Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bahaya Krisis Global di Ambang Pintu

Krisis moneter global di depan mata. Indonesia tak mungkin sepenuhnya terisolasi dari krisis ekonomi ketika kurs mata uang negara lain berjatuhan.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kurs mata uang di banyak negara sedang tertekan.

  • Kurs rupiah mulai merosot.

  • Jatuhnya harga obligasi bisa menyeret Indonesia ke dalam krisis moneter.

MENDUNG tebal yang mengandung badai krisis sedang mengambang rendah. Sewaktu-waktu, badai itu bisa turun menyergap. Nilai tukar mata uang hampir semua negara terhadap dolar Amerika Serikat sedang tertekan hebat. Krisis moneter berskala global bisa meledak setiap saat.

Jika dihitung sejak awal tahun hingga Jumat, 30 September lalu, sekadar contoh, yen sudah merosot hingga 25,4 persen. Pound sterling melorot hingga hampir menyentuh kurs satu berbanding satu dengan dolar Amerika, terendah sejak 1985. Yuan, won, dan berbagai mata uang lain serupa nasibnya. Walhasil, bank sentral kini seperti berlomba menaikkan bunga demi menahan kemerosotan nilai tukar mata uang masing-masing.

Teorinya, dengan menetapkan bunga lebih tinggi, investasi dalam mata uang negeri itu menjadi lebih menarik. Hal ini bisa mencegah niat investor memindahkan investasinya ke aset dalam dolar Amerika. Migrasi itulah yang sekarang sedang berlangsung dalam skala luar biasa karena The Federal Reserve terus menaikkan bunga dalam dolar. Itu sebabnya dolar menguat dan nilai semua mata uang lain merosot.

Masalahnya, makin besar bank sentral suatu negeri menaikkan suku bunga, makin lesu ekonomi negeri itu. Ini pilihan yang sama-sama pahit. Hampir semua negara pada akhirnya memilih risiko lesunya ekonomi ketimbang terpapar krisis moneter karena amblesnya nilai mata uang.

Di tengah prahara itu, sejauh ini, rupiah masih relatif aman. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika “cuma” melorot 6,77 persen sejak awal tahun hingga Jumat, 30 September lalu. Ruchir Sharma, analis terkenal penulis buku Breakout Nations, bahkan menyebut Indonesia sebagai satu dari tujuh keajaiban ekonomi di tengah dunia yang sedang cemas. Indonesia, yang tiga-empat tahun lalu masuk kelompok lima negara dengan mata uang paling rentan ambruk, sekarang menjadi contoh keberhasilan.

Namun itu bukan berarti tak ada bahaya mengancam. Pekan lalu, nilai rupiah mulai merosot dengan cepat, melewati 15.250 per dolar. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sinyal bahwa Indonesia akan menghadapi masalah jauh lebih besar begitu badai krisis global benar-benar menerpa. Rupiah akan sulit bertahan. Indonesia tak mungkin sepenuhnya terisolasi dari bencana ketika nilai mata uang negara-negara lain berjatuhan.

Risiko krisis moneter datang melalui dua persoalan. Pertama, surplus besar neraca transaksi berjalan, yang saat ini menjadi kekuatan utama pertahanan rupiah, terancam lenyap karena ekonomi dunia terbelit resesi. Permintaan berbagai komoditas menurun, demikian pula harganya. Penerimaan ekspor Indonesia pun ikut melorot dan akhirnya neraca transaksi berjalan kembali masuk area negatif. Ujungnya, nilai rupiah merosot.

Persoalan kedua adalah lemahnya kondisi keuangan pemerintah. Pasar finansial sedunia sedang bergejolak hebat. Harga obligasi berjatuhan. Selama pasar belum stabil, pemerintah Indonesia akan sulit menjual obligasi. Padahal berutang melalui penjualan obligasi merupakan sumber dana utama pemerintah untuk menambal defisit anggaran. Jika tak dapat menjual surat utang, pemerintah bisa terjerat kesulitan keuangan. Kalau toh berhasil menjual obligasi, mau tak mau pemerintah harus membayar kupon amat tinggi mengikuti permintaan pasar.

Selera investor terhadap obligasi pemerintah RI berdenominasi rupiah sebetulnya sudah menurun dua tahun terakhir, terutama minat investor asing. Meski belakangan ini Indonesia dianggap sebagai kisah sukses, keyakinan investor asing tetap meluntur. Kebijakan obral subsidi energi dan rakus mencetak utang sejak merebaknya pandemi turut menggerus reputasi pemerintah. Hal itu tampak pada makin merosotnya dana asing yang masih bertahan di obligasi pemerintah. Nilainya tinggal Rp 740,7 triliun per 26 September lalu ketimbang Rp 893 triliun pada awal 2022.

Kesimpulannya, ekonomi kita saat ini relatif masih baik-baik saja. Namun krisis dan resesi global yang sudah di ambang pintu berpotensi menimbulkan persoalan besar. Jika politikus yang berkuasa tak cermat mengelola risiko ini, bukan tak mungkin krisis moneter pada akhirnya akan mampir juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus