Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Stempel

Pt cbti yang memonopoli penyaluran kapas impor dan lokal dianggap banyak merugikan pabrik pemintalan. misalnya, pemberian jatah tidak merata dan melakukan pungutan. sekbertal terang-terangan mengecam cbti. (eb)

9 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HADIRNYA PT Cerat Bina Tekstil Indonesia dianggap makin mengusutkan benang yang sudah basah. Semula, trading house yang dibentuk API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) untuk membuktikan, industri tekstil bisa berjalan tanpa campur tangan pemerintah. Tanggapan mula-mula positif. Departemen Perdagangan memberi kepada CBTI hak monopoli impor kapas, sekaligus tugas memborong semua kapas produksi dalam negeri, kemudian disalurkan kepada pabrik-pabrik. Tapi, ternyata, CBTI hanya menjadi pangkal kericuhan. Langkah-langkah yang diambil CBTI ditentang industri tekstil, sehingga pemerintah akhirnya turun tangan juga. Eksekutif CBTI, Fahmy Chatib, Sabtu pekan lalu dengan risau mengungkapkan bahwa ada "Kelompok Petisi" yang membuat perusahaan yang dikelolanya masih dicampuri pemerintah. Belum lama ini, ketika jatah 15.000 bal (@ 225 kg) kapas lokal disusun CBTI, kebetulan harga kapas impor sedang menurun. Selisih harga kapas lokal pekan lalu sudah sekitar Rp 1.000 lebih mahal dari kapas impor, sehingga pabrik pemintalan segan mengambil jatah. Padahal, jatah yang diberikan CBTI itu "sangat kecil", yakni sekitar 5% dari seluruh kebutuhan kapas tiap-tiap pabrik. "Mereka 'kan bisa menutup kerugian pemakaian kapas lokal dari 95% kapas impor yang murah," tuturnya. Ternyata, beberapa perusahaan keberatan menerima jatah yang ditentukan, karena pembagian itu dianggap tidak menurut jumlah kapasitas pemintalan yang ada pada 84 perusahaan. Fahmy mengakui bahwa penjatahan itu hanya untuk 42 perusahaan. Sebab ada perusahaan yang sudah menyerap kapas lokal (umumnya pabrik pemintalan milik pemerintah seperti Industri Sandang dan Banjaran), ada yang sudah tidak aktif atau tak melaporkan kapasitas produksinya. Tapi, di antara pabrik yang tidak memberikan laporan dan diduga "sudah mau mati" sehingga diberi jatah nol, ternyata ada pabrik yang justru termodern dan produknya paling baik di Asia Tenggara: PT Textra Amspin. Pembagian jatah yang tidak merata ini dianggap tidak adil oleh beberapa pabrik, sehingga timbul protes, yang akhirnya mengundang campur tangan Direktorat Aneka Industri. Instansi ini kemudian membagi kapas lokal itu kepada 65 perusahaan pemintalan, sehingga jatah untuk setiap perusahaan jadi kecil. Baru dianggap adil. Adalah Sekbertal (Sekretariat Bersama Industri Pemintalan) yang dipimpin Aminuddin, pemilik PT Textra Amspin di Pasar Rebo, yang dimaksudkan Fahmy Chatib sebagai "Kelompok Petisi". Aminuddin, yang ditemui TEMPO di pabriknya, Senin lalu, terus terang mengungkapkan tidak setuju dengan tindakan-tindakan CBTI. Masalahnya, sebenarnya, berpangkal pada akta pendirian PT CBTI: trading house itu milik segelintir orang yang memegang saham prioritas. "Atas nama pribadi, bukan atas nama badan hukum, dan mereka pula yang menjadi direksi serta berhak mengundang rapat umum pemegang saham -- bukan Dewan Komisaris," tuturnya. Mereka juga, berakar pada pabrik pemintalan, sehingga bisa saja mengatur CBTI untuk kepentingan sendiri. Karena itu, Sekbertal mendesak agar anggaran dasar menyangkut pemegang saham itu ditinjau kembali. Tampaknya belum beres, sehingga belum bisa disahkan Departemen Kehakiman. Dan hal itulah, konon, yang menyebabkan CBTI belum bisa mendapatkan Tanda Pengenal Importir, kendati memegang monopoli impor kapas. Sejauh ini, impor kapas untuk pabrik-pabrik pemintalan memang masih dibiarkan dilakukan oleh masing-masing, tapi mereka harus meminta stempel dulu ke CBTI untuk setiap kali mengajukan LC ke bank. Untuk itu, semua pabrik, baik di Bandung, Solo maupun Medan, harus ke kantor CBTI di Panin Bank Centre, di pojok selatan Jalan Sudirman, Jakarta, "Jelas, 'kan jadi tidak efisien," tutur Aminuddin. Buruknya lagi, CBTI bertindak main paksa, seakan-akan penguasa seluruh industri tekstil. "Masa satu perusahaan bisa mengeluarkan surat keputusan, dan pakai sanksi lagi -- tak peduli perusahaan pemintalan mau rugi, PHK-kan buruh, atau pabrik mati," tutur Koordinator Sekbertal itu. Terbukti, sudah ada perusahaan yang ditindak CBTI, karena dianggap tidak setuju dengan CBTI dan mengadu ke Sekbertal. Antara lain PT Dasatex, PT Lucky Abadi, dan PT Maligi, yang diperlambat proses aplikasi LC-nya. Akibatnya, bahan baku terlambat, pabrik sempat menganggur, dan produksi terlambat. Tapi, langkah CBTI yang dianggap paling 'sinting' ialah keputusan untuk memberlakukan harga kapas impor sesuai dengan harga kapas lokal kepada pabrik-pabrik yang tidak berproduksi untuk ekspor. Kepada TEMPO, Fahmy Chatib mengungkapkan bahwa selisih harga kapas impor itu dipungut untuk mensubsidi tekstil ekspor sebagai ganti subsidi SE. PT Dasatex, menurut Sasmito Wono, pernah ditawari ketika selisih harga kapas impor dan lokal sekitar Rp 450 per kg. "Berarti setiap bulan saya harus membayar Rp 300 juta kepada CBTI. 'Kan gila," tutur Wono. Hal itu pun pernah diteriakkan Perteksi (Perserikatan Perusahaan Tekstil Seluruh Indonesia) Jawa Barat sebagai hal yang 'ngawur. "Masa pabrik-pabrik kecil di Majalaya harus mensubsidi ekspor yang umumnya dilakukan PMA," kata Ketua Perteksi Jawa Barat, Sukar Samsudi, seperti dikutip harian Pikiran Rakyat, awal Juni lalu. Ternyata niat CBTI itu akhirnya amblas ditelan Sekbertal. CBTI, yang hanya membubuhkan stempel aplikasi LC tanpa repot-repot mengurus impor kapas, toh melakukan pungutan juga. Semula 0,125% dari nilai LC. Tapi, setelah diprotes dan dibicarakan dengan Menteri Perdagangan (ad interim Bustanil Arifin), akhirnya dikecilkan jadi 0,065%. "Kami perlu biaya administrasi. Mungkin CBTI akan defisit setelah penciutan fee itu," tutur Wakil Presdir CBTI yang berkantor di gedung megah Panin Bank Centre itu. Ternyata, tidak semua "pemakai jasa" CBTI membayar pungutan. Pabrik pemintalan milik pemerintah, seperti PT Industri Sandang dan Patal Banjaran, tidak mempunyai izin untuk membayar fee itu. Max Wangkar Laporan Mohamad Cholid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus