Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tiada stok

IHK menunjukkan angka minus akibat dari daya beli masyarakat menurun. Para agen dan penyalur lebih suka membeli dolar dari pada menambah persediaan barang. (eb)

10 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFLASI rupanya bisa dijinakkan. IHK (indeks harga konsumen) gabungan 17 kota besar, September lalu, menunjukkan angka minus 0,10. Fakta mengesankan itu dikemukakan Menteri Keuangan Radius Prawiro ketika memperingati Hari Keuangan di Jakarta, pekan lalu. "Adanya perubahan sikap masyarakat, yang kini lebih suka menghemat, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan turunnya angka itu," katanya. Bagi kalangan pengusaha, terutama penghasil barang-barang konsumsi, rendahnya IHK itu justru merupakan sebuah sisi gelap. Sebab, pada bulan itu, dan pada Oktober berikutnya, jumlah barang yang diminta masyarakat pukul rata turun 15% - 20%. Tidak biasanya, memang, penjualan bir, sabun, makanan kalengan, susu, sampai kosmetik turun begitu tajam menjelang akhir tahun. "Daya beli masyarakat sedang menurun," seperti ujar Andi Martidjo, manajer umum PT Filma Utama Soap, penghasil sabun dan odol di Surabaya. Pengecer, sebagai rantai terakhir pemasaran, sudah merasakan akibatnya. Pembayaran ke agen sampai ke distributor, tentu saja, jadi seret - bahkan ada pula yang ngemplang. Sepinya penjualan itu akhirnya mendorong perusahaan seperti Unilever menempuh jalan baru untuk menyelamatkan perputaran dananya. Sejak September, penghasil barang kebutuhan konsumen terkemuka ini meminta para distributor mempercepat pembayaran utang mereka. "Dulu jangka pembayaran ditentukan satu bulan, sekarang dipercepat jadi dua minggu," ujar Rachmat, pemilik PD Bujana, salah satu distributor Unilever di Jakarta. Tindakan semacam itu tentu tak diperlukan jika daya beli masyarakat masih cukup kuat. Apa hendak dikata, sejak pemerintah memperhitungkan setiap pengeluaran dananya, bertambahnya rupiah di tanan masyarakat kini tidak secepat awal tahun 1980-an - saat devisa minyak masih melimpah. Mungkin ada beznarnya, seretnya realisasi sejumlah proyek yang dibiayai APBN di daerah, seperti diatur dalam Keppres no. 29 tahun 1984, juga berperanan besar dalam menekan pertambahan ruplah itu. Sikap menahan diri pemerintah sebagai pembelanja terbesar, itu mempunyai pengaruh luas. Jumlah rupiah, yang didistribusikan ke masyarakat melalui sejumlah proyek pembangunan, jadi banyak berkuran. "Kalau nemerintah mengurangi anggarannya, praktis aktivitas ekonomi juga menurun,"' ujar Tanri Abeng, presiden direktur PT Multi Bintang. Omset penjualan penghasil bir dan berbagai minuman ringan ini, September dan Oktober lalu, menurun sampai 25% dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tidak langsung, Menteri Radius membenarkan munculnya kenyataan itu. Dia mengakui bahwa ekspansi moneter pada semester pertama tahun anggaran ini cukup kecil - kendati pertambahan uang beredar secara absolut, makin besar. Sampai minggu keempat September lalu, ekspansi moneter itu tercatat hanya 9%, sedangkan jumlah uang beredar Rp 8,26 trilyun. Untuk menambah likuiditas rupiah di masyarakat, pada semester kedua tahun anggaran ini, "Pemerintah akan berusaha meningkatkan ekspansi moneter lebih besar lagi," katanya. Pengaruh tindakan itu, yang mungkin akan berupa pencairan seJumlah proyek penting, paling cepat baru akan terasa duaempat bulan lagi. Di saat menunggu dalam ketidakpastian itu, para pengusaha yang cerdik jelas tidak ingin jatuh terpojok. Para agen dan penyalur, yang tidak ingin terjerat banyak utang, misalnya, berusaha mengurangi jumlah persediaan barang dagangannya. Apalagi sampai kim belum tampak tanda-tanda pasar bakal kembali menguat. "Daripada menambah persediaan barang, sekarang mereka lebih suka membeli dolar," kata Sudirman, direktur PT Tempo, distributor obat dan pelbagai barang konsumsi. Sudirman rupanya bisa memahami perubahan sikap agen dan penyalur itu. Dalam keadaan pasar masih lesu, apalagi dibayang-bayangi oleh makin menguatnya nilai dolar, dia menganggap lebih aman jika mereka saat ini memegang dolar dibandingkan menyimpan stok barang. Sikap agen dan penyalur semacam itu jelas bertolak belakang dengan kehangatan menjelang diberlakukannya UU Pajak Pertambahan Nilai Rarang dan Jasa (PPn), pada I Juli silam. Dua bulan sebelum itu, agen dan penyalur berusaha menumpuk stok dengan melakukan pembelian besar-besaran. Di luar dugaan, pemerintah menunda berlakunya PPn itu, sampai paling lambat 1 Januari. Kata seorang pimpinan perusahaan di Surabaya, agen dan penyalur yang sudah telanjur menumpuk stok banyak ketika itu, karenanya, kini tak ingin menambah persediaan lagi. Lalu, demi menjaga rupiah mereka tetap tumbuh, dana itu akhirnya mereka depositokan. "Apalagi bunga deposito rupiah yang kini ditawarkan bank pada saat ini sangat menarik," kata pimpinan perusahaan itu. Dorongan pengusaha menyimpan dananya dalam bentuk dolar juga makin besar di bulan September itu, karena kurs mata uang ini menunjukkan tanda-tanda makim kuat. APA pun motivasi para agen dan penyalur itu, PT Borsumij Wehry Tndol nesia (BWI), merasakan benar menurunnya permintaan pasar akan barang-barang yang didistribusikannya. Untuk mengatasinya loyonya pasar itu, induk perusahaan BWI, yaitu Mantrust, berusaha mengurangi persediaan bahan baku dan bahan setengah jadi untuk menghasilkan barang dagangannya - dl samping uga mengurang stok hasil produksinya. Selain menghasilkan susu Cap Bendera, grup ini juga mengeluarkan makanan kalengan merk Pronas. Langkah seperti itu dianggap cukup berpengaruh "Untuk memperkecil terikatnya modal kerja," ujar A. Sukandar, direktur komersial BWI. Grup perusahaan ini juga berusaha memperkecil kebutuhan modal kerja dengan melakukan efisiensi produksi, misalnya mengganti kemasan dengan yang lebih murah tapi kuat. Dalam keadaan terdesak seperti itu, anggota grup Mantrust ini mengaku agak sulit mencapai sasaran laba tahun buku 1984 Pendapat serupa juga dikemukakan Multi Bintang dan Tempo. "Untuk tahun ini realisasi sasaran laba kami akan melenceng banyak," ujar Sudirman, direktur Tempo. Rupanya, di tahun pertama Repelita IV ini, sektor swasta masih suram ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus