Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah kerajaan di mangole

Ekspor kayu lapis tetap menjadi primadona nonmigas. presiden soeharto meresmikan 19 pabrik kayu lapis yang dipusatkan di pulau mangole,maluku utara. dari sektor ini muncul konglomerat-konglomerat baru.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APBN 1990-1991 mungkin merupakan anggaran yang paling peka alias rawan guncangan. Bila dikaji lagi, segera terlihat, hampir seluruh angka anggaran pendapatan dan belanja yang telah disetujui tampaknya akan banyak yang berubah. Angka penerimaan dari migas, misalnya, yang dicantolkan pada angka US$ 16,5 per barel. Ini kan hati-hati sekali. Pasalnya, harga minyak di pasar dunia ketika itu sudah mencapai angka 19 dolar per barel. Sikap berhati-hati seperti itu menjadi kian terasa karena diperkuat dengan semakin digalakkannya penerimaan pemerintah dari sektor pajak dan ekspor nonmigas. Kendati angka-angka terakhir menunjukkan bahwa nilai ekspor nonmigas agak menurun ketimbang tahun lalu, dari pihak Pemerintah tidak ada tanda-tanda untuk mengubah sikap. Dengan ekspor nonmigas, devisa diusahakan disedot, kendati sekarang ada juga pemikiran untuk menggalakkan pasar dalam negeri. Orientasi ekspor itu kembali terlihat secara nyata pada industri kayu lapis. Merupakan primadona di kalangan nonmigas, industri ini belakangan semakin memperlihatkan kebolehannya. Pekan lalu di Pulau Mangole, Maluku Utara, Presiden Soeharto meresmikan sekaligus 19 pabrik kayu lapis yang dibangun di delapan provinsi. Pastilah, ini bukan industri kelas teri. Pada ke-19 pabrik ini tertanam investasi tak kurang dari Rp 581 milyar. Dengan memanfaatkan sekitar 30 ribu tenaga kerja, pabrik-pabrik ini diharapkan akan menghasilkan devisa 595 juta dolar AS per tahun. Jadi, sesuai dengan yang dikemukakan Kepala Negara, saat ini memang merupakan momentum yang paling tepat untuk sebuah proses industrialisasi di seluruh Tanah Air. Sebuah pernyataan yang tidak berlebihan, memang. Maklum, di kala negara-negara industri maju menghadapi masalah biaya produksi yang begitu tinggi, keadaan di Indonesia justru sebaliknya. Di negeri ini, selain sumber daya alam masih melimpah, tingkat upah buruhnya pun cukup "kompromistis" alias murah. Jadi, wajarlah bila perkembangan di Indonesia sangat lain jika dibandingkan dengan arah industri di negara-negara industri maju. Di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, misalnya, pabrik kayu lapis di sana satu demi satu gulung tikar. Di Jepang, kini tinggal sekitar 100 pabrik saja -- sebelumnya, di sana ada sekitar 220 pabrik kayu lapis. Di Korea Selatan dan Taiwan, jumlah produsen plywood-nya kian menciut. Sebaliknya di Indonesia, pabrik kayu lapis dari tahun ke tahun malah bertambah. Pada tahun lalu tercatat 112 pabrik, maka jika ditambah dengan 19, kini menjadi 131 pabrik. Itulah sebabnya, Bob Hasan sebagai Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) merasa bangga dengan "kerajaannya". Katanya, hingga tahun lalu, kayu lapis tetap merupakan penyumbang devisa terbesar jika dibandingkan dengan komoditi-komoditi nonmigas lainnya. Lihat saja, dengan mengekspor sekitar delapan juta meter kubik tahun lalu, sektor ini telah mampu menyedot 2,7 milyar dolar lebih. Atau 20,2% dari total ekspor nonmigas Indonesia. Dan satu hal perlu dicatat, keberhasilan ekspor ini pulalah yang menambah jumlah konglomerat di Indonesia. Buktinya, dari sektor kayu lapis, muncul nama-nama yang beberapa tahun sebelumnya tidak begitu dikenal orang. Seperti Prajogo Pangestu pemilik Grup Barito Pacific, Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), dan Windya Rachman dari Daya Sakti. Hebatnya, "kebesaran" para konglomerat muka baru ini tidak hanya di seputar bisnis kayu. Dari keuntungan yang diperolehnya mereka melebarkan sayap ke berbagai bidang usaha lain. Sang raja kayu Projogo Pangestu, misalnya, menguasa sekitar lima juta hektare lahan HPH. Tapi, dengan omset ekspor sekitar 413 juta dolar tahun lalu -- tidak jelas berapa keuntungannya -- Prajogo melakukan diversifikasi ke berbagai bidang yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kayu lapis. Dia kini juga membuka perkebunan kelapa sawit, lada, gula, kertas, real estate, bank, dan belakangan ini ia sedang membangun pabrik yang memproduksi bahan-bahan kimia dasar. Total, konglomerat muda ini -- usia Prajogo baru 46 tahun -- diperkirakan memiliki sekitar 120 perusahaan, dengan aset keseluruhan diduga 2-3 milyar dolar AS. Untuk mengendalikan itu semua, "saya sampai pusing karena perusahaan semakin berkembang," katanya kepada Warta Ekonomi. Namun, kalaupun pusing, tidak berarti Prajogo akan menahan laju ekspansinya. Konon, sang taipan yang setiap tahun mampu mendatangkan devisa ekspor sekitar 3 milyar dolar ini masih akan memperluas usahanya. Bahkan kali ini jauh ke Vietnam. Di sana, kabarnya, bekas karyawan grup pabrik kayu Jayanti ini berhasil memperoleh HPH satu juta hektare. Budi Kusumah dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus