Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA petani kopi boleh berdendang lagi. Saat ini kopi Robusta mereka dibeli dengan harga Rp 2.600,00 sampai Rp 3.500,00 per kg. Apalagi kopi keras jenis Arabica kini dihargai Rp 4.000,00-Rp 10.000,00 per kg. Eksportir pun kini mulai berdecak, karena bisa meraup untung di pasar luar negeri. Beberapa bulan lalu mereka harus membeli kopi dari petani dengan harga Rp 2.000,00 per kg, sedangkan harga di pasar internasional sempat jatuh di bawah Rp 1.900,00. Tetapi, sekarang ini, menurut Ketua AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) Daryono Kertosastro, harga kopi Robusta rata-rata sudah mencapai US$ 2,70 atau sekitar Rp 4 500,00 per kg. "Harga kopi Arabica lebih gila. Biasanya, kalau naik hanya sampai US$ 6 per kg, tetapi sekarang sudah mencapai US$ 7 per kg," kata Wakil Ketua AEKI cabang Jawa Timur, Ir. Mudrig Yahmadi. Itu tentu jenis kopi Arabica biasa, yang umumnya berasal dari PTP. Ada kopi Arabica swasta dari Toraja dibeli Jepang dengan harga di atas US$ 15 per kg. Lonjakan harga kopi itu rupanya karena ada spekulasi dari beberapa negara produsen kopi di Amerika Latin, bahwa suplai kopi akan kurang. Brasil, pemasok kopi terbesar di dunia, ternyata tak bisa memenuhi kuotanya di pasar ICO. Sampai pertengahan bulan lalu, mereka hanya bisa memasok 23 juta karung (I karung = 60 kg), padahal normalnya sekitar 30 juta karung. Sementara terjadi kenaikan harga ini, toh Indonesia rugi juga. Indonesia, menurut keputusan ICO (Organisasi Kopi Internasional), untuk tahun kopi 1987-1988 (dihitung mulai Oktober) hanya boleh memasok 165.300 ton atau 4,75% di pasar 25 negara konsumen kopi terbesar yang anggota ICO. Itu pun sudah kena potong. Ini terjadi di bulan Oktober dan Januari lalu, hingga kuota Indonesia untuk tahun 1987-1988 tinggal 144.259 ton lagi. Menurut kesepakatan ICO, memang kuota harus diciutkan, jika harga kopi Robusta di pasar internasional jatuh sampai di bawah US$ 1,15 per kg. Panen raya kopi, menurut Ketua AEKI akan terjadi Mei-September mendatang, sehingga jumlah produksi akan mencapai sekitar 330.000 ton. Pasar lokal diduga hanya bisa menyerap 70.000 ton, sedangkan ekspor ke pasar ICO dibatasi 144.259 ton. Nah, ke mana mesti disalurkan sisanya yang sekitar 115.741 ton itu? Ternyata, tidak jadi masalah. Pasar di negara-negara nonkuota masih cukup terbuka. Para eksportlr telah berhasil menggarap pasar baru, antara lain di negara-negara yang selama ini sebenarnya gemar minum teh, yakni Korea Selatan, RRC, Taiwan, dan negara-negara Eropa Timur seperti Hungaria. Toh gairah para eksportir ke negara-negara nonkuota itu, menurut Daryono, perlu dikendalikan. Pengiriman kopi itu harus jelas untuk keperluan konsumsi negara pengimpor, tidak untuk diekspor kembali. Maklum, harga di pasar nonkuota boleh dimainkan sampai 10% lebih murah dari harga pasar ICO. Jika eksportir kita gegabah memainkan harga lebih rendah dari ketetapan ICO, kuota Indonesia yang sudah dua kali dipotong itu bisa kena potong lagi. "Yang rugi tentu saja negara," kata Daryono. Tingginya harga di pasar luar negeri jelas akan merangsang eksportir untuk berlomba menjual ke sana. AEKI menargetkan ekspor ke negara-negara nonkuota itu tahun ini bisa mencapai 120.000 ton. Praktis seluruh produksi nasional akan terserap, kemungkinan malah mengorbankan kebutuhan pasar dalam negeri sekitar 5.000 ton. Linda Djalil (Jakarta), Herry Muhammad (Medan), Affan Bey (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo