Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pasar Turi Mati Suri

Di akhir periode pertama kepemimpinan Tri Rismaharini, Pasar Turi yang dulu terbakar belum beroperasi. Kantor Jusuf Kalla turun tangan.

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN sembilan lantai itu masih sepi. Hanya segelintir orang berada di sana. Beberapa eskalator dan lift belum berfungsi. "Tiap hari masih seperti ini," kata Lina, salah satu pemilik kios sepatu di lantai tiga, Kamis pekan lalu.

Gedung bercat oranye ini tak lain Pasar Turi. Pemerintah Kota Surabaya membangun kembali pasar tradisional tertua ini setelah kebakaran hebat terjadi di sana delapan tahun lalu. Namun, hingga pekan lalu, Pemerintah Kota Surabaya belum meresmikan pasar ini.

Salah satu penyebabnya, perubahan perjanjian kerja sama yang diminta Pemerintah Kota Surabaya kepada PT Gala Bumi Perkasa, selaku pengembang, tak kunjung menemui titik temu. "Sampai sekarang belum ada tanggapan," ujar Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Pemerintah Kota Surabaya mengajukan perubahan perjanjian karena proyek pembangunan Pasar Turi senilai Rp 1,4 triliun itu melenceng dari perencanaan. Menurut perjanjian yang diteken pada Maret 2010, pada masa Wali Kota Bambang D.H., pembangunan Pasar Turi semestinya rampung pada Februari 2014. Ternyata proses pembangunan molor berbulan-bulan. Penyebabnya antara lain perubahan konstruksi bangunan dari enam menjadi sembilan lantai.

Tarik-ulur antara Pemerintah Kota Surabaya dan Gala Bumi Perkasa juga terjadi menyangkut hak atas bangunan di Pasar Turi. Perjanjian antara pengembang dan pedagang menyebutkan Gala Bumi Perkasa memiliki hak pakai stan. Belakangan, perusahaan ini ingin haknya di Pasar Turi ditingkatkan menjadi hak kepemilikan bersama (strata title).

Rismaharini menolak keinginan itu karena tanah Pasar Turi milik Pemerintah Kota. Bila skema itu tetap dipaksakan, ia khawatir aset pemerintah lenyap setelah masa kepemilikan bersama habis. Sikap Risma kian mantap setelah Kejaksaan Tinggi Surabaya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kementerian Dalam Negeri, serta Fakultas Hukum Universitas Airlangga melarang skema hak kepemilikan bersama digunakan di Pasar Turi.

Apalagi pengembang juga terikat perjanjian dengan Pemerintah Kota Surabaya. Dalam perjanjian itu, pembangunan Pasar Turi memakai skema build-operate-transfer. Dengan skema ini, pengembang cuma berhak mengelola Pasar Turi hingga 25 tahun. "Setelah itu, kepemilikan harus dikembalikan ke Pemerintah Kota Surabaya," ujar Risma.

Posisi Risma terjepit karena para pedagang yang sudah membeli stan dari pengembang tidak sabar menanti pasar segera beroperasi. Mereka mendesak tempat penampungan sementara dibongkar. Khoping, salah satu pedagang, mengatakan tempat penampungan di luar gedung menghalangi jalan masuk sehingga tidak ada pembeli.

Risma menolak memenuhi keinginan tersebut. "Saya tidak boleh memihak satu kelompok," katanya. Menurut dia, banyak pedagang bertahan di tempat penampungan karena tak mampu membeli stan. Lina menyebutkan harga stan kini mencapai Rp 600-700 juta.

Pernyataan Risma dibenarkan para pedagang yang bertahan di tempat penampungan. Syukur, perwakilan pedagang di sana, mengatakan pengembang mematok biaya terlalu tinggi. Di antaranya berupa biaya servis serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Tarik-ulur soal ini mendorong Khoping dan pedagang lain yang sudah membeli stan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, akhir Mei lalu. Isi surat itu meminta pemerintah segera meresmikan Pasar Turi dan mempercepat pembongkaran tempat penampungan sementara.

Risma sebenarnya ingin Pasar Turi beroperasi sebelum periode kepemimpinannya berakhir pada akhir September ini. Ia pernah menemui Jusuf Kalla membahas soal ini. "Ibu Risma datang menemui Pak Jusuf Kalla untuk meminta masukan," kata Staf Khusus Wakil Presiden Husain Abdullah, Jumat pekan lalu.

Pertemuan pada pertengahan April itu juga membahas beberapa hal yang selama ini menjadi ganjalan, di antaranya perubahan konstruksi bangunan, yang melenceng dari perjanjian awal, serta kekecewaan para pedagang terhadap tingginya service charge pengelolaan gedung.

Dua bulan kemudian, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar mengirim surat kepada Risma. Isinya meminta Wali Kota Surabaya menindaklanjuti arahan Jusuf Kalla. Misalnya menyelesaikan addendum atau perubahan kontrak perjanjian kerja sama dengan investor.

Kantor Wakil Presiden juga meminta Risma membongkar tempat penampungan sementara. Tujuannya agar seluruh aktivitas perdagangan berlangsung di dalam gedung baru Pasar Turi.

Kantor Wakil Presiden menilai Pasar Turi sudah dapat beroperasi. Kesimpulan ini berdasarkan hasil pengecekan oleh Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Ekonomi, Infrastruktur, dan Kemaritiman Tirta Hidayat ke Pasar Turi pada akhir Mei lalu. Dari pengecekan itu, Kantor Wakil Presiden melihat beberapa sarana, seperti tangga berjalan, lift, lahan parkir, dan toilet, sudah tersedia di semua lantai. Pertimbangan lainnya, sekitar 4.610 pedagang telah menyelesaikan urusan administrasi dengan investor.

Dalam suratnya kepada Wali Kota, Mohamad Oemar meminta aktivitas perdagangan di Pasar Turi dimulai sebelum Ramadan lalu. Ia menyatakan permintaan itu merujuk pada hasil pembicaraan Risma dengan Jusuf Kalla dua bulan sebelumnya.

Satu bulan kemudian, Mohamad Oemar kembali melayangkan surat kepada Risma, meminta persoalan Pasar Turi segera diselesaikan. Risma kali ini diberi kesempatan melaksanakan cara lain asalkan Pasar Turi segera beroperasi.

Risma menyatakan tidak ingin menempuh jalur hukum karena khawatir persoalan ini bertambah rumit. Ia berupaya menyelesaikan tarik-ulur ini di luar pengadilan. Risma juga sadar tidak boleh mengambil keputusan penting menjelang kepemimpinannya berakhir.

Ditemui pekan lalu, Direktur PT Gala Bumi Perkasa Henry J. Gunawan berdalih pembangunan gedung tidak akan meleset bila tak ada masalah dengan pembebasan lahan, yang menjadi tugas Pemerintah Kota Surabaya. Ia menambahkan, Pemerintah Kota tidak perlu lagi mengajukan perubahan perjanjian (addendum) karena gedung Pasar Turi sudah selesai dikerjakan. "Tugas saya sudah beres," katanya.

Kesiapan Pasar Turi dibantah Syukur. Menurut dia, para pedagang yang bertahan di tempat penampungan belum mau pindah karena Pasar Turi belum selesai seratus persen. "Beberapa kali air toilet mati dan lift tidak berfungsi," ujarnya.

Bila polemik ini berlanjut, Khoping sudah mengambil ancang-ancang. Ia akan melaporkan Risma ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Tuduhannya: merugikan rakyat Surabaya. Rencana itu akan dilakukan setelah Risma tak lagi menjabat Wali Kota Surabaya. "Tinggal tunggu Risma lengser," katanya.

Syukur menganggap tindakan Khoping di luar sikap resmi paguyuban pedagang Pasar Turi. "Dia bergerak atas nama pribadi," ujarnya. Syukur juga menuding Khoping ingin Pasar Turi segera beroperasi agar bisa menjual stan miliknya. "Kami pedagang murni, ia jual-beli stan," kata Syukur.

Yandhrie Arvian, Mohammad Syarrafah (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus