Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merger Terganjal Divestasi

Merger PT Freeport Indonesia dengan PT Indocopper dibahas pemerintah. Saatnya memperbaiki posisi tawar.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI tersuruk di ujung timur Nusantara, kabar tentang Freeport Indonesia selalu mencuri perhatian. Tak terkecuali permintaannya agar pemerintah Indonesia menyetujui rencana penggabungan atawa mergernya dengan PT Indocopper Investama. Di Freeport Indonesia, Indocopper memegang 9,36 persen saham, pemerintah Indonesia memegang 9,36 persen saham, dan 81,28 persen saham dikuasai McMoran Copper & Gold.

Jika merger disetujui, pemegang saham Freeport Indonesia hanya dua: pemerintah Indonesia tetap 9,36 persen, sedangkan saham Freeport McMoran makin gendut, 90,64 persen. Menurut Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Pertambangan, Roes Aryawijaya, persetujuan pemegang saham dibuat dalam bentuk pernyataan pemegang saham pada 14 April lalu. Kantor Menteri Negara BUMN mewakili pemerintah Indonesia di Freeport.

"Kami setuju karena secara ekonomis tidak ada masalah," kata Roes kepada TEMPO, "Tapi pelaksanaannya harus mendapat persetujuan pemerintah, sesuai dengan kontrak karyanya." Yang dimaksud dengan pemerintah adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral selaku regulator sektor pertambangan.

Yang memancing pertanyaan adalah bagaimana kelanjutan kewajiban divestasi saham Freeport ke pihak Indonesia, seperti tercantum dalam pasal 24 kontrak karyanya. Padahal semangat perpanjangan kontrak itu adalah partisipasi pihak Indonesia di Freeport, akibat penemuan cadangan tembaga dan emas di Grasberg, yang katanya terbesar di dunia, yang mencapai 2,6 miliar ton.

Pasal itu menyebutkan, di luar 10 persen saham ke pemerintah Indonesia, pada 10 tahun pertama harus didivestasikan 10 persen lagi ke pihak Indonesia?sudah terjadi pada 1992 ke PT Indocopper, yang saat itu dimiliki Bakrie Brothers. Sisanya hingga total 51 persen dilakukan pada 10 tahun kedua. Jika kontrak karya Freeport diteken pada 1991, periode kedua itu berjalan sejak 2001 hingga 2011. Ya, sekarang ini!

Namun perusahaan yang laba bersihnya US$ 304 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun pada 2001 itu seperti tak peduli dengan kelanjutan kewajiban divestasinya. Mereka bersiteguh pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang membolehkan perusahaan asing memiliki saham 100 persen di perusahaan Indonesia. Argumentasinya dipatok pada butir d ayat 2 pasal 24 kontrak karya, yang menyebutkan Freeport boleh mengikuti ketentuan baru yang lebih meringankan. Sebelumnya, pasal macam ini tak terdapat di semua kontrak perusahaan tambang di Tanah Air.

"Divestasi sudah dilakukan, kami memenuhi kewajiban yang ada dalam kontrak," juru bicara Freeport Indonesia, Siddharta Moersjid, berdalih. Sekarang "bola panas" berada di tangan Simon Sembiring, Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral. Dialah yang memutuskan apakah pemerintah setuju merger atau tidak. Simon mengaku mempertimbangkan semua hal sebelum sampai pada keputusan akhir. Termasuk nasib kelanjutan divestasi Freeport ke pihak nasional. Waktunya untuk menimbang hanya tiga bulan?berarti sampai Juli?seperti tersebut di kontrak karya.

Pemerintah, kata Simon, sangat berhati-hati mengambil keputusan. Yang menjadi pertimbangan antara lain bisakah pemerintah menyetujui dulu merger tadi sebelum divestasi dilanjutkan. Lalu pihak Indonesia mana yang berani membeli saham Indocopper, yang harganya bisa mahal sekali: US$ 700 juta. Padahal si pengusaha nasional tidak sanggup membayar utangnya ke Freeport McMoran.

"Katakanlah Freeport McMoran mau, barangkali akan kami kondisikan oke, boleh merger, asal setahun kemudian sahamnya dijual kembali ke pihak Indonesia," kata Simon. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Abdul Latief Baky, mendukung rencana pemerintah ini. Menurut dia, merger disetujui asalkan kewajiban divestasi dilanjutkan sekian tahun kemudian. "Merger itu setback, meski secara bisnis sah saja," ujarnya.

Program divestasi, katanya, merupakan kepentingan nasional. Sekaranglah saatnya pemerintah bersikap, apakah akan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan korporasi. "Sebab, acuan Freeport ke PP 20 juga sepihak," katanya, "Kontrak karya punya hierarki sendiri, jadi harus dihormati juga." Yang lebih aman, menurut dia, sebaiknya dilakukan amendemen kontrak karya supaya pasal-pasal yang merugikan pihak Indonesia bisa diperbaiki.

M. Syakur Usman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus