MUSIM haji sudah lewat. Tapi proyek tambahan asrama haji di Pangkalan Masyur, Medan, yang dijadwalkan sudah harus selesai Agustus lalu, hingga kini tak kunjung terwujud. Bahkan, proyek APBN berharga Rp 160 juta itu, yang sedianya akan digunakan untuk menampung calon jemaah haji tahun ini, pemenang tendernya belum juga diumumkan. Kenapa? "Ini terjadi justru setelah Keppres No. 29 tahun 1984 diberlakukan," kata seorang kontraktor. Menurut dia, ketentuan baru pengganti Keppres No.14 A tahun 1980 itu, ternyata, malah hanya memperpanjang rantai birokrasi pengambilan keputusan. Maklum, sejak keppres baru itu diberlakukan Dada 21 April lalu, panitia proyek di daerah tidak lagi berwewenang memutuskan pemenang proyek APBM bernilai Rp 100 juta sampai Rp 500 juta. Keputusan mengenai penetapan pemenang lelang, mulai saat itu, dialihkan ke Tim Pengendali Pengadaan Departemen/Lembaga (TPPD/L) di Jakarta. Ketentuannya dalam waktu lima hari setelah menerima dokumen peserta lelang proyek dari panitia daerah, TPPD/L ini sudah harus mengumumkan pemenang tendernya. Prosedur dan ketentuan itu, rupanya, tidak berlaku untuk proyek tambahan asrama haji di Pangkalan Masyur. Tak ada penjelasan resmi dari Kantor Wilayah Departemen Agama di Medan. Kelambatan serupa, kabarnya, juga dihadapi sejumlah proyek PU di Sum-Ut. Ketika berada di Blitar, Agustus lalu, ketua Bappenas, Dr. J.B. Sumarlin, juga sudah dilapori soal kelambatan dana pelbagai proyek Inpres disitu, yang biasanya sudah turun di bulan April. Sekalipun laporan sudah disampaikan, kelambatan masih juga terjadi. Kata Kadir Saleh, ketua I Gapensi (Gabungan Pelaksana Nasional Seluruh Indonesia) Ja-Tim, secara pukul rata proyek APBN kini mengalami kelambatan sekitar sebulan. Panjangnya prosedur penetapan pemenang tender untuk proyek bernilai Rp 100 juta-Rp 500 juta apalagi jika sebuah proyek berada dalam tanggung jawab pemda kabupaten ditunjuknya sebagai penyebab utama. Sebelum keppres baru itu berlaku, "Waktu menunggu cuma dua minggu," ujar Kadir Saleh, yang juga menjadi direktur utama PT Kobri Muda, Surabaya. Di luar dugaan para pembuat keputusan, tampaknya, usaha mengendalikan pengeluaran anggaran pembangunan secara baik malah menimbulkan banyak ekses. Pemusatan keputusan pemenang tender proyek APBN Rp 100 juta-Rp 500 juta di tangan TPPD/L mungkin perlu diperbaiki. Sebab, dalam praktek, untuk mengumpulkan anggota tim, yang terdiri dari para pejabat eselon I dan II yang berkepentingan dengan sebuah proyek, tidaklah mudah. Sebagai ketua tim, menteri tidak selalu berada di kursinya. Pekerjaan tim, tentu, makin terasa berat mengingat bahwa proyek APBN yang mesti diteliti datang dari berbagai penjuru. Menteri Keuangan Radius Prawiro tanggap melihat berbelitnya prosedur pengambilan keputusan itu. Dia menjanjikan berusaha mengejar kelambatan-kelambatan itu. Bahkan sekarang, katanya, ada tim dari Bappenas dan Departemen Keuangan yang sedang pergi ke berbagai daerah untuk melihat proyek mana saja yang mengalami kelambatan. Pihak Departemen Keuangan sendiri, sebagai penyalur dana proyek APBN itu, katanya, juga akan "Selalu mengikuti arus keluarnya uang, dan jika terjadi kelambatan di sektor ini, akan kami kejar". Pengejaran seperti itu, tentu, tak perlu dilakukan untuk proyek APBN bernilai Rp 500 juta ke atas. Memang, tidak ada keluhan pengusaha, sekahpun prosedur penetapan pemenang tendernya leblh pan1ang karena harus dilakukan Tim Pengendali Pengadaan Barang dan Peralatan Pemerintah di Sekretariat Negara. Nindya Karya, badan usaha milik negara, beruntung bisa dengan cepat memenangkan tender proyek irigasi di Purwokerto seharga Rp 550 juta. Karena skala pekerjaannya besar, keIambatan pengumuman lelang, yang mungkin akan menyebabkan harga proyek tidak sesuai lagi dengan harga pasar, bukan merupakan soal berat bagi manajemennya. Berbeda dengan pengusaha lemah, yang bermodal pas dan punya skala proyek kecil, yang sudah merasakan benar kenaikan harga berbagai bahan bangunan 6%-8% sejak Januari sampai Oktober lalu. Bagaimanapun, para pengusaha lemah di daerah tetap belum kapok. Mereka takut namanya akan jatuh, jika mundur hanya karena ada kenaikan harga bahan bangunan. "Kami ini seperti petinju. Sebelum tersungkur mencium kanvas, belum mau menyerah," ujar Burhanudin Napitupulu, direktur CV Imo Reksa, di Medan. Pemerintah, tentu, tak ingin melihat ratusan pengusaha semacam ini tersungkur hanya karena pemenang lelang sebuah proyek lambat ditetapkan. Sebab, melalui tangan merekalah, cucuran rupiah anggaran pembangunan yang pada tahun 1984 - 85 ini meliputi Rp 10,4 trilyun, kegiatan sebagian besar ekonomi daerah digerakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini