Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANTAP malam di Gedung Kebon Sirih, kompleks Bank Indonesia, awal Januari lalu, terasa istimewa. Selain para bankir, sejumlah menteri ekonomi, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Sugiharto, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta diundang ke markas bank sentral di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, itu.
Sebuah pesan penting rupanya akan disampaikan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Malam itu, orang nomor satu di bank sentral ini banyak berbicara soal arah kebijakan perbankan tahun ini. Dari delapan butir kebijakan yang disampaikannya, lebih dari separuh menyinggung fungsi intermediasi bank. Di ujung pidato, ia pun meminta perbankan segera membuka keran kreditnya lebar-lebar.
Imbauan ini tampaknya disampaikan Gubernur BI guna menjawab kegelisahan pemerintah atas sikap bank-bank yang masih lebih suka menyimpan duitnya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang mengucurkannya sebagai kredit. Saking jengkelnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan sempat mengancam akan memecat direksi bank-bank milik negara kalau kebiasaan itu tak diubah. ”Masih mau jadi direktur atau tidak?” katanya.
Merujuk kepada catatan BI, kredit yang disalurkan perbankan hingga November 2006 baru Rp 806,3 triliun. Padahal, dana pihak ketiga yang telah dihimpun mencapai Rp 1.251 triliun. Jika dibandingkan dengan penyaluran kredit pada tahun sebelumnya, Rp 722,4 triliun, berarti pertumbuhan kredit hanya 11,9 persen.
Adapun sisa duit yang tak disalurkan itu, sekitar Rp 202 triliun, diparkir bank-bank di SBI. Ini hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, yang cuma Rp 110 triliun. Selain di SBI, lebih dari Rp 200 triliun juga diinvestasikan dalam bentuk pembelian surat utang negara (SUN). Tercatat kepemilikan SUN oleh bank mencapai 65,4 persen. Kebiasaan inilah yang kemudian dituding sebagai biang keladi mandeknya pertumbuhan sektor riil perekonomian nasional.
Di antara bank-bank nasional, Bank Central Asia disebut-sebut sebagai ”jawara” SBI. Simpanannya di instrumen investasi ini, konon, lebih dari Rp 20 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang BRI (Rp 12,1 triliun), Bank Mandiri (Rp 10,1 triliun), BNI (Rp 6,9 triliun), dan BTN (Rp 1,6 triliun).
Namun, Wakil Direktur Utama BCA, Yahya Setiaatmaja, tak risau dengan gelar itu. ”Ha-ha-ha... lebih baik juara SBI daripada juara NPL (kredit bermasalah),” katanya kepada Tempo. Ia juga menjelaskan, peningkatan kredit tidak bisa dipaksa. Alasannya, meski BCA telah menyetujui penyaluran kredit baru Rp 9 triliun, yang dicairkan debitor hanya Rp 4 triliun. Karena itu, ”Kalau mau menggerakkan sektor riil, daya beli masyarakat harus didorong,” ujarnya. ”Selama daya beli masih rendah, buat apa pengusaha menambah modal kerja?”
Buat bank sentral, melonjaknya simpanan bank di SBI menambah berat beban yang harus dipikulnya. Bayangkan, setiap tahun BI harus merogoh sedikitnya Rp 20 triliun untuk membayar bunga SBI. Jika dipakai untuk pembangunan, dana sebesar itu bisa menutup kebutuhan subsidi kesehatan, yang anggarannya hanya Rp 13,6 triliun setahun. Dana itu pun hampir setengah dari jumlah subsidi pendidikan yang Rp 43,3 triliun.
Karena itulah, dalam waktu dekat BI akan melansir sejumlah peraturan baru untuk menggenjot kredit perbankan. Salah satunya dengan melonggarkan persyaratan pemberian pinjaman, khususnya untuk nasabah usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dengan aturan baru itu, menurut Deputi Gubernur BI, Muliaman D. Hadad, nantinya persetujuan pinjaman Rp 5 miliar atau kurang hanya akan didasarkan pada satu kriteria penilaian, yakni kemampuan atau ketepatan membayar debitor. Untuk pinjaman di atas itu, baru dibutuhkan penilaian atas prospek usaha dan kinerja debitor.
Batasan kredit Rp 5 miliar ini jauh meningkat dibandingkan ketentuan sebelumnya yang hanya Rp 500 juta. Ini dilakukan untuk mendukung usaha menengah. ”Yang diatur (dengan kriteria ketat) yang besar sajalah,” ujarnya. Kelonggaran juga akan diberikan kepada debitor atau proyek yang mengantongi surat jaminan dari pemerintah.
Bakal berhasilkah segala upaya ini? Sejumlah pihak sangsi. Analis perbankan Fauzi Ichsan tetap melihat persoalan dasarnya terletak pada sektor riil. ”Jadi, itu yang harus dibenahi,” ujarnya
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo