Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir
Kamis pekan lalu, Federal Reserve (Fed) Amerika Serikat harus mengambil sikap yang sudah lama ditunggu. Pilihannya adalah antara menaikkan suku bunga Amerika sekarang untuk menghadapi naiknya inflasi di Amerika dan menundanya buat menghindari arus keluar modal dari pasar negara berkembang ataupun pasar non-Amerika.
Kita tahu, akhirnya Fed memilih menunda. Bunga 0-0,25 persen yang sudah berlaku hampir satu dekade tak diotak-atik. Kebijakan suku bunga rendah ini diperlukan untuk memulihkan ekonomi Amerika dari resesi akibat krisis keuangan Lehman 2008. Saat ini pertumbuhan sudah pulih dan sejalan dengan itu angka pengangguran menurun. Tapi Fed khawatir dampak kebijakannya akan membuat mata uang dunia terus melemah, apalagi kondisi pertumbuhan ekonomi dunia masih rapuh.
Pilihan Fed cukup melegakan pasar. Pada penutupan perdagangan Jumat sore pekan lalu, rupiah menguat ke tingkat 14.374 per dolar Amerika dari 14.459 sehari sebelumnya. Namun, dengan cadangan devisa yang turun US$ 2,1 miliar bulan lalu ke tingkat US$ 105,4 miliar, Bank Indonesia mulai berhati-hati dalam usahanya menopang rupiah. Sehari sebelum pertemuan Fed, BI memutuskan mempertahankan bunga acuan 7,5 persen.
Rontoknya nilai tukar kita menurunkan minat di pasar obligasi rupiah. Lelang obligasi pemerintah minggu lalu hanya menarik penawaran sebesar Rp 8,4 triliun, lebih rendah dari rata-rata sebelumnya yang mencapai Rp 15 triliun. Investor juga lebih memperhatikan tingkat risiko. Ini terlihat dari penjualan obligasi yang kebanyakan bertenor pendek. Akhirnya yang terserap pasar hanya Rp 5,2 triliun, walau imbal bunga sudah dinaikkan.
Surplus perdagangan Agustus juga hanya mencapai US$ 434 juta, lebih rendah daripada ekspektasi pasar. Angka ekspor turun 12,3 persen, sementara impor merosot 17,1 persen dari tahun lalu. Yang menarik adalah gerakan bulanan. Meskipun secara tahunan ekspor Agustus menurun, secara bulanan ada kenaikan sebesar 10,8 persen, termasuk pada kelompok manufaktur. Di segmen ini, angka ekspor mesin dan instrumen mekanik naik 37 persen, kendaraan naik 41 persen, dan perhiasan 122 persen dibanding bulan sebelumnya.
Impor pun menunjukkan peningkatan 21,7 persen. Ini tentu menambah tekanan terhadap rupiah, meski tren ini juga mencerminkan kegiatan bisnis yang masih aktif. Impor barang modal, bahan baku, dan barang konsumsi semua naik masing-masing 23 persen, 18,6 persen, dan 53 persen.
Dimulainya proyek infrastruktur pemerintah dan pelonggaran impor makanan tampaknya membantu mendorong kegiatan ini—suatu tanda positif yang diharapkan berlanjut. Angka penjualan retail dan semen juga menunjukkan tren naik. Sekarang analis lebih yakin bahwa pertumbuhan tahun ini akan mencapai 4,8 persen dan defisit transaksi berjalan dapat menyusut ke tingkat 2,2 persen dari produk domestik bruto.
Perlambatan jelas terlihat pada indeks harga saham gabungan, yang pada awal tahun tercatat 5.212, sekarang jatuh ke level 4.380. Pertanyaan yang sering terdengar adalah apakah sekarang sudah waktunya kembali masuk ke pasar modal atau apakah indeks masih akan turun lagi.
Dari 45 saham blue chip yang termasuk kelompok LQ45, sebagian besar tambang, sudah memiliki rasio price-to-book kurang dari satu. Artinya, harga sahamnya sudah sangat murah.
Perlu diingat pula bahwa kali ini Fed hanya menunda. Sekarang atau nanti, naiknya suku bunga Amerika tak akan terelakkan. Era bunga rendah akan berakhir secara bertahap. Sudah waktunya semua perlu berbenah diri menghadapinya. l
Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo