Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROPOSAL PT Pertamina (Persero) menjadi pokok bahasan utama rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa siang dua pekan lalu. Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto menyampaikan rencana perusahaan minyak dan gas milik negara itu membangun terminal penampung atau penyimpan serta melakukan pemipaan bahan bakar minyak. Dengan fasilitas itu, perusahaan ingin menaikkan cadangan bahan bakar, yang saat ini rata-rata cuma 19 hari menjadi 30 hari.
Tak banyak perdebatan soal ini dalam pertemuan yang dipimpin Presiden Joko Widodo itu. Tapi, dua hari kemudian, Pertamina sungguh dibuat repot. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli yang memicu kegegeran itu dengan mengungkapkan ketidaksepakatannya atas proyek tersebut. Ia bahkan menuding ada pihak yang sengaja menunggangi proposal itu demi mencari keuntungan sendiri. "Saya kepret lu yang masih main KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Ini hanya mau main proyek-proyekan," kata Rizal saat berpidato di depan peserta Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan di Hotel Sahid, Jakarta.
Rizal menyebut "serangan"-nya itu sebagai "jurus rajawali ngepret". Selain menyasar Pertamina, tembakan serupa pernah menyambar Garuda Indonesia, bertalian dengan rencana pembelian pesawat Airbus A350. PT Perusahaan Listrik Negara pun sempat mengalaminya ketika Rizal tiba-tiba menuduh ada permainan mafia di belakang sistem "prabayar" langganan listrik. Menteri yang baru bulan lalu dilantik itu juga sempat menyerang program pembangkit listrik 35 ribu megawatt dan proyek kereta cepat. Terakhir ia menyerang PT Pelindo II menyangkut jalur kereta ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Dalam urusan proyek pembangunan tangki penyimpan BBM, Rizal beralasan proyek itu tak layak diteruskan karena selama ini kerap muncul usul yang tak jelas ujungnya. Apalagi nilai investasi terminal BBM ini tak sedikit. Rizal menyebutkan angka US$ 2,4 miliar (kira-kira Rp 34,4 triliun).
Ia mengatakan pembangunan depo justru akan membebani keuangan perseroan dan anggaran negara. Karena itu, Menteri Koordinator Perekonomian di kabinet Abdurrahman Wahid ini mengusulkan investor swasta saja yang membangun. Sebagai importir alias pembeli besar, kata dia, Pertamina semestinya punya posisi tawar tinggi di hadapan produsen BBM di luar negeri. "Seharusnya penjual BBM itu yang membangun storage di wilayah kita. Itu lebih hemat," ujar Rizal. Dia mengklaim Presiden Joko Widodo pun sudah menolak proposal tersebut.
Taoi ia tak mendapat dukungan para sejawatnya di kabinet. Sekretaris Kabinet Pramono Anung malah berkata sebaliknya. Pramono memastikan rapat terbatas di Istana sama sekali tak membatalkan usul Pertamina. "Arahan Presiden sejak mula jelas: meminta disiapkan pembangunan kilang dan storage BBM. Ini sejalan dengan Nawacita (program Presiden Jokowi), di mana pemerintah mendorong ketahanan dan kemandirian energi dengan terus mempercepat pembangunan infrastruktur di sektor ini," Pramono menjelaskan.
Satu hal yang juga pasti, Presiden ingin pembangunan storage tidak membebani kas perusahaan ataupun keuangan negara. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi disebutkan pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi untuk menjamin ketahanan energi nasional. "Presiden bilang selambatnya mulai sekarang segera disiapkan sampai tahun depan. Pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM dan Pertamina, diminta menyiapkan diri," Pramono menambahkan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Wiratmaja Puja juga menegaskan tak ada pembatalan rencana pembangunan storage BBM. Malah pemerintah sedang menyiapkan regulasi untuk memungkinkan swasta ikut membangun infrastruktur cadangan energi itu. Investor boleh membangun penampung untuk cadangan operasional ataupun penyangga nasional dengan kapasitas 30 hari.
Aturan baru itu juga membuka peluang badan usaha memiliki terminal BBM di luar negeri. "Tapi kami ingin pembangunan di dalam negeri karena ada investasi masuk, menciptakan lapangan kerja, dan bisa menguasai teknologi," ujar Wiratmaja.
RENCANA pembangunan depo minyak dan BBM bukanlah proyek ujuk-ujuk. Gagasan ini telah dirancang pemerintah jauh-jauh hari. Juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengatakan proyek ini bukan usul perusahaan, melainkan penugasan dari pemerintah. "Ini menyambut keinginan pemerintah tentang peningkatan ketahanan penyimpanan BBM dari 18 hari menjadi 20 bahkan sampai 30 hari," ucapnya Kamis pekan lalu. Anggarannya pun tak sebesar pernyataan Rizal Ramli, melainkan hanya US$ 1,4 miliar.
Tangki penimbunan baru dibutuhkan mengingat keterbatasan kapasitas penyimpanan BBM Indonesia. Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, yang dibentuk pada November 2014, juga memberi penekanan pada persoalan ketahanan tersebut. Saat itu tim mencatat rata-rata stok operasional BBM cuma 18-19 hari, jauh di bawah Jepang yang mencapai 60 hari, misalnya.
Mantan Ketua Tim Reformasi Faisal Basri menganggap pendeknya cadangan itu sebagai titik lemah yang memberi celah bagi para trader memainkan harga. Saat ini rata-rata konsumsi BBM nasional sekitar 1,4 juta barel per hari, yang separuhnya dipasok dari impor. "Orang bisa lihat Indonesia sedang butuh banget, 'Gue tekan ah harganya.' Jadi kita tak punya posisi tawar dalam negosiasi," kata Faisal.
Belum lagi bila terjadi masalah di Selat Malaka, yang menghubungkan Semenanjung Malaysia dan Indonesia. Menurut Faisal, selat ini menjadi jalur pelayaran terpenting dunia karena sekitar 50 ribu kapal melintas di sana saban tahun—setengahnya adalah tanker berisi minyak. Memang belum pernah ada kejadian pasokan ke Pertamina seret. Tapi, sekali saja ada pembajakan atau aksi terorisme di jalur tersebut, pasokan 800 ribu barel minyak dan BBM ke Indonesia bisa terganggu. "Jadi tangki timbun ini jauh lebih penting daripada kilang," ujarnya.
Dalam wawancara dengan Tempo akhir Desember tahun lalu, mantan Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo mengatakan perlu waktu sekurangnya sepekan untuk pengadaan minyak, dari pemesanan hingga barang sampai. Pada prakteknya, rata-rata pembelian minyak memakan waktu dua minggu. Itu pun, menurut Suroso, sudah terhitung sebagai pengadaan mendadak.
Sejauh ini Pertamina menilai proyek storage harus direalisasi. Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengusulkan skema konsinyasi alias jual titip. Dalam skema ini, pemasok menaruh stok mereka di Indonesia, sedangkan Pertamina sebagai pembeli terbesar akan membayar dengan rupiah. "Tambahan storage dapat diserahkan ke supplier atau disediakan Pertamina bekerja sama dengan swasta nasional, lalu disewa oleh supplier," katanya.
Konsep ini dihitung lebih menguntungkan bagi Pertamina. Pertama, stok nasional sudah pasti meningkat. Kedua, perseroan tak perlu mengeluarkan modal besar. Harga juga akan lebih kompetitif. Menariknya lagi, losses atau risiko susut ditanggung pemasok. Biasanya Pertamina memberikan toleransi susut maksimal 0,2 persen.
Dalam rancangannya, Pertamina juga hendak menaikkan kapasitas penyimpanan BBM di Pulau Sambu dan Pulau Uban, tanpa anggaran negara. Terminal penampungan di Provinsi Kepulauan Riau ditargetkan meningkat masing-masing menjadi 300 ribu kiloliter dan 200 ribu kiloliter. Penambahan daya tampung kedua terminal senilai US$ 156 juta itu diharapkan rampung pada semester pertama 2016.
Agustus tahun lalu, perusahaan ini pun meneken kontrak jasa penerimaan, penyewaan, dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak. Kontrak berlaku 10 tahun dengan mekanisme take or pay dengan jumlah penyaluran minimal 288 ribu kiloliter per bulan. Tapi, menurut Ahmad Bambang, kontrak tersebut sedang mereka evaluasi. "Masih dalam proses."
Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie
Kanan-Kiri Tembakan Rizal Ramli
RENCANA PT Pertamina (Persero) membangun fasilitas penyimpanan minyak (storage) mendapat kritik keras Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli. Rizal, yang menyebut pernyataan dan langkahnya sebagai "jurus rajawali ngepret", menilai gagasan perusahaan minyak dan gas milik negara itu hanya buang-buang duit. Dia juga mengatakan proyek ini sarat dengan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). "Saya kepret lu yang masih main KKN. Ini usul orang mau main proyek-proyekan," katanya di Jakarta, Rabu dua pekan lalu.
Tembakan Rizal ke Pertamina ini bukan satu-satunya. Sejak diangkat sebagai menteri pada 12 Agustus lalu, dia tak henti mengkritik kanan-kiri.
13 Agustus 2015
Meminta Menteri ESDM dan Dewan Energi Nasionalmengevaluasi rencana pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
Argumen: Dinilai terlalu besar, tidak realistis, dan tidak mempertimbangkankondisi pelemahan ekonomi.
13 Agustus 2015
Meminta Garuda Indonesia membatalkan rencana pembelianAirbus A350dan digantidengan A320.
Argumen: Tidak ingin Garuda bangkrut lantaran utang US$ 44,5 miliar.Rute internasional yang cocok untuk Airbus A350 dia anggap tak menguntungkan perusahaan.
13 Agustus 2015
Menyebutkan ada pejabat pemerintah yang bermain di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Dia minta proposal Cina dan Jepang dalam proyek itu dibandingkan.
Argumen: Rizal meyakinkan pemerintah tak akan terpengaruh aksi para pejabat yang menjadi beking.
7 September 2015
Menyebutkan ada mafia dalam penjualan listrik "prabayar" PLN.
Argumen: Rizal curiga sistem pengisian pulsa listrik sarat kecurangan: konsumen yang membeli pulsa Rp 100 ribu hanya mendapat setrum Rp 73 ribu. Belakangan, kritik Rizal ini terbukti keliru dan dia salah hitung.
9 September 2015
Menolak proposalPertamina untuk membangun jaringan pipadanpenyimpanan BBM.
Argumen: Menurut Rizal, Pertamina sebaiknyaberfokus membangun jaringan pipa gas ketimbang depo BBM.
14 September 2015
Menyindir Pelindo II yang memasang iklan besar-besaran di media tentang pembangunan New Priok.
Argumen: Ia menilai belanja iklan itu tidak masuk akal dan hanya menutupi masalah bertumpuk di Tanjung Priok.
Dasar Hukum Cadangan BBM Nasional
Rencana Pertamina membangun depo penyimpanan didasarkan atas:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi: untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi: menteri menetapkan kebijakan mengenai jumlah dan jenis cadangan BBM nasional.
Sebaran Fasilitas Penyimpanan BBM
Non-Pertamina
1.293.686 Kiloliter
Sumatera Utara:
12.815 kiloliter
Riau, Kepulauan Riau:
115.838 kiloliter
Sumatera Selatan:
3.000 kiloliter
Jakarta dan Banten:
756. 558 kiloliter
Jawa Timur:
331.057 kiloliter
Kalimantan Barat:
7.000 kiloliter
Kalimantan Selatan:
15.850 kiloliter
Kalimantan Timur:
44.553 kiloliter
Nusa Tenggara Timur:
1.200 kiloliter
Sulawesi Selatan:
1.700 kiloliter
Sumber: BPH Migas, PDAT, diolah dari berbagai sumber
Rajawali Kurang Teliti
Rajin menyerang kanan-kiri, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli tak selalu melengkapi kepretan-nya dengan argumen yang sahih. Ketika menuduh ada mafia listrik di balik sistem token atau kartu "prabayar" PT Perusahaan Listrik Negara, ia seperti kehilangan peluru di saat arena justru sudah mulai seru.
Ia mendadak irit bicara, termasuk saat diminta menjelaskan tudingannya kepada PLN. "Hari ini tanpa komentar. Terima kasih," ujar Rizal saat dicegat di kantornya, Selasa dua pekan lalu. Padahal baru sehari sebelumnya ekonom lembaga studi Econit ini lantang mempersoalkan tarif listrik prabayar yang dia sebut merugikan masyarakat.
Dalam konferensi pers yang juga dihadiri Direktur Utama PLN Sofyan Basir, Rizal tiba-tiba mengatakan curiga ada permainan mafia dalam sistem pengisian pulsa listrik oleh perusahaan. Indikasinya, kata dia, pulsa token senilai Rp 100 ribu yang dibeli masyarakat hanya mengalirkan listrik seharga Rp 73 ribu. "Kejam sekali, Rp 27 ribu disedot oleh 'provider' setengah mafia," ujarnya setelah berbicara tentang proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt yang digelar di kantornya.
PLN tak buru-buru membantah. Tapi kemudian Sofyan Basir menjelaskan bahwa nilai token listrik memang tergerus karena beragam biaya administrasi, bukan karena ada permainan mafia. Ada tiga unsur komponen biaya, yakni ongkos administrasi bank atau gerai penjual, pajak penerangan jalan (PPJ), dan tarif listrik per kilowatt. Ongkos administrasi bank berkisar Rp 2.000-3.000, sedangkan tarif PPJ berbeda di setiap wilayah.
Penjelasan Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun lebih rinci. Ia menggunakan ilustrasi pelanggan listrik rumah tangga dengan daya 1.300 volt ampere. Dengan token senilai Rp 100 ribu, konsumen perlu membayar administrasi bank Rp 1.600 dan pajak penerangan jalan Rp 2.306. Sebab, ongkos PPJ di DKI Jakarta sebesar 2,4 persen. Artinya, tersisa Rp 96.094 nilai rupiah token listrik yang dimiliki masyarakat.
Dengan harga listrik golongan R1-1.300 VA sebesar Rp 1.352 per kWh, berarti listrik yang diperoleh masyarakat dengan sisa nominal di token menjadi 71,08 kWh. "Jadi, ketika membeli listrik Rp 100 ribu, dapatnya 71,08 kWh. Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter listrik, bukan Rp 71 ribu," ucapnya. Rupanya, kali ini si "rajawali" kurang teliti membaca sebelum ngepret.
Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo