Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penghitungan Tarif Baru Telkom Tertunda

RENCANA PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) memberlakukan sistem penghitungan tarif telepon lokal baru, yang semula dijadwalkan pada 1 Februari mendatang, terancam gagal. Soalnya, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) belum menyetujui rencana Telkom itu.

Hingga akhir pekan lalu, menurut anggota BRTI, Heru Sutadi, Telkom belum memberikan data lengkap soal lalu lintas percakapan saat ini, dan yang akan terjadi setelah sistem baru diterapkan. "Data itu untuk memastikan Telkom tidak melakukan pembohongan publik," kata Heru di Jakarta pekan lalu. BRTI pun perlu memeriksa seluruh data lalu lintas percakapan telepon tetap Telkom untuk memastikan langkah itu bukan trik untuk menaikkan tarif.

Dalam sistem baru itu, penghitungan tarif meniadakan pembagian lokasi dan waktu bicara untuk tarif percakapan lokal. Percakapan langsung dihitung Rp 250 per dua menit pertama dan Rp 125 per menit berikutnya. Selama ini Telkom menetapkan biaya percakapan lokal berdasarkan jarak dan waktu yang dihitung per pulsa (1,5-3 menit).

Jumlah BUMN Akan Dipangkas

PEMERINTAH bakal mengurangi jumlah badan usaha milik negara dengan cara menjual, menggabungkan, atau melikuidasi. "Tahun ini, jumlahnya berkurang 37 perusahaan," kata Menteri Negara BUMN Sugiharto kepada Tempo pekan lalu.

Kategori perusahaan yang akan dihilangkan ialah yang beraset kecil, tidak strategis, dan selalu rugi. Saat ini, pemerintah masih punya 139 perusahaan pelat merah dengan total aset Rp 1.395 triliun. Pada 2009, kata Sugiharto, jumlah BUMN akan tinggal 69 buah. Kebijakan ini sudah menjadi keputusan kabinet dan Presiden akan mengeluarkan penetapannya pekan ini.

Menurut Sugiharto, pemerintah nanti hanya akan memiliki beberapa perusahaan yang mengurusi hajat hidup orang banyak, seperti perumahan, minyak dan gas, dan telekomunikasi. Jumlah idealnya 25 perusahaan, yang akan dicapai pada 2015. Dengan begitu, katanya, "Pemerintah tak perlu lagi repot mengurus BUMN."

Pengganti Direktorat Pajak Digodok

DEWAN Perwakilan Rakyat sedang menggodok pembentukan Badan Penerimaan Pajak, yang terpisah dari Departemen Keuangan dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Semua fraksi setuju membentuk panitia khusus untuk ini," kata Dradjad Wibowo, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional dan anggota Komisi Keuangan DPR.

Pembentukan badan ini merupakan buntut dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. DPR, kata Dra-djad, akan memakai hak inisiatif untuk menggolkan lembaga ini. Alasannya, negara yang punya lembaga khusus penerimaan negara rasio pajaknya tinggi, karena birokrasinya sederhana.

Badan ini juga kelak akan menjadi cikal bakal pembentukan kementerian khusus penerimaan negara. Menurut Dradjad, usulan ini akan disampaikan saat pembahasan RUU Kementerian Negara. Namun, penolakan langsung datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurut dia, pajak dan penerimaan negara lainnya masih harus dikelola oleh direktorat di bawah Departemen Keuangan. "Belum saatnya bercerai," katanya.

Pertamina Siap Bayar Klaim Karaha

PT Pertamina akhirnya bersedia membayar klaim yang diajukan Karaha Bodas Company senilai US$ 261 juta (sekitar Rp 2,4 triliun). Menurut Direktur Utama Pertamina, Ari Soemarno, dananya sudah dianggarkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2006 dan 2007 senilai US$ 300 juta.

Menurut Ari, dalam proses hukum yang dijalani, Pertamina dan pemerintah Indonesia selalu kalah di pengadilan Amerika, sehingga tidak ada jalan lain, Pertamina harus melakukan pembayaran sesuai dengan keputusan arbitrase internasional. "Kasus ini merupakan warisan masa lalu," ujarnya.

Kisruh Karaha berawal dari penghentian proyek pembangkit listrik panas bumi ini di Garut, Jawa Barat, yang semula akan digarap Pertamina bersama Karaha. Kebijakan penghentian itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden Soeharto pada 10 Januari 1998. Merasa dirugikan, Karaha menuntut ganti rugi dan mengajukan gugatan ke badan arbitrase internasional pada 1999.

Oktober tahun lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengabulkan gugatan Karaha. Pertamina diharuskan membayar klaim Karaha senilai US$ 261 juta plus bunga 4 persen setahun. Putusan itu juga menguatkan putusan arbitrase internasional dan Pengadilan New Orleans, Amerika Serikat, tiga tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus