GONDORUKEM. Nama ini terasa asing di telinga. Tapi jangan salah, inilah salah satu komoditi ekspor andal Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Maklum, setelah ekspor kayu jati dilarang pemerintah, BUMN Departemen Pertanian ini seperti kehilangan pegangan. Sekarang, di samping terpentin, "gondorukem menjadi primadona," kata Kamil Wirasuparta, Kahumas Perhutani Jawa Tengah. Layak, memang, kalau unit Perhutani yang satu ini mengandalkan gondorukem dan terpentin -- yang merupakan bahan baku industri kertas, cat kapal, sabun, tinta, batik, dan farmasi -- sebagai senjata pamungkas. Sebab, selain memiliki hutan yang cukup luas sebagai sumber bahan baku, Perhutani juga sudah memiliki pangsa pasar yang jelas. Itulah sebabnya, devisa yang diraih Perhutani dari kedua produk ini terus meningkat. Sepanjang dua triwulan tahun ini, misalnya, dari gondorukem dan terpentin sudah terkantungi 4,35 juta dolar -- dari target ekspor 1990 sebesar 7,72 juta dolar. Atau sama dengan 73-% hasil ekspor tahun lalu, yang hanya 5,59 juta dolar. Makanya, manajemen Perhutani serius menangani bisnis ini. Salah satu caranya, kapasitas empat pabrik gondorukem yang tersebar di Cilacap, Pekalongan, Brebes, dan Wonogiri akan ditingkatkan. Akan halnya soal pasar, itu tidak perlu dirisaukan benar. Sebab, kendati RRC dan Amerika muncul sebagai pesaing, "daya saing produk kita tetap tak terkalahkan," kata Kamil. Gondorukem dan terpentin Amerika, contohnya, jatuhnya lebih mahal karena tenaga kerja di sana tidak murah. Sedangkan buatan Cina, kendati murah, kualitasnya tidak lebih bagus ketimbang produksi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini