pada tahun anggaran 1992/1993 Pemerintah telah menyediakan dana US$ 58 juta. Ada kemungkinan dana itu diambil dari anggaran PAL. Sisanya, karena dananya sangat besar, kabarnya menjadi beban Pemerintah mulai tahun anggaran 1993/1994 (tahun ini) hingga tahun anggaran 1996/1997. Ide pembelian ke-39 kapal tadi berasal dari Presiden Soeharto ketika melakukan kunjungan ke Jerman tahun 1991. Selang setahun kemudian, tepatnya 3 September 1992, keluarlah Instruksi Presiden (Inpres), yang menugaskan Ketua BPPT, B.J. Habibie, agar menjajaki dan melakukan negosiasi pengadaan kapal TNI-AL. Berkat negosiasi Habibie itulah, kata Sulaeman, harga kapal tersebut bisa ditekan sampai hampir separuhnya. ''Kadang ada yang dinilai cuma 40%,'' kata Sulaeman. Sebelum Menteri Habibie ditugasi melakukan negosiasi, kabarnya ada juga beberapa pihak yang menawarkan diri untuk menjadi perantara pembelian kapal bagi TNI-AL itu. Di antara mereka yang menawarkan jasa itu disebut-sebut nama pengusaha besar Liem Sioe Liong. Tapi harga yang ditawarkan negosiator swasta itu jauh lebih mahal ketimbang yang diperoleh Habibie, sehingga ditolak Pemerintah. Jika dibandingkan dengan kapal bekas dari negara lain, kapal eks-Jerman (Timur) ini memang agak miring harganya. Untuk kapal jenis LST Frosch buatan Perancis, contohnya, harganya saat ini mencapai US$ 35 juta, sedangkan yang dari Jerman hanya sekitar US$ 17 juta per buah. Kendati harga kapal sudah dibanting, pemerintah Jerman masih bisa menikmati keuntungan. Selain menerima hampir sejumlah 43% dari semua harga kapal (US$ 760 juta), pemerintah Jerman juga bisa membuang sebagian armada lautnya, yang sejak penyatuan membengkak menjadi dua kali lipat. ''Bagi pemerintah Jerman, penjualan itu sangat menggembirakan. Biar tidak terlalu banyak kapalnya,'' kata Andreas Zimmer, atase pers Kedutaan Jerman di Jakarta. Mengenai jenis kapal yang dijual ke Indonesia itu, Zimmer tidak mau berkomentar panjang. ''Kedutaan tidak bisa berkomentar apa- apa. Saya sendiri tidak tahu persis jenis kapal yang dijual. Terus terang saja, ini murni urusan bisnis,'' kata Zimmer. Kabarnya, ke-39 kapal yang dibeli Indonesia itu meliputi 16 unit Korvet Parchim, 12 unit LST Frosch-1, 2 unit Frosch-2, dan 9 unit PA Kondor. Bambang Aji, Wahyu Muryadi, dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus