Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sekali dayung

Pegawai negeri eselon iv sampai i akan mendapat kredit mobil & skuter. bea masuk & ppn ditanggung pemerintah membuat harga kendaraan menjadi lebih murah. industri otomotif merasa terinjeksi. (eb)

7 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEGAWAI negeri rupanya tak kenal resesi. Bayangkan, ketika banyak kalangan swasta yang kesabet resesi berusaha mengurangi pelbagai kenikmatan bagi karyawan mereka, pegawai negeri justru sebaliknya: pejabat eselon IV sampai I akan memperoleh mobil dan skuter, yang boleh dibeli secara mencicil dengan jangka waktu angsuran lima tahun, dan hanya dikenakan bunga 12% setahun. Menurut surat Menteri Keuangan Radius Prawiro kepada para menteri dan pejabat tinggi pemerintahan, 1 November lalu, kendaraan roda empat dan dua yang ditawarkan itu berjumlah 48 jenis dari pelbagai merk. Cicilannya bergerak antara Rp 16.000 (yang terendah Vespa P-150-S) dan Rp 299 ribu (yang tertinggi Nissan Laurel). Yang menyenangkan, bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) kendaraan kreditan ini sepenuhnya ditanggung pemerintah. Artinya, harga mobil dan skuter yang dibeli para pegawai ini jauh di bawah harga pasar. Misalnya sedan Corona GL, yang kini berharga sekitar Rp 23 juta (on the road), dengan cara angsuran itu jatuhnya hanya Rp 16,5 juta - untuk masa lima tahun mendatang. Dengan tingkat harga serendah itu, boleh jadi, mereka juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penjualan (PPn) atas barang mewah yang tarifnya 10% dan 20%. Rendahnya harga mobil dan skuter ini, tentu, akan menarik bagi pejabat yang punya penghasilan ekstra - sebagai komisaris badan usaha milik negara/daerah atau pimpinan proyek. Tapi, jika mereka sudah pernah mendapat mobil seperti diatur dalam Keppres no. 48 tahun 1984, maka mereka tak berhak lagi mendapat fasilitas murah itu. Jadi, masuk akal bila anggota Gaakindo (Gabungan Agen Tunggal dan Assembler Kendaraan Bermotor Indonesia) seperti mendapat setrum baru dalam menyongsong program penghematan pemerintah itu. Menurut Ketua Gaakindo, Soebronto Laras, pembelian mobil secara besar-besaran itu akan banyak "membantu perputaran dana perusahaan, kalau dilaksanakan secara konsisten, dan dalam jangka waktu relatif pendek." Namun, kalau pembelian itu dilakukan berlarut-larut, "ya, jadinya biasa-biasa saja," tambah Soebronto. Kalangan industri karoseri, yang akan kebagian rezeki dari pembelian kendaraan jenis niaga seperti Daihatsu Hi-jet dan Suzuki Carry, juga berharap agar pembelian itu dilakukan secepatnya. "Tapi, jika berlarut-larut, malah bisa jadi berat bagi perusahaan karoseri, karena harga bahan-bahan baku ada kemungkinan keburu naik," kata Tri Budi Wahono, Manajer Pemasaran PT Amalgam Body Mfg. Industri otomotif dan para subkontraktornya, terutama, akan banyak tertolong dengan pembelian mobil dan skuter bagi para pegawai negeri itu. Sudah tiga tahun terakhir ini, mereka mendapat pukulan keras, sehubungan dengan makin menciutnya penjualan mereka. Pada 1981, penjualan seluruh mobil bisa mencapai 207 ribu unit lebih (masa puncak), tapi pada 1982, 1983, dan 1984, merosot jadi 188 ribu, lalu 151 ribu, dan akhirnya naik sedikit 152 ribu unit. Tahun ini, sampai akhir Oktober, penjualannya hampir 115 ribu unit. Kemerosotan cukup hebat terjadi sesudah pemerintah, yang di zaman boom minyak jadi pembeli nomor 1, mengurangi konsumsinya. Jika situasi itu dibiarkan, bukan mustahil industri otomotif, yang juga merupakan aset nasional itu, bakal bergelimpangan. Yang lebih celaka, kredit ratusan milyar dari pelbagai lembaga keuangan pemerintah dan swasta bisa tak kembali. Dengan dasar pikiran semacam itu, maka pemerintah berusaha menginjeksi kembali industri otomotif, dengan melakukan pembelian milyaran rupiah itu. Bedanya sekarang, beban itu tidak semuanya dipikulkan ke APBN, tapi dibagi rata ke pundak para pegawainya. Namanya, kira-kira, sekali dayung dua pulau terlampaui. Mekanisme pembelian itu belum jelas benar, sekalipun BNI 1946, BBD, BDN, dan Bank Eksim sudah ditunjuk sebagai bank pelaksana pemberian fasilitas kredit itu. Artinya, kira-kira, bank itulah yang mula-mula melakukan pembelian ke para dealer yang ditunjuk, dengan harga pasar. Lalu bank menagih ke Departemen Keuangan atas pembayaran bea masuk, PPN (dan PPn Barang Mewah), dan subsidi bunga (selisih antara tingkat suku bunga komersial dan suku bunga angsuran). Akhir tahun ini tingkat suku bunga komersial itu 17%, tapi subsidi bunga atas angsuran kendaraan tadi 5%. Toh, para agen tunggal dan dealer hingga pekan lalu masih belum juga menerima telepon dari bank. "Sudah banyak teman dari departemen menanyakan. Tapi saya jawab bagaimana, karena petunjuk pelaksanaannya belum ada," kata Alam Wiyono, Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor. EH Laporan Budi Kusumah, Yulia S. Madjid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus