SEBELUM membawakan makalahnya tentang era swastanisasi, pembicara yang bertubuh gemuk itu memulai dengan sebuah anekdot tentang statistik. "Statistik sesungguhnya sama seperti bikini: Ia hanya menunjukkan bagian yang penting, tapi tak mengungkapkan seluruh cerita." Pembicara itu adalah Prof. Dr. Panglaykim yang dalam hampir setiap seminar dan diskusi ekonomi, selalu siap dengan anekdot dan lelucon yang menyegarkan. Orang yang punya humor tinggi itu kini sudah tiada. Ia mendadak meninggal, terkena serangan jantung, hanya dua jam setelah masuk ke bagian ICCU Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Banyak yang menyesali kepergiannya. Bukan saja karena ia kaya anekdot. Tapi pandangan dan gagasannya tentang perekonomian menjelang masa pasca minyak, khususnya di Indonesia, sering mengundang debat yang hangat. Adalah Panglaykim yang menilai pemerintah Indonesia sudah saatnya melakukan privatisasi terhadap badan-badan usaha milik negara (BUMN), kalau ingin efisien dan bersaing. Itulah makalah terakhir Panglaykim, yang sedianya akan dibawakan dalam diskusi yang diselenggarakan majalah baru Matra, di Hotel Sari Pacific, Sabtu lalu. Dr. Pande Radja Silalahi, rekan Almarhum di CSIS yang olehnya diminta menggantikannya sebagai pembicara dalam diskusi Matra, lalu melanjutkan gagasannya. "Pak Pang pagi-pagi sudah mengatakan, tindakan deregulasi perbankan saja tak cukup untuk menekan ekonomi biaya tinggi, tapi perlu disertai dengan tindakan deregulasi di berbagai sektor lain." Almarhum, sebagaimana juga beberapa ekonom yang berada di luar pemerintah, tentu bisa berbicara lebih lepas dari rekan yang di dalam. Tapi sejumlah pengalamannya dalam bisnis, agaknya, membuat ahli marketing lulusan UI itu lebih bisa menyelami dunia swasta. Lahir dari keluarga miskin, 64 tahun silam, ia melalui masa kanak-kanaknya dengan menunggui warung ayahnya di Kampung Lengkong, Bandung. Cita-citanya menjadi guru. Tapi Panglaykim bukan hanya guru, melainkan Presiden PT Sejahtera Bank Umum, angggota Dewan Direksi Pusat Pengkajian Masalah Internasional (CSIS), Direktur PT Pakarti Yoga serta komisaris utama beberapa perusahaan dan bank. Adalah Panglaykim salah seorang pendiri Bank Niaga dan buletin Business News. Ia pula yang, bersama Prof. Dr. Mohammad Sadli, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Soedjatmoko, dan sejumlah ekonom serta cendekiawan lain, turut melahirkan konsep ekonomi yang dikenal dengan Dekon (Deklarasi Ekonomi) pada 1963, di waktu Kabinet Djuanda, setelah Irian Barat masuk ke pangkuan RI. Melalui Dekon, yang juga diartikan sebagai demokratisasi ekonomi, banyak yang berharap RI akan kembali berbaik-baik dengan Barat. Tapi ternyata kemudian kekuatan politik yang revolusioner malah berhasil menggiring negeri ini bersikap konfrontatif terhadap segala hal yang datang dari Barat, termasuk bantuan. Tumbuhnya berbagai grup bisnis di masa Orde Baru, oleh Panglaykim dilihat sebagai suatu hal yang tak bisa dielakkan, sekalipun ia tak setuju kalau kegiatan ekonomi hanya dikuasai oleh sekelompok pengusaha. Ia memang penganjur tumbuhnya trading houses yang di Jepang dikenal sebagai sogo sosha, yang membuat perekonomian Jepang, Jerman Barat, dan juga Korea Selatan melesat secara amat pesat. "Di Indonesia, pemilikan pemerintah yang besar perlu digabungkan dengan swasta, sehingga terbentuk kemampuan nasional yang kuat," katanya. Ia memang penganjur gigih swastanisasi, dan pengagum para pengusaha yang mampu memimpin bisnis raksasa di mana pun. Pernah, dalam pekan diskusi TEMPO di Hotel Sahid Jaya, bulan April lalu, Panglaykim, dalam acara tanya jawab, berkata, "Kalau mau jadi orang yang sukses, jangan sekolah tinggi-tinggi." Toh ia mendidik ketiga anaknya cukup tinggi: yang tertua doktor dalam biologi, kini mengajar di Universitas Kuala Lumpur, seorang lagi insinyur yang mulai bergerak di bidang perumahan, dan si bungsu, Mary, baru saja meraih doktor ekonomi dari Universitas California, Davis. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini