Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mereka yang Mengendapkan Memori

Ceceran memori itu membawa Watugunung, Sudamala, dan Murwakala. Pendobrakan konvensi teater yang menggelisahkan penonton.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baiklah kita mengawalinya dari sebuah akhir. Layar putih terangkat ke atas memperlihatkan aksi panggung band Melancholic Bitch. Sambil merokok, sang vokalis melantunkan lagu My Feeling for You yang diciptakannya sendiri. Suaranya tak terdengar jelas, tenggelam oleh teriakan seorang lelaki bersayap berdaster putih. "Aku masih cantik, kan, Suster, anakku saja tak henti-henti mencium tubuhku. Di dekat kandang kijang, ia mengawiniku," ujar lelaki itu.

Kemunculan band itu telah menahbiskan klimaks. Akhir manis yang menenteramkan pementasan Waktu Batu 3: Deux ex Machina dan Perasaan-Perasaanku Padamu oleh Teater Garasi di minggu ketiga acara Art Summit IV. Bertempat di Graha Bhakti Budaya, kelompok teater dari Yogyakarta ini memanggungkan versi akhir naskah Waktu Batu, yang dimulai sejak 2001.

Tak ada perubahan teks yang berarti di bagian ketiga ini. Keberangkatan cerita ini masih bersumber pada tiga tema: waktu, manusia, dan identitas. Di dalamnya, tergumpal mitologi tentang ketiga tema itu. Tentang Watugunung, bocah yang menikahi ibunya; Murwakala, yang lahir dari persetubuhan Siwa dan Uma yang gagal; dan Sudamala, kunci untuk mengembalikan Durga menjadi Uma. Tiga mitologi itu berkumpar dengan kegelisahan zaman baru yang muncul bersama kedatangan bangsa asing di Nusantara.

Kemunculan teks bermula dari Yudi Ahmad Tadjudin, sutradara naskah ini sekaligus pendiri Teater Garasi. Ia gelisah tentang seluruh konvensi yang mengepung dunianya: tentang apa itu teater, apa itu penonton, dan semua yang menyusunnya. Yudi menghimpun tiga penulis teks: Ugoran Prasad, Gunawan Maryanto, dan Andri Nurlatif. Teks yang terhimpun direspons para pemain dengan metode improvisasi. Mereka berlatih dalam sebuah ruangan yang sudah dirancang tim visual. Di sana, mereka memunculkan memori atas teks baik berupa vokal maupun gerak.

Hasilnya, sebuah provokasi. Dari awal penonton diajak berpikir tentang kemunculan manusia, teks, dan visual yang menderas tanpa henti. Lintasannya tak linear. Hilir-mudik keluar-masuk panggung seolah tanpa alasan. Susunan adegan lebih menyerupai koreografi, bukan fragmen-fragmen yang bermuara pada kesimpulan sebuah cerita. Waktu Batu 3 lebih berupa tumpukan teks yang menunggu penontonnya untuk melakukan deja vu—mengingat kembali memori masa lalu yang entah tercecer di mana.

Suatu ketika ceceran memori itu singgah di pertengkaran Siwa dan Uma. Persetubuhan mereka berakhir dengan kutukan dan serapah. "Celakalah kau, Siwa," teriak Sri Qadariatin, pemeran Uma. Tak ada penyelesaian dari kemarahan mereka. Tiba-tiba memori itu meloncat ke sosok seorang bocah yang bermain-main dengan piringnya. "Mak, makan!" ujarnya sambil menyodorkan piring ke tubuh ibunya yang tengah memutar mikser ke dalam sebuah mangkuk besar. "Cari makan saja di jalan. Ayahmu dimangsa anjing," teriak wanita itu.

Kemunculan wilayah domestik ini merujuk saat Shinta memukul kepala Watugunung dengan centong ketika ia tengah memasak nasi. Watugunung, yang lari, suatu ketika kembali dan menikahi Shinta. Adegan pun beralih ke teriakan seorang perempuan. "Aku masih cantik kan, Suster? Buktinya, anakku terus meniduri tubuhku," ujarnya dengan intonasi datar mengesankan seorang pasien skizofrenik di sebuah rumah sakit jiwa.

Ganjil, memang. Di antara audiens, budayawan Goenawan Mohamad menganggap eksperimen itu ketidakmampuan memunculkan kontras, ironi, bahkan surprise. "Mereka tak membiarkan sunyi mengambil peran. Estetika jeda juga belum tercapai. Pun kepekaan pada beda," ujar Goenawan Mohamad. Tapi, di balik panggung, Yudi berpendapat itulah kesengajaan. Anti-linear, tapi itulah, "multi-fokus dan aliran benda yang cepat. Tidakkah hal itu yang kita temui sehari-hari? Ini merupakan potret tentang bagaimana kami melihat lingkungan kami sekarang ini," ujar Yudi.

Yudi berkreasi, mengolah idiom-idiom pop dalam kostum dan musik racikan rock, techno, dan gaya 80-an yang tengah ngetren. Pokoknya, muaranya satu: kultur pop. Tentu banyak reaksi ketika, misalnya, pengolahan teks tak dilakukan secara realis. Juga cara para aktor mengucapkan teks yang tak wajar. Sesuatu yang mengacu, bagi Yudi, pada bunyi ketimbang makna, namun di mata Goenawan Mohamad tak lebih dari gaya bicara melodramatis, tak terlatih dalam diksi.

Beragamnya pendapat atas pementasan ini bukanlah perihal baru dalam sebuah pementasan teater, apalagi yang mengusung semangat eksperimental. Dalam hal ini, Teater Garasi telah berhasil mengajak penonton mempertanyakan kembali konvensi teater.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus