CELENGAN pemerintah untuk menombok berkurangnya penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas, ternyata, masih banyak. Dari realisasi APBN 1985-1986 yang dibeberkan Menteri Keuangan Radius Prawiro di kantornya, Senin pekan ini, tampak jelas ada beberapa pos penerimaan yang potensinya tidak bisa dilihat para spekulan dolar. Bayangkan, ketika di kuartal terakhir tahun fiskal ini harga minyak jatuh. PPh migas masih bisa ditarik Rp 11.144 milyar, atau hanya Rp 15 milyar di bawah sasaran. Devaluasi? Bagian terbesar dari celengan itu ternyata tidak diperoleh dengan melakukan tindakan moneter, melainkan dengan cara, antara lain, menggoyang-goyang kantung kontraktor minyak asing dan Pertamina. Auditing terhadap pembukuan kontraktor, misalnya, diam-diam dilakukan untuk mengecek kebenaran apakah produksi minyak yang mereka laporkan cocok dengan kenyataannya. Singkat kata, dari hasil pemeriksaan ulang itu, pemerintah bisa menarik Rp 88 milyar, yang berasal dari penyelesaian tagihan kelebihan produksi lama. Dengan Pertamina juga dilakukan perhitungan kembali, mengenai bagian mana dari minyak in kind (minyak mentah untuk BBM yang dibeli dengan harga pasar), yang dianggap ongkos dan pendapatan. Dari situ bisa diperoleh Rp 317 milyar lebih. Lalu dari depresiasi rupiah terhadap dolar, yang merayap sekitar 2,54% untuk tahun fiskal itu, pemerintah mendapat Rp 216 milyar dari perubahan kurs itu. Jadi, setelah ditotal, celengan itu berjumlah Rp 621 milyar. "Angka ini riil ada, uangnya sudah disetor ke kas negara," kata Menteri Radius, meyakinkan. Tapi, sumbangan terbesar kenaikan penerimaan dalam negeri bukan berasal dari celengan dadakan itu, melainkan dari laba yang disisihkan badan usaha milik negara (BUMN). Di buku APBN, penerimaan bukan pajak ini hanya dialokasikan sekitar Rp 732 milyar. Realisasinya hampir Rp 1.492 milyar, atau naik lebih dari 103%. Setoran besar datang dari Pertamina dan pelbagai lembaga keuangan pemerintah. Juga dari pengembalian subsidi pupuk Rp 80 milyar. Dari angka itu, Menteri Keuangan Radius agaknya ingin meyakinkan kalangan pengecam bahwa di masa sulit seperti sekarang BUMN masih merupakan kekayaan (assets), bukan menjadi beban (liabilities). Di sektor penerimaan di luar migas, pajak agaknya belum bisa diharapkan banyak. Besarnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang mencapai Rp 2.327 milyar atau Rp 661 milyar di atas sasaran, ternyata masih kurang untuk menutup melesetnya sasaran PPh yang hanya Rp 2.313 milyar, atau Rp 761 milyar di bawah sasaran. Melesetnya penerimaan itu, seperti diakui Dirjen Pajak Salamun A.T., gara-gara para penyusun beleid agak optimistis melihat perekonomian negara industri akan cepat membaik. "Ternyata, tak secepat yang diduga," katanya. Usaha mengumpulkan pajak itu sendiri, dengan menerima kembali Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) ternyata, tidak selalu mulus. Di Inspeksi Pajak Jakarta, misalnya dari jumlah 16 ribu lebih wajib pajak badan, yang mengembalikan SPT hanya 5.300 lebih atau kurang 34%. "Surat edaran yang kami kirimkan sering jatuh ke kuburan atau ke masjid," ujar Dirjen Salamun. Yang agak mengejutkan, realisasi penerimaan pembangunan (pinjaman luar negeri) hanya bisa Rp 3.478 milyar, atau sekilar Rp 795 milyar lebih rendah dari sasaran. Daya serap proyek pemerintah, seperti diakui Menteri Radius, memang masih rendah. Nah, setelah dijumlah plus-minusnya cmua pos itu, maka penerimaan tahun fiskal ini tercatat Rp 22.825 milyar, atau Rp 221 milyar lebih rendah dari yang tertulis di buku. Masuk akal bila pemerintah harus menyesuaikan pos pengeluarannya. Pemotongan dan penghematan banyak dilakukan di pos belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, lalu bunga dan cicilan utang. Dari situ bisa dihemat hampir Rp 600 milyar. Besar artinya tentu, tapi cukup pahit bagi penjual barang ke instansi pemerintah, yang kini harus melewati jalan panjang dan makan ongkos sebelum tawarannya diterima. Khusus untuk cicilan utang, pemerintah menghemat Rp 236 milyar. "Tidak ada rescheduling. Yang ada kita pinjam uang lagi dengan murah untuk membayar utang lama," kata Menteri Radius. Usaha melakukan refinancing seperti itu memang jamak dilakukan supaya pemerintah tidak terlalu banyak menderita rugi akibat perubahan kurs, misalnya. Tapi di pos pengeluaran rutin itu, yang belum tampak angkanya adalah subsidi BBM, yang dialokasikan Rp 532 milyar. Turunnya harga minyak yang akan mempengaruhi harga masukan minyak in knd untuk BBM, agaknya, malah akan menyebabkan pemerintah menerima laba bersih minyak -- untuk kuartal keempat. "Itu yang kami harapkan, sekali waktu ada laba bersih," kata Menteri. Bisa diduga dari pos subsidi BBM itu banyak uang bisa dihemat. Dengan kata lain, menurunnya penerimaan PPh migas, pada akhirnya, bisa dikompensasikan dengan pemasukan laba bersih minyak (LBM) --suatu hal yang hanya terjadi di Pelita I dan terakhir di tahun fiskal 1976-1977. "Karena itu, jangan terpukau kalau harga minyak turun sampai US$ 12 per barel, lantas dihitung penerimaannya kurang sekian milyar. Tapi orang lupa akan ada laba BBM yang jumlahnya bisa dihitung," ujar Menteri. Dari penjelasan itu bisa ditebak, untuk 1986-1987 nanti, harga BBM niscaya tidak akan turun. Apalagi, jika dibandingkan dengan harga di tetangga, BBM di sini dianggap masih lebih murah. Premium, misalnya, Singapura Rp 443, Filipina Rp 386, dan di sini Rp 385 seliter. Sedang avtur, di kedua negara tetangga yang bukan produsen minyak itu, juga lebih tinggi. Di samping pos gembira itu (yang belum tentu berlanjut pada 1986-1987), yang mengejutkan pengeluaran pembangunan naik. Realisasi pengeluaran departemen dan lembaga, misalnya, mencapai Rp 4.466 milyar, atau Rp 822 milyar di atas rencana. Rencana penghapusan sistem Siap untuk tahun anggaran mendatang rupanya mendorong banyak instansi 'ngebut. "Para kontraktor juga bekerja siang malam. Mereka tidak rugi, karena naiknya lembur bisa ditutup dengan laba dari nilai pekerjaan yang makin besar," kata Menteri. Dengan kepiawaian seorang akuntan itu, pemerintah akhirnya bisa menyelamatkan APBN 1985-1986 itu berimbang pada angka Rp 22.825 milyar. Denyut kegiatan ekonomi, tentu, harus dilihat juga dari sisi neraca pembayaran luar negeri. Gambaran makronya ternyata cukup menyenangkan: defisit transaksi berjalan, insya Allah, bisa ditekan dari US$ 3,4 milyar jadi sekitar US$ 2 milyar. Devisa banyak bisa dihemat, karena impor tidak akan terlalu besar. Dari April sampai Desember lalu, realisasi impor nonmigas, misalnya, hanya US$ 6,6 milyar. Padahal, pada periode yang sama tahun anggaran sebelumnya, realisasi impor itu mencapai hampir US$ 8,5 milyar. Bagusna gambaran makro itu kurang selaras dengan gambaran mikro -- tatkala banyak industri di dalam negeri terpukul dan memPHK-kan buruhnya. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah kuatnya neraca pembayaran itu menggembirakan? Secara diplomatis, Menteri Radius menjawab: Pertama, pemerintah gembira melihat defisit neraca barang dan jasa yang pernah mencapai US$ 7 milyar itu bisa ditekan. Dan, kedua, "Pemerintah senang karena sekarang banyak masyarakat membeli barang produksi dalam negeri." BAGI kalangan industri yang hingga kini masih mengimpor bahan baku dan penolong, jawaban Menteri itu memang bisa ditafsirkan banyak. Pembelian bahan baku atau penolong lokal itu, boleh jadi, hanya akan menambah biaya. Soal itulah yang belakangan ini banyak dikeluhkan pengusaha, terutama sesudah Menteri Rachmat Saleh makin gencar mengeluarkan surat keputusan pengendalian pemasukan bahan baku dan penolong impor. Untung, dengan persetujuan pemerintah AS, para eksportir masih bisa menikmati Sertifikat Ekspor yang semula akan dihapus 1 April. Kendati insentif itu diperpanjang tiga bulan lagi, barang ekspor yang mempunyai dokumen muat kapal (bill of lading) sesudah 31 Maret hanya akan dapat SE 85%. Lumayan daripada tidak. Tapi soal menaikkan daya saing barang ekspor, tampaknya, bukan terletak pada SE yang bersifat menaikkan pendapatan, dan sementara, itu. Yang diinginkan pengusaha adalah suatu campur tangan pemerintah untuk ikut menekan biaya, hingga daya saing jadi baik. Kebijaksanaan yang jelas diperlukan menyongsong APBN 1986-1987, yang tidak cukup dipikul dengan laba bersih minyak. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini